2.3. Konsep Kawasan Agropolitan
Menurut Departemen Pertanian 2002 agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian agribisnis di
wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian. Agropolitan jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah
Kota Tani.
Friedmann dan Douglass 1976 menyarankan kawasan agropolitan kota pertanian dan desa-desa penyangganyasentra produksi pertanian sebagai aktivitas
pembangunan berpenduduk antara 50 000 sampai 150 000 orang. Barangkali luasan dan besaran penduduk ini, secara administrasi setara dengan 1 satu Wilayah
Pengembangan Partial WPP pemukiman transmigrasi, sedangkan di Pulau Jawa berkisar 1 satu sampai 5 lima kecamatan. Sebagai contoh di luar Pulau Jawa pada
kawasan pertanian di Kabupaten Agam yang sekarang dirintis sebagai kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan sapi penggemukan, terdiri atas 5 lima
kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 56 000 jiwa. Di Pulau Jawa pada kawasan Kecamatan Pacet Cianjur penduduknya sebanyak 171 000 jiwa. Menurut
Friedmann dan Doglass tersebut, kawasan agropolitan terdiri atas distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian
perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwakm
2
. Dalam distrik agropolitan akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10 000-25 000 jiwa.
Agropolitan merupakan salah satu bentuk rencana untuk penataan kota di perdesaan yang aktivitasnya di sektor pertanian. Agropolitan merupakan gagasan
yang baru diperkenalkan di Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tahun 2002, namun sampai saat ini perhatian pembangunan masih tetap berorientasi dan
didominasi oleh kota-kota besar. Dalam rangka pembangunan perdesaan yang setara kota dimana sektor pertanian yang mendominasi aktifitas masyarakat di perdesaan,
maka solusi penataan pembangunannya seyogyanya difokuskan pada sektor pertanian.
Agropolitan menjadi sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan
mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan sebaiknya didesentralisasikan sehingga
masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri Rustiadi et al. 2006.
Menurut Rustiadi et al. 2006 pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan district scale karena pada
skala kecamatan, akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut: 1. Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk
menjangkau kota. 2. Cukup luas untuk meningkatkanmengembangkan wilayah pertumbuhan
ekonomi scope of economic growth dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-
keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi. 3. Pengetahuan lokal local knowledge akan mudah diinkorporasikan dalam
proses perencanaan. Namun demikian, sebagai unit wilayah fungsional, agropolitan selain dapat
berada dalam satu wilayah kecamatan, pengembangan kawasan agropolitan dapat juga berada dalam beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, atau beberapa
kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten, atau beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi tergantung kemampuan dan kesiapan wilayah
pengembangan tersebut. Menurut Rustiadi et al. 2006 pengembangan kawasan agropolitan adalah
bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan
mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdayasaing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan
pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:
1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan
pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien.
2. Penguatan kelembagaan petani. 3. Pengembangan kelembagaan agribisnis penyedia agroinput, pengelolaan
hasil, pemasaran, dan penyedia jasa. 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu.
5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
2.4. Pengembangan Kawasan Agropolitan