HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Potensi Penurunan Emisi Dari Pelaksanaan TPTII dalam Kerangka

179 9.3. HASIL DAN PEMBAHASAN 9.3.1. Potensi Penurunan Emisi Dari Pelaksanaan TPTII dalam Kerangka REDD Jika dibandingkan antara pengelolaan sistem TPTII dengan sistem TPTI maka didapatkan hasil bahwa potensi karbon pada sistem TPTII pada tahun pertama adalah sekitar 79,83 ton Cha, tahun ke 25 mencapai 250,51 ton Cha. Sedangkan TPTI pada tahun pertama setelah tebangan sebesar 80,60 tonC Ha. dan pada tahun ke-25 sebesar 115,41 ton CHa. Di tempat yang sama, Kusuma 2009 memperoleh massa karbon di atas permukaan tegakan hutan hujan tropis bekas tebangan LOA TPTI PT SJM 1983 sebesar 73,6 – 93,4 tonCHa. Sedangkan Junaedi 2007 menghitung potensi karbon bekas tebangan TPTJ umur 1-4 tahun berkisar antara 57,68 – 107,71 tonCHa di PT.SBK. Untuk TPTII ketika dilakukan penebangan pada tahun 25 maka potensi karbon areal TPTII pada tahun ke 26 diduga sebesar 83,48 ton CHa atau mengalami kenaikan potensi karbon sebesar 4,56 dibandingkan tahun 1 ketika dimulainya sistem TPTII. Pada tahun ke-75 jika pengelolaan dilakukan tanpa kegiatan produksi, maka potensi karbon pada areal TPTII sebesar 345,00 ton Cha. Dalam konteks penebangan, maka pada pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dalam kurun waktu 100 tahun dapat dilakukan kegiatan penebangan selama empat kali jangka waktu penebangan 25 tahun sekali. Sedangkan sistem TPTI dalam kurun waktu 100 tahun hanya dapat dilakukan kegiatan penebangan selama 2 kali. Menurut Smith and Applegate 2002, dibawah protokol kyoto negara industri dapat memberikan garansi berupa dana kehutanan untuk mengurangi emisi karbon kepada negara berkembang. Pada areal hutan yang dikelola dengan sistem pembalakan konvensional yang membutuhkan silus tebang 30 – 60 tahun, dimana pengulangan pemanenan dengan interval beberapa dekade akan menghasilkan degradasi hutan menjadi semak dan padang rumput, jika dilakukan dengan model conventional logging including the practice of premature reentry logging CLR. Dalam model CLR tidak ada perencanaan 180 peroduksi, tidak mempertimbangkan kondisi biofisik lahan dan tidak melakukan manajemen sosial untuk kelestarian lingkungan. Sedangkan dengan metode Natural Forest Management NFM yang termasuk kegiatan RIL, sutainable post harvest practices seperti kegiatan silvikultur, manajement untuk kelestarian volume produksi kayu dan manajemen kegiatan sosial maka akumulasi biomassa pada setiap periode produksi lebih baik daripada kegiatan seperti model CLR. Model perubahan lahan terkait kegiatan dalam bentuk NFM dan CLR, dengan model perubahan seperti pada Gambar 51. Terkait dengan akumulasi biomassa, Smith dan Applegate 2001 menyebutkan bahwa akumulasi biomassa dari hutan yang dikelola dengan teknik RIL dibanding dengan teknik konvensional diperoleh karbon yang disimpan pada akar di bawah tanah, serasah dan vegetasi di atas tanah perubahannya relatif lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional. Pada rotasi kedua terjadi penurunan volume kayu komersil yang ditebang dan penurunan ukuran rata-rata kayu yang ditebang dibanding dengan rotasi pertama. Gambar 51. Pola Penebangan berdasarkan analisis Smith dan Appelgate 2002 Kegiatan produksi yang dilakukan oleh HPH IUPHHK di Indonesia sama seperti model NFM yang dibangun oleh Smith and Applegate 2002. 