3. Tingkat produktivitas wilayah dengan indikator penilaian adalah nilai relatif produktivitas komoditas.
4. Memiliki keunggulan komparatif, dengan indikator penilaian adalah nilai LQ banyaknya usaha ternak.
5. Memiliki keunggulan kompetitif, dengan indikator penilaian perbandingan produksi relatif dan harga relatif antar komoditas.
6. Komoditas diperdagangkan antar wilayah, dengan indikator penilaian adalah nilai LQ nilai produksi komoditas.
7. Keterkaitan produk ke depan, dengan indikator penilaian adalah merupakan bahan baku industri dan memiliki peluang pengembangan
ke depan.
Untuk komoditas peternakan, pengelompokan komoditas unggulan dan andalan dilakukan dengan menilai tujuh kriteria yaitu: 1 nilai populasi Rp, 2
kesesuaian wilayah arahan kesesuaian wilayah, 3 laju perkembangan , 4 nilai relatif perkembangan wilayah terhadap wilayah hirarkhi lebih tinggi ratio,
5 keunggulan kompetitif antar komoditas, 6 komoditas diperdagangkan antar wilayah LQ, dan 7 prospek permintaan permintaan daging, susu, dan telur.
Pemberian bobot pada setiap komponen yang dinilai sama dengan cara komoditas lainnya dari satu 1 sampai dengan lima 5. Total bobot dan cara
klasifikasi bobot adalah sama dengan komoditas tanaman yang hanya diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kelompok komoditas andalan total
nilai 6-20 dan komoditas unggulan total nilai 21-30.
c.3. Analisis Usahatani
Analisis usahatani dilaksanakan untuk mengetahui biaya dan manfaat usahatani dalam menghasilkan suatu produk. Salah satu teknik analisis yang
dapat digunakan untuk mengetahui kelayakan usahatani Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999 dan Djamin, 1993 adalah revenue cost ratio RC
ratio yang menggambarkan ratio pendapatan dengan nilai biaya total selama musim usaha, dengan rumus sebagai berikut:
RC = ∑ R ∑ Cs + ∑ Ct
Keterangan: RC = Rasio pendapatan terhadap modal. ∑ R = Pendapatan total.
∑Cs = Biaya tunai. ∑ Ct = Biaya terhitung.
5.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Potensi Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo
5.3.1. Basis Komoditas Pertanian a. Komoditas Peternakan
Wilayah studi terdiri atas 5 lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran merupakan objek kajian dalam
penelitian ini. Setiap kecamatan mempunyai potensi untuk pengembangan beberapa komoditas peternakan, sehingga dapat menjadi basis bagi
pengembangan komoditas peternakan tertentu. Untuk mengetahui apakah setiap kecamatan yang dianalisis di wilayah Kabupaten Situbondo merupakan basis
dominan pengembangan komoditas ternak tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan analisis location quotient LQ seperti terlihat pada Tabel 29 dan
Lampiran 1. Tabel 29 Nilai LQ beberapa jenis ternak di wilayah Kabupaten Situbondo
No Jenis Ternak
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
Kec. Kapongan
Kec. Mangaran
1. Sapi Potong
1.03 1.07
1.04 1.00
1.01
2. Sapi Perah
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 3.
Kerbau 0.00
0.00 0.22
0.20 0.00
4. Kambing
0.47 0.19
0.63 0.87
0.99 5.
Domba 0.80
0.49 0.82
1.07 0.99
6. Ayam Buras
0.94 0.39
0.47
1.04 1.14
7. Ayam Ras
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 8.
I t i k 0.47
0.25 0.64
1.03 0.65
Sumber: Data diolah dari data sekunder: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Jenis ternak yang paling dominan dan merupakan basis pengembangan ternak di lima kecamatan adalah ternak sapi potong, sedangkan ternak sapi perah,
kerbau, dan ayam ras bukan merupakan basis pengembangan di lokasi studi. Ternak domba, ayam buras, dan itik cukup dominan pengembangannya di
Kecamatan Kapongan, demikian juga ayam buras cukup dominan pengembangannya di Kecamatan Kapongan. Ternak kambing dan domba
mempunyai potensi untuk dikembangkan di Kecamatan Mangaran Tabel 29. Jenis ternak yang dominan ini didasarkan pada populasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi wilayah di atasnya yaitu Kabupaten Situbondo dan ini didasarkan pada nilai LQ 1. Nilai LQ 1 dapat dijadikan petunjuk bahwa
kecamatan tersebut surplus akan komoditas tertentu merupakan kantong ternak dan telah mengekspornya ke daerah lain atau memiliki tingkat kebutuhan
konsumen yang tinggi yang berasal dari daerah lain di luar kecamatan tersebut. Komoditas-komoditas ini juga telah banyak diminati oleh masyarakat setempat
untuk dibudidayakan, dan cukup sesuai dengan kondisi agroklimat, sehingga dapat dikatakan komoditas-komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan
baik dilihat dari keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Namun demikian perhitungannya masih sederhana yang hanya didasarkan pada nilai LQ
saja, sehingga perlu analisis lebih lanjut untuk memasukkan ke dalam kategori sebagai komoditas unggulan. Jumlah ternak sapi potong di daerah ini cukup
dominan dibandingkan daerah lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 23, 24, 25, 26, dan 27.
Dalam rangka lebih meningkatkan pendapatan peternak. upaya peningkatan produksi terhadap komoditas-komoditas ternak yang telah
dikembangkan oleh masyarakat perlu terus digiatkan baik terhadap komoditas yang memiliki nilai LQ 1 dan LQ = 1 maupun komoditas dengan nilai LQ 1
mengingat komoditas-komoditas ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Upaya peningkatan produksi dapat
dilakukan melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi, mengingat wilayah ini masih memiliki lahan yang cukup untuk pengembangan komoditas dominan
dengan tingkat penggunaan sarana produksi peternakan sapronak dan
pemanfaatan teknologi yang masih kurang, sehingga komoditas dominan tersebut masih mempunyai peluang yang besar untuk ditingkatkan baik kualitas maupun
kuantitasnya. Ternak ruminansia, khususnya ternak sapi potong sangat potensial untuk
dikembangkan di wilayah Kabupaten Situbondo dan pemerintah daerah serta masyarakat sangat antusias dan merespon kebijakan ini. Hal ini disebabkan antara
lain: 1 permintaan pasar terhadap komoditas peternakan cukup tinggi, untuk tahun 2007 saja jumlah ternak yang dipotong: 8 464 ekor; 2 potensi lahan yang
tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Kondisi ini ditunjukkan oleh pemanfaatan tanah di Kabupaten
Situbondo untuk kehutanan 44.80 , sawah 18.56 ; pertanian tanah kering 17.09 ; padang rumput 4.56 dari total luas wilayah 163 850 ha. 3
kesesuaian kondisi agroklimat dengan jenis ternak sapi potong. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Kabupaten Situbondo memiliki iklim tropis yang
ditandai dengan adanya dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau atau panas berlangsung antara bulan Mei – September,
sedangkan musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober – April dengan curah hujan rata-rata 994 mm hingga 1 053 mm per tahun dengan temperatur
lebih kurang antara 24.7 C – 27.9
C. Kondisi ini cukup ideal untuk pengembangan usaha peternakan, terutama untuk ternak sapi potong, 4 budaya
masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan sapi potong. Jumlah penduduk di Kabupaten
Situbondo sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar 638 537 jiwa, yang terdiri atas 311 119 jiwa penduduk laki-laki dan 327 338 jiwa penduduk perempuan.
Dengan luas wilayah 1 638.50 km
2
, maka kabupaten Situbondo memiliki kepadatan penduduk sebesar 390 jiwakm
2
. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Situbondo adalah Suku Madura dan Jawa yang banyak bekerja di
bidang pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan karena daerah ini dikenal daerah agraris. Selain itu Suku Madura dikenal sangat
dekat dan senang memelihara sapi potong, karena ada kaitannya dengan hoby Karapan Sapi. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan usaha peternakan
sapi potong di wilayah ini. 5 dukungan pemerintah daerah terhadap sektor
peternakan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas peternakan, seperti: rumah potong hewan RPH, pasar hewan, inseminasi buatan
IB, penyediaan bibit rumput unggul, serta bibit sapi potong unggul, seperti
Limousin, Simmental dan Brahman, Brangus, dan Hereford. 6 pasar produk
peternakan permintaan daging segar memberikan peluang pasar yang sangat baik. Selain produk peternakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat
Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya ternak yang
dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik
regional bruto PDRB sebanyak 9.87 atau sebesar Rp 146 804 670 000,- Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008.
b. Basis Komoditas Tanaman Pangan