1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien.
2. Penguatan kelembagaan petani. 3. Pengembangan kelembagaan agribisnis penyedia agroinput, pengelolaan
hasil, pemasaran, dan penyedia jasa. 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu.
5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
2.4. Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah.
Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah KabupatenKota untuk
dapat bertumbuh sebagai inisiator dan motivator dalam menggali dan mengembangkan semua potensi yang ada di mayarakat, sedangkan pemerintah
provinsi dan pusat lebih berperan dalam membantu fasilitasi yang diperlukan untuk dapat berlangsung dengan kegiatan pengembangan agropolitan.
Menurut Suwandi 2005 keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan sangat ditentukan oleh 3 tiga kegiatan yaitu:
1. Sosialisasi Kegiatan ini sangat penting agar masyarakat mengerti dan memahami
kawasan agropolitan. Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat dapat berperan aktif secara optimal. Sosialisasi juga diperlukan untuk jajaran
pemerintah kabupatenkota baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar fasilitasi pengembangan kawasan dapat lebih tajam dengan skala prioritas
yang didasarkan dengan kemampuan dan kebutuhan yang ada.
2. Rencana induk pengembangan kawasan agropolitan master plan Master plan merupakan dasar fasilitasi dalam mengembangkan kawasan
agropolitan oleh berbagai pihak baik pemerintah kabupatenkota, provinsi, pusat, pengusaha, dan masyarakat sendiri. Oleh karena itu proses
menyiapkan master plan harus melibatkan para pakar, praktisi, dan masyarakat kawasan. Master plan dirancang untuk keperluan jangka panjang
15 – 25 tahun. Oleh karena itu aspek legalitas sangat diperlukan untuk terjaminnya keberlanjutan dari program ini.
3. Manajemen pengembangan kawasan agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan yang kemudian disepekati sebagai
”Gerakan” mengandung arti bahwa berbagai pihak pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha mempunyai kepentingan untuk bersama-sama
bertanggungjawab sesuai dengan fungsi dan peran mereka masing-masing. Keberagaman kondisi pemerintah daerah kabupatenkota, provinsi baik
dilihat dari struktur pemerintah daerah yang dikembangkan, maupun kemampun pemerintah daerah dan masyarakat sehingga mendorong untuk
dikembangkan manajemen pengembangan kawasan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah setempat. Pada tahap awal, khususnya dalam
kegiatan sosialisasi dan penyiapan master plan, manajemen pengembangan kawasan dengan cara pembentukan kelompok kerja tingkat kabupatenkota,
provinsi, dan pusat masih dinilai cukup efektif. Namun dalam kondisi di mana operasionalisasi program sudah semakin intensif dan keterlibatan
berbagai pihak semakain kompleks, maka perlu disiapkan suatu manajemen khusus dengan mengembangkan suatu unit sebagai ”tim kerja” yang diberi
otoritas untuk bertindak sebagai ”POSKO” Pos Simpul Koordinasi. Berdasarkan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi,
pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk
pengembangan wilayah perdesaan. Kawasan agropolitan di sini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa
yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk
kawasan agropolitan. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman nasional da sistem permukiman pada tingkat provinsi RTRW Provinsi
dan Kabupaten RTRW Kabupaten. Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang
tumbuh dan berkembang karena berjalannya system dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan
pembangunan pertanian agribisnis di wilayah sekitarnya. Model agribisnis dan konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat
dilihat seperti Gambar 3.
Gambar 3 Contoh model agribisnis di kawasan agropolitan Produksi Tanaman
Komoditas Unggulan
Peternakan Komoditas Unggulan
Bahan Organik Kotoran
Komoditas Unggulan Segar
Produk Olahan Industri KecilRumah Tangga
Perikanan Pembenihan Pembesaran
Pasar Sub Terminal
Agribisnis
Suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah
mempunyai pasar selanjutnya disebut komoditi unggulan, serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya.
Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian on farm tetapi juga kegiatan off farm-nya, yatu mulai pengadaan
sarana dan prasarana pertanian seperti bibit, obat-obatan, pupuk, alat dan mesin pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian seperti: pembuatan
produk olahan, produk makanan ringankripik, dodol, dan lain sebagainya sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian seperti bakulan, warung,
jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminalsub terminal agribisnis, dan lain sebagainya, dan juga kegiatan penunjangnya seperti pasar hasil dan
agrowisata. 2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk
mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, yaitu: a Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat
dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian
sebelum dipasarkan. b Lembaga keuangan perbankan dan non perbankan sebagai sumber
modal untuk kegiatan agribisnis. c Memiliki kelembagaan petani kelompok, koperasi, assosiasi yang
harus berfungsi pula sebagai sentra pembelajaran dan pengembangan agribisnis SPPA. Kelembagaan petani di samping sebagai pusat
pembelajaran pelatihan, juga diharapkan kelembagaan petanipetani maju dengan petani di sekitarnya merupakan inti plasma dalam usaha
agribisnis.
d Balai Penyuluhan Pertanian BPP yang berfungsi sabagai Klinik Konsultasi Agribisnis KKA yakni dengan sebagai sumber informasi
agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang
lebih efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan
Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan
kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakanpetani maju, tokoh, masyarakat, dan lain sebagainya.
e Percobaanpengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan.
f Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dangan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang ke semuanya untuk mendukung usaha
pertanian agribisnis yang lebih efisien. 3. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi,
jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. 4. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosialmasyarakat yang
memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan swalayan, dan lain-lain.
5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian soial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa
terjamin. Berdasarkan persyaratan di atas, bila kawasan agropolitan merupakan suatu
sistem, maka sistem tersebut terdiri atas subsistem sumberdaya manusia, pertanian dan komoditas unggulan, subsistem sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan
prasarana umum, prasarana kesejahteraan sosial, dan subsistem kelestarian laingkungan Deptan 2004.
Menurut Deptan 2004 suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian agribisnis.
2. Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri pengolahan
pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu sarana pertanian dan
permodalan, agrowisata, dan jasa pelayanan. 3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland atau daerah-daerah
sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensitimbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Dimana kawasan pertanian
mengembangkan usaha budidaya on farm dan produk olahan skala rumah tangga off farm, sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk
berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan
pemasaran hasil produksiproduk pertanian. 4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan susasana kota
karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
2.5. Pengembangan Komoditas Peternakan