181 Pada kegiatan produksi sistem TPTI di Indonesia, penebangan sekitar 10 pohonha dan kehilangan karbon yang terjadi sekitar 15 dari potensi hutan sebelum penebangan. Kehilangan karbon terjadi pada pembuatan jalan sarad, kerusakan akibat penebangan dan pada kegiatan penyaradan. Pada produksi rotasi kedua, penebangan sekitar 10 pohonha dan kehilangan potensi karbon dari aktivitas pembuatan jalan sarad dan akibat penebangan diperkirakan sekitar 20 . Kehilangan potensi karbon pada rotasi kedua dan seterusnya terjadi pada pembuatan jalan sarad, kerusakan akibat penebangan, pada kegiatan penyaradan dan menurunnya potensi hutan secara alami dibanding daur sebelumnya. Pada rotasi ketiga tahun ke – 76 penebangan sebanyak 10 pohon dan kehilangan potensi karbon akibat penebangan dan pembuatan jalan sarad sekitar 25 . Dengan demikian kondisi hutan yang dikelola dengan sistem TPTI tidak akan pernah hilang seperti model CLR tetapi akan tetap dalam bentuk NFM seperti yang digambarkan Smith dan Applegate. Dengan menggunakan sistem TPTII diperoleh potensi biomassa yang lebih tinggi dan perusahaan dapat melakukan kegiatan produksi setiap tahun ke 25 atau jika tanaman sudah memiliki diameter lebih dari 40 cm. Pada kegiatan produksi rotasi pertama tahun ke-26 jumlah pohon yang ditebang untuk jalur tanam sebanyak 64 pohonha, jalur antara sebanyak 8 pohonha dan kehilangan karbon akibat produksi sekitar 10 . Pada rotasi kedua tahun ke – 51 jumlah pohon yang ditebang dijalur tanam sebanyak 64 pohonha dan jalur antara 8 pohon dan kehilangan karbon akibat produksi sekitar 15 . Pada rotasi ketiga tahun ke – 76 penebangan di jalur tanam sebanyak 64 pohon dan jalur antara 8 pohon dan kehilangan karbon pada sistem TPTII akibat penebangan dan jalan sarad sekitar 20 . Dengan demikian, pola TPTII akan memberikan keuntungan bagi lingkungan, perusahaan dan masyarakat Gambar 52. 182 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 T o n C H a Tahun Perbandingan Pertumbuhan Karbon TPTI, TPTII VP TPTII Tidak Tebang TPTI BAU Virgin Forest TPTII Tebang Gambar 52. Perbandingan Potensi Karbon pada TPTII dan TPTI 9.3.2. Skenario Konservasi Hutan dalam Kerangka Penerapan Sistem TPTII Terhadap Laju Perladangan Berpindah Masyarakat Pada kondisi ini diasumsikan laju pertumbuhan penduduk 4,59thn dan tidak adanya “tanda pembatas” kegiatan ladang di lapangan, maka diasumsikan bahwa jumlah kepala keluarga peladang akan meningkat menjadi 50 dibandingkan jika ada TPTII 35 KK, luas ladang per KK 3,6 ha dan siklus perladangan 5 lima tahun kondisi eksisting. Untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan TPTII dan pembinaan masyarakat dalam menekan perladangan berpindah masyarakat sehingga mampu mengurangi laju degradasi dan deforestasi, baseline perhitungan yang digunakan sebagai pembanding adalah kondisi eksisting di lokasi penelitian yaitu laju pertumbuhan penduduk 4,59thn periode 2000-2006, jumlah kepala keluarga peladang 419 KK 35 dari total 1.205 KK, luas ladang 3,6 ha KK dengan rotasi perladangan setiap 5 lima tahun. Atas dasar baseline tersebut selanjutnya dilakukan proyeksi kebutuhan lahan perladangan dengan menggunakan tiga skenario pendekatan yaitu: a 183 ada PMDH tetapi tidak ada TPTII, b tidak ada PMDH dan tidak ada TPTII, dan c ada PMDH terpadu dan TPTII ditingkatkan.

a. Skenario Pertama: ada pembinaan namun TPTII tidak diterapkan dalam pengelolaan hutan.

Dokumen yang terkait

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 60 209

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 21 394

Deforestation And Forest Degradation In Lombok Island, Indonesia: Causes And Consequences

0 2 95

IMPLEMENTASI PERATURAN HUKUM TENTANG REDUCNG EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD) DI INDONESIA

0 3 87

REDD+ and the Agricultural Drives of Deforestation Keyfindings from Three Studies in Brazil, Ghana and Indonesia

0 0 27

Methodology Design Document for Reducing Emissions from Deforestation and Degradation of Undrained Peat Swamp Forests in Central Kalimantan, Indonesia

0 0 286

Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+)

0 0 42