Analisis Sosial dari Sistem TPTII dalam Frame REDD

190 lebih tinggi diareal TPTII dibandingkan di areal TPTI BAU yang hanya 33,52 ton Cha artinya terdapat perbedaan rata-rata 4 sampai 9 kali dibanding TPTI BAU. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa adanya perlakuan penanaman dan pemeliharaan secara intensif dan adanya ruang tumbuh pada areal TPTII akan menghasilkan biomas dan karbon jauh lebih besar. Hasil analisis kelayakan ekonomi manfaat karbon dengan menggunakan skenario tanpa penebangan alternatif-1 di areal TPTII menunjukan bahwa pembangunan sistem TPTII adalah tidak layak secara finansial pada harga karbon US 5 - 25 per ton C, suku bunga 10, 12 dan 14 dan perubahan biaya biaya turun dan naik masing-masing 15 yang ditunjukan oleh nilai NPV negatif dan BCR 1. Sedang pada penebangan di jalur tanam alternatif-2 layak sampai bunga 10-12 serta pada penebangan di jalur tanam dan tebang pilih di jalur antara alternatif -3 masih layak sampai tingkat suku bunga 14. Adanya perbedaan nilai karbon dan kelayakan antara sistem TPTII dengan sistem TPTI, menunjukan bahwa kawasan hutan yang dikelola dengan sistem TPTII memberikan manfaat yang lebih besar dalam mengkonservasi karbon, sehingga harus diperhitungkan sebagai opportunity cost, jika dibandingkan dengan sistem TPTI. Dengan demikian, adanya perbedaan potensi dan nilai ekonomi karbon pada kedua sistem tersebut merupakan salah satu cara dalam menentukan besarnya kontribusi tanaman dalam menyimpan karbon apabila akan dimasukan dalam skema perdagangan karbon melalui mekanisme REDD.

9.3.4. Analisis Sosial dari Sistem TPTII dalam Frame REDD

Tinjauan dari aspek sosial dengan pelaksanaan TPTII di areal PT. SBK memperlihatkan bahwa klaim adat masyarakat semakin menurun dibandingkan sebelum pelaksanaan TPTII. Hal ini terkait langsung dengan adanya pengakuan masyarakat terhadap areal TPTII. Pengakuan masyarakat terhadap status areal TPTII didukung dengan adanya keterlibatan masyarakat sebagai 191 tenaga kerja tetap atau harian dalam kegiatan penanaman. Penambahan penyerapan karyawan pembinaan hutan bulanan dan harian tahun 2000-2006 yaitu rata-rata 772 orangtahun dengan sebaran 483 orang sampai 1.119 orang tenaga kerja pertahun, dengan rata-rata penambahan tenaga kerja pertahun 106 orang yang tergantung pada luas tanam. Hal ini mengindikasikan TPTII mempunyai peranan yang sangat penting dalam membuka lapangan kerja dan menyerap angkatan kerja yang berada dipedesaan. Untuk mendukung pelaksanaan TPTII dalam jangka panjang dari perspektif sosial ekonomi, perlu juga didukung oleh adanya penyediaan lahan bagi masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan, khususnya pada masyarakat yang tinggal dan hidup di dalam maupun sekitar kawasan hutan dan masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan, terutama akibat adanya pertumbuhan penduduk yang meningkat setiap tahunnya. Untuk menekan terjadinya perambahan kawasan hutan dimasa mendatang, maka didalam pelaksanaan TPTII perlu didukung oleh adanya sistem insentif kepada masyarakat agar tidak merambah kawasan hutan. Model insentif yang dapat dikembangkan antara lain meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kegiatan PMDH+ secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Boer, et.al 2006 yang menjelaskan bahwa upaya-upaya peningkatan konservasi karbon dengan perlindungan hutan di sekitar kawasan hutan akan memberikan manfaat lanjutan melalui pengembangan pertanian berkelanjutan, pertanian menetap, menurunkan run-off, meningkatkan kapasitas penyerapan dan fungsi pengendali dