Pengembangan Komoditas Peternakan TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Deptan 2004 suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian agribisnis. 2. Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri pengolahan pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu sarana pertanian dan permodalan, agrowisata, dan jasa pelayanan. 3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland atau daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensitimbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya on farm dan produk olahan skala rumah tangga off farm, sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan pemasaran hasil produksiproduk pertanian. 4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan susasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.

2.5. Pengembangan Komoditas Peternakan

Usaha peternakan adalah suatu usaha yang melakukan kegiatan untuk memproduksi hasil peternakan daging, telur, dan susu serta hasil ikutannya dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijualditukar yang berguna bagi kepentingan manusia Pambudy 1999. Menurut Saragih 2000, kegiatan usaha budidaya peternakan merupakan bagian dari sistem agribisnis peternakan yang mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu upstream off-farm agribusiness; subsistem agribisnis budidaya peternakan on-farm agribusiness; subsistem agribisnis hilir downstream off-farm agribusiness; dan subsistem jasa penunjang supporting institution. Produksi daging, susu, dan telur secara nasional pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: 2 069 500 ton daging; 567 700 ton susu; dan 1 382 100 ton telur Direktorat Jenderal Peternakan 2008. Dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, permintaan akan produk peternakan semakin meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya impor daging sebesar 70 626 ton pada tahun 2006. Impor daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25 949 ton atau lebih dari sepertiga impor daging Indonesia Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Secara nasional kebutuhan daging, susu, dan telur sebagian besar dipenuhi dari usaha peternakan rakyat. Usaha peternakan rakyat dicirikan oleh: 1. Skala usaha kecil. 2. Bersifat subsistem. 3. Dilakukan sebagai usaha keluarga sering sebagai usaha sambilan. 4. Menggunakan tenaga kerja sederhana sehingga produktivitasnya rendah. 5. Bersifat padat karya. Dengan demikian kondisi ini memiliki posisi lemah dan rentan terhadap perubahan Dermawan dan Yusmichard 1995. Ada 2 dua faktor penyebab lambannya perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia Soehadji, 1995, yaitu: 1. Sentra produksi utama sapi potong di Pulau Jawa dengan porsi 45 dari total populasi nasional ternyata masih belum optimal, karena: a Ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan RTP di seluruh perdesaan. b Ternak diberi pakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian. c Teknologi budidaya rendah. d Tujuan pemeliharaan adalah menjadikan sapi potong sebagai sumber tenaga kerja. e Budidaya sapi potong untuk menghasilkan daging dengan orientasi pasar rendah. 2. Sentra produksi sapi potong kedua yaitu di Kawasan Timur Indonesia KTI dengan porsi 16 dari populasi nasional memiliki padang penggembalaan yang luas namun padang penggembalaan tersebut dihadapkan pada musim kering yang panjang 9 bulan dan tampilan performance ternaknya sebagai berikut: a Kematian anak tinggi. b Kondisi sapi kurus. c Angka kelahiran rendah. Produktivitas sapi potong di Indonesia masih sangat memprihatinkan karena produksinya masih jauh dari target untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan volume produksi daging masih rendah, antara lain: 1. Populasi rendah, yang dikarenakan pada umumnya peternak memelihara sapi potong dalam skala kecil dan lahan terbatas serta modal yang terbatas pula dan usaha sapi potong merupakan bagian kecil dari seluruh usaha pertanian dan pendapatan total keluarga. 2. Tingkat produksi rendah, karena bibit yang tidakkurang berkualitas dan keterbatasan jumlah pakan yang tersedia serta tujuan pemeliharaan yang ganda yaitu sebagai hewan potongan dan hewan kerja Sugeng 2002. Menurut Sitomorang dan Gede 2003 untuk meningkatkan produktivitas sapi potong perlu dilakukan pemuliaan yang terarah melalui kawin alam maupun inseminasi buatan IB tergantung dari kondisi lokal setempat. Pada sistem perkawinan alam produksi anak sapi potong net calf crop dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas pakan pejantan dan betina selama kebuntingan, penyapihan dini, mengoptimalkan ratio jantan dan betina, pemilihan pejantan untuk menghindari distokia dan pengontrolan penyakit. Untuk pemanfaatan teknologi IB, penggunaan semen beku dingin dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja IB tersebut. Menurut Pambudy 1999, sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang peternakan, kegiatan budidaya peternakan dilaksanakan melalui tiga evolusi pendekatan yaitu pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis.

2.5.1. Pendekatan Teknis

Pendekatan teknis dilakukan dengan tujuan peningkatan populasi ternak, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan peternakan dengan upaya: a Meningkatkan kelahiran melalui inseminasi buatan IB. b Menekan kematian melalui penolakan, pencegahan, penyidikan, pemberantasan, dan pengendalian penyakit ternak dan kesehatan masyarakat veteriner. c Pengendalian dan pencegahan pemotongan ternak betina produktif. d Mengendalikan ekspor ternak. e Mengimpor ternak unggul serta meningkatkan mutu ternak dalam negeri. f Distribusi bibit ternak betina serta jantan Pambudy et al. 2001.

