HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Potensi Biomasa dan Karbon

80 5.3. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.3.1. Potensi Biomasa dan Karbon

5.3.1.1. Potensi Karbon Areal Bekas Tebangan dan Hutan Primer

Potensi karbon di areal bekas tebangan pada areal TPTII selain dihitung pertahun bisa juga diklasifikasikan perlima tahun. Selain pengukuran yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2007, di areal PT. SBK Kalimantan Tengah ini juga sudah dilakukan kegiatan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala IHMB pada tahun 2009 dengan total plot sebanyak 1.100 plot. Hasil IHMB tidak berbeda jauh dengan hasil survei penulis pada tahun 2007 Tabel 21 dan Gambar 23. Tabel 21. Perbandingan antara Potensi Karbon di Areal Bekas Tebangan dengan Hutan Primer PT. SBK No Tipe Hutan Potensi Karbon rerata ton CHa Penulis Potensi Karbon rerata ton CHa IHMB 1 Hutan Primer 242,42 242,42 2 ABT 5 tahun 85,01 132,82 3 ABT 5 - 10 tahun 100,91 139,70 4 ABT 10 - 15 tahun 128,11 140,78 5 ABT 15 tahun 169,30 161,31 Sumber : Hasil Survei IHMB 2009 Ket : ABT = Areal Bekas Tebangan LoA 81 Gambar 23. Potensi Karbon Areal Bekas Tebangan Perlima Tahun Berdasarkan potensi karbon per tahun sebelum penebangan pada areal TPTI di areal PT. SBK antara tahun 1989 – 1998, potensi karbon berdasarkan hasil IHMB di PT. SBK adalah antara 106,80 – 190,18 ton Cha Gambar 24. Pada tahun 1999 PT. SBK sudah melakukan sistem TPTII sehingga penebangan dilakukan terhadap pohon berdiameter 40 cm. Potensi karbon antara tahun 1999 – 2008 berdasarkan hasil IHMB di PT. SBK adalah antara 66,40 – 204,59 ton Cha Gambar 25 dan Lampiran 11. 82 Gambar 24. Potensi Karbon Areal Bekas Tebangan Tahun 1989 – 1998 Berdasarkan Survei IHMB Gambar 25. Potensi Karbon Areal Bekas Tebangan Tahun 1999 – 2008 Berdasarkan Survei IHMB 83

5.3.1.2. Potensi Riap Diameter Tanaman Meranti Pada Sistem TPTII

Potensi riap diameter tanaman dari meranti yang dikembangkan pada sistem jalur tanam pada sistem silvikultur TPTII dapat dilihat pada Gambar 27 dan Lampiran 3. Pada tahun 1 – 10 riap diameter shorea naik rata-rata 2,44 cmtahun. Menurut Appanah Weinland 1993, diameter Shorea parvifolia umur 40 tahun sebesar 107,5 cm atau memiliki pertumbuhan riap rata-rata 2,69 cmtahun. Jenis Shorea leprosula menurut Appanah Weinland 1993 memiliki diameter 73,6 cm atau memiliki pertumbuhan riap per tahun sekitar 1,84 cmtahun. Pertumbuhan riap diameter meranti di PT. SBK diperkirakan mulai menurun ketika umur 25 tahun. Hal ini terjadi karena antar pohon shorea di jalur tanam tajuknya sudah saling bertemu sehingga mengurangi ruang tumbuh pohon kompetisi. Begitu pula dengan adanya jalur antara yang tanamannya juga terus tumbuh. Berdasarkan prediksi model Richards pada Gambar 26 didapatkan hasil bahwa setelah mencapai asimptot pada usia 25 tahun dengan diameter 63,25 cm, maka pertambahan diameter tanaman ≤ 1 cmtahun sampai mencapai kondisi yang sigmoid, dimana fase pertumbuhan lambat yaitu pada awal dan akhir siklus, dan fase pertumbuhan cepat fase pertumbuha aktif yaitu umur pertengahan. Berdasarkan studi Ruslandi dan Hasbillah 2009 pada areal yang sama, riap diameter tanaman TPTII pada tiga tahun pertama setelah penanaman belum menunjukkan pertumbuhan yang tinggi, yaitu sekitar 1 – 1,5 cm per tahun. Dengan demikian, data-data pertumbuhan diameter di atas akan menunjukkan kurva pertumbuhan kumulatif yang berbentuk sigmoid, yaitu eksponensial pada fase awal pertumbuhan, kemudian dilanjutkan dengan linier pada fase tengah, kemudian pertumbuhan melambat dan akhirnya berhenti. Kondisi tegakan TPTII setelah berumur 25 tahun akan serupa dengan kondisi tegakan hutan alam dari aspek kerapatan tegakan persaingan. Prediksi model Richards memperlihatkan hubungan yang signifikan antara umur 84 tanaman dengan diameter yang ditunjukan oleh nilai koefisien korelasi 0,99 dengan standar deviasi 0,75. S = 0.75445803 r = 0.99936541 X Umur tahun Y D ia m e te r c m

0.1 18.4

36.7 55.0

Dokumen yang terkait

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 60 209

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 21 394

Deforestation And Forest Degradation In Lombok Island, Indonesia: Causes And Consequences

0 2 95

IMPLEMENTASI PERATURAN HUKUM TENTANG REDUCNG EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD) DI INDONESIA

0 3 87

REDD+ and the Agricultural Drives of Deforestation Keyfindings from Three Studies in Brazil, Ghana and Indonesia

0 0 27

Methodology Design Document for Reducing Emissions from Deforestation and Degradation of Undrained Peat Swamp Forests in Central Kalimantan, Indonesia

0 0 286

Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+)

0 0 42