pengembangan kapasitas petaninya dilakukan lebih dari 35 tahun; b perwilayahan komoditas unggulan; c pengembangan sentra industri
kecil; d pengembangan ekonomi masyarakat pesisir PEMP; e program pengembangan kecamatan PPK; dan f program kemiskinan.
2.2. Pembangunan Perdesaan
Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya, sedangkan wilayah adalah ruang
yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Menurut Suwandi 2005, desa selama ini diartikan sebagai struktur
pemerintahan dan tidak pernah ditonjolkan desa sebagai aset nasional, aset perekonomian nasional. Desa tiada lain adalah kawasan fungsional dengan ciri
kegiatan utama adalah sektor pertanian. Pembangunan perdesaan dan politik perberasan nasional, yang dilakukan sejak Repelita I, ternyata mematikan desa
sebagai desa industri. Coba perhatikan hilangnya kelembagaan lokal dan pemrosesan beras oleh rakyat, tranportasi beras dari desa ke kota, semua itu proses industri
menjadi pupus dengan dibangunnya secara sentralistik BULOG. Sikap mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri hilang dari perdesaan. Desa sebagai aset
perekonomian menjadi mandul, berubah menjadi aparat pelaksana proyek pemerintah. Di era 90-an yang menggaungkan agribisnis, yang mengharapkan bisa
menggugah masyarakat desapetani berbisnis besar yang beroreintasi pasar, tidak bisa juga merubah sikap petani yang sama sekali tidak mencirikan suatu ciri pelaku
industri. Petani adalah produsen, produknya adalah produk kotor yang bisnisnya sekedar sampai ke pengepul. Tidak peduli produk itu mau diapakan, mudahnya
mendapatkan uang merupakan target satu-satunya yang dikuasai.
Itulah agribisnisnya.
Adanya krisis multi dimensi menyebabkan konsep pengembangan kawasan agropolitan dilirik kembali setelah perekonomian nasional terpuruk. Konsep
pengembangan kawasan agropolitan untuk negara-negara berkembang di Asia, telah dianjurkan Friedmann dan Douglass pada tahun 1975. Menurut Suwandi
2005, sektor industri yang diyakini dapat mengejar ketinggalan bangsa dan negara, seperti yang dilakukan Indonesia, ternyata gagal menumbuhkan dasar perekonomian
yang kuat. Di lain pihak recovery pembangunan pertanian yang terputus oleh adanya prioritas pembangunan industrialisasi, jauh lebih susah daripada membangun baru
sistem pertanian pada konsep pengembangan wilayah transmigrasi atau pengembangan wilayah yang bersifat resourses base yang lain. Perombakan
akumulasi kesalahan pada proses pembangunan pertanian yang lalu tidak dapat otomatis menyelasaikan masalah lemahnya nilai tukar produk pertanian ke produk
industri manufaktur, sehingga dapat me-recover keunggulan kompetitif dan komparatif produk pertanian yang dihasilkan. Dewasa ini pengembangan kawasan
agropolitan bukan saja harus disiapkan sebagai suatu revolusi mental petani dan pejabat saja, tetapi juga harus didukung oleh komitmen nasional yang konsisten untuk
jangka panjang. Pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia, yang diuji coba mulai tahun
2002 merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan pembangunan ekonomi berbasis pertanian pada kawasan pertanian terpilih dengan pendekatan pertanian
industri. Kawasan pertanian yang terpilih ini dapat merupakan kawasan atau sentra produksi pertanian berbasis tanaman pangan atau berbasis hortikultura atau berbasis
perkebunan atau berbasis perternakan atau komoditas campuran. Pradhan 2003 menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat
berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan.
Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan
atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal.
Menurut Pranoto 2002 untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi:
1. Pembangunan sarana dan prasarana. 2. Pembangunan sistem agribisnis.
3. Pengembangan industri kecil dan rumah tangga. 4. Penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat.
5. Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran. 6. Penguasaan teknologi tepat guna.
7. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara
terpadu. 8. Menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembaga-
lembaga ekonomi lainnya. Menurut Kurnia 1999 upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi perdesaan adalah melalui dukungan
penyediaan infrastruktur perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih, dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya.
Miyoshi 1997 mengemukakan pernyataan Friedmann dan Douglass, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok supaya memperhatikan:
1. Sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor, 2. Kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus
dikurangi, 3. Dikembangkan small scale production untuk pemasaran lokal harus
dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Menurut Tong Wu 2002 strategi pembangunan dapat mencakup:
1. Redistribusi dengan pertumbuhan. 2. Substitusi export.
3. Penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan gagasan
atau konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB.
Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di
luar planet bumi. Namun demikian, yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus
atau anak cucu kita dapat menikmatinya. Menurut WCED 1987, definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai
berikut: ”Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations
to meet their own needs”. Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkup hidup termasuk sumberdaya ke
dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain Munasinghe 1993.
Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena
itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di
perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkunganekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat
dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan
sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektivitas biaya, dan kontribusi terhadap
kemandiran teknis.
2.3. Konsep Kawasan Agropolitan