2.5.2. Pendekatan Terpadu

Pengalaman menunjukkan bahwa berbagai upaya pendekatan teknis yang dilakukan ternyata tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan. Untuk mencapai tujuan peningkatan populasi ternak dan pendapatan peternak maka diterapkan pendekatan terpadu dengan cara melakukan pembinaan secara masif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu: teknologi produksi, ekonomi, dan sosial Pambudy 1999. Penerapan teknologi produksi dilakukan dengan program Panca Usaha yaitu: perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan kesehatan hewan, pemeliharaan, dan reproduksi. Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula teknologi ekonomi berupa perbaikan pascapanen dan pemasaran sehingga Panca Usaha menjadi Sapta Usaha, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan mengorganisir peternak dalam kelompok tani dan koperasi. salah satu program yang dilahirkan melalui pendekatan terpadu adalah Panca Usaha Ternak Potong PUTP.

2.5.3. Pendekatan Agribisnis

Menurut Djajalogawa dan Pambudy 2003, agribisnis peternakan diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders pemangku kepentingan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak petani-peternak dan perusahaan swasta. Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan dalam arti luas dengan industri dan jasa dalam suatu kluster industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih 2000 adalah sebagai berikut: 1. Subsistem agribisnis hulu upstream off-farm agribusiness, yaitu kegiatan ekonomi produksi dan perdagangan yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pakan, industri obat-obatan, inseminasi buatan, dan lain-lain. 2. Subsistem agribisnis peternakan on-farm agribusiness yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak. 3. Subsistem agribisnis hilir downstream off-farm agribusiness, yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit. 4. Subsistem jasa penunjang supporting institution, yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi 4 empat bagian subsistem Irawan dan Pranadji 2002 yaitu: 1. Subsistem pengadaan dan distribusi saranaprasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya. 2. Subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya: daging, telur, susu, dan lain-lain. 3. Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran. 4. Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Menurut Departemen Pertanian 2001 sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis peternakan beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan Subsistem Agribisnis Hulu Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan: - Bibitinduksemen - Pakankonsentrat - Obat ternak - Lahan - Kandang - Tenaga kerja Subsistem Agribisnis Budidaya Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produk- produk primer: - Pengolahan lahan - Antisipasi iklimcuaca - Pencegahan penyakit - Pemberantasan penyakit - Pembelian sapronak - Manajemen - Kegiatan produksi Subsistem Agribisnis Hilir Sistem pengumpulan produk primer peternakan, Pengolahan produk, Distribusi dan pemasaran produk segar, beku, kaleng, dan sebagainya sampai ke konsumen akhir Subsistem Lembaga Penunjang - Prasarana jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, dan lembaga keuangan. - Sarana transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain. - Kebijakan RUTR, makro, mikro, dan lain-lain. - Penyuluhan.

2.5.3.1. Subsistem Agribisnis Hulu

Subsistem agribisnis hulu upstream off-farm agribusness dari sistem agribisnis peternakan mencakup kegiatan ekonomi produksi dan perdagangan yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti: bibit ternak, pakan, industri obat- obatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan penting dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan, terutama ketersediaan bibit ternak. Salah satu contoh untuk peternakan sapi potong, skala usaha atau jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 – 3 ekor per peternak. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar berasal dari keluarga peternak yang serba terbatas. Kecilnya pemilikan ternak mengakibatkan usaha pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan Santoso 2001. Ada dua macam teknik reproduksi yang sudah dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bibit ternak, yaitu inseminasi buatan IB dan kawin alam. Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan masyarakat peternak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan ternak bakalan, terutama peranakan bangsa sapi yang produktivitasnya tinggi, seperti Simmental, Brahman, Limousin, dan Hereford. Menurut Hadi dan Ilham 2002 ada beberapa permasalahan dalam industri pembibitan sapi potong di Indonesia, antara lain: 1. Angka pelayanan kawin per kebuntingan service per conception = SC masih cukup tinggi mencapai 2.6. 2. Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator, dan masalah transportasi. 3. Jarak beranak calving interval masih terlalu panjang. 4. Tingginya tingkat kematian mortality rate pedet para sapih, bahkan ada yang mencapai 50 . Rendahnya produktivitas sapi pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan sapi bakalan bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang mengharuskan kita tetap mengimpor sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar.

2.5.3.2. Subsistem Agribisnis Budidaya

Pada subsistem agribisnis budidaya on-farm agribusness ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pembibitan reproduksi dan penggemukan. Kegiatan budidaya sapi potong untuk tujuan penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil petani maupun dalam bentuk perusahaan besar. Jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak dalam skala kecil di Indonesia termasuk ke dalam kelompok sapi tropis. Beberapa bangsa sapi tropis yang sudah cukup populer dan banyak dikembangkan sampai saat ini adalah: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Ongole, dan Sapi American Brahman Santoso 2001. Menurut Sugeng 1998 kelompok sapi tropis secara umum memiliki ciri-ciri mencolok yang sangat mudah dibedakan dengan kelompok sapi subtropis Eropa. Bangsa-bangsa sapi tropis memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pada umumnya sapi memiliki ponok. 2. Pada bagian ujung telinga meruncing. 3. Kepala panjang dengan dahi sempit. 4. Kulit longgar dan tipis, kurang dari 5 – 6 mm, kelenjar keringat besar. 5. Timbunan lemak, baik yang ada di bawah maupun di dalam kulit, dan otot- ototnya rendah. 6. Garis punggung pada bagian tengah berbentuk cekung dan pada bagian tingginya miring. 7. Bahunya pendek, halus, dan rata. 8. Kakinya panjang sehingga gerakannya lincah. 9. Lambat dewasa karena pertumbuhannya lambat, berat maksimal baru bisa dicapai pada umur 5 tahun. 10. Bentuk tubuh sempit dan kecil, berat timbangan sekitar 250 – 650 kg. 11. Ambingnya kecil sehingga produksi susunya rendah. 12. Tahan terhadap suhu panas dan kehausan, kadar air kotorannya rendah. 13. Toleran terhadap berbagai jenis pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi dan pakan sederhana. 14. Pada umumnya badannya tahan terhadap gigitan nyamuk dan caplak. Menurut Hadi dan Ilham 2002 jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh perusahaan penggemukan dalam skala usaha besar adalah jenis sapi Subtropis, seperti: Simmental, Limousin, Carolise, dan Hereford. Jenis sapi ini memiliki beberapa keunggulan antara lain: 1. Pertambahan berat badan PBB per harinya tinggi. 2. Tingkat konversi pakan tinggi. 3. Komposisi karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya sapi potong adalah manajemen pemberian pakan. Pemberian pakan pada sapi potong dibedakan dua golongan, yaitu pakan perawatan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan serta pakan produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan Santoso 2001. Jenis pakan sapi potong terdiri atas hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan yang merupakan sumber serat kasar, umumnya berasal dari rumput segar rumput Gajah, Raja, dan lain-lain, rumput alam yang tumbuh di lahan-lahan terbuka, dan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pakan konsentrat terbuat dari bahan padat energi, seperti: bekatul, jagung, ubi kayu, ampas ketela pohon, dan ampas tahu Sugeng 1998.

2.5.3.3. Subsistem Agribisnis Hilir

Subsistem agribisnis hilir downstream off-farm agribusiness dari sistem agribisnis peternakan adalah kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit, dan lain-lain. Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminumkan waste dan pollutan, serta pengembangan teknologi produk. Berikut ini pada Gambar 5, disajikan pohon industri ternak, yang memberikan kontribusi terhadap perbaikan mutu lingkungan dengan produk pupuk organik. Produk tersebut dibuat dari limbah ternak, yaitu feses dan urin. Gambar 5 Pohon industri ternak - Daging Segar - Pengalengan Daging - Pabrik Sosis - Pabrik Baso, dsb. - Kerupuk Kulit - Kerajinan - Tepung Darah - Pupuk Organik - Pupuk Organik - Tepung Tulang - Kerajinan Daging Darah Kulit Feses Urin Tulang, Kuku, dan Tanduk T e r n a k Susu Telur Bulu - Telur Segar - Telur Asin, dsb. - Pabrik Susu, Cream - Skim, Susu Segar, dsb. - Wool - Kerajinan Menurut Ilham et al. 2002 saluran tataniaga ternak menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen produk peternakan dalam bentuk segar telur, susu, dan daging segar. Pola umum saluran tataniaga ternak dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Pola umum saluran tataniaga ternak Konsumen membeli hasil ternak daging, susu, dan telur dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal atau distributor. Kelompok konsumen terdiri atas: konsumen rumah tangga, rumah makan atau restoran, hotel, penjual baso, dan lain-lain.

2.5.3.4. Subsistem Lembaga Penunjang Agribisnis

Subsistem lembaga penunjang agribisnis supporting institution merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada beberapa lembaga yang berperan di dalam subsistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis peternakan, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan, penelitian, dan lain-lain. Peternak Pedagang Peternak Peternak, Pejagal atau Pemotong Pengecer Konsumen Koperasi merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingan peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia GKSI. Menurut Karim 2002 dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi high risk dan rendah dalam hal pendapatan low return. Namun menurut Thohari 2003 ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis peternakan, antara lain: Kredit Taskin, Modal Ventura, Pemanfaatan Laba BUMN, Pegadaian, Kredit BNI, Kredit Komersial Perbankan Kupedes dari BRI, Swamitra dari Bukopin, Kredit Usaha Kecil dari: BNI, Bank Danamon, BII, Bank Mandiri, Kredit BCA, Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro KPKM dari Bank Niaga, Kredit Modal Kerja dari Bank Agro Niaga, dan pemanfaatan Lembaga Keuangan Mikro LKM di perdesaan.

2.6. Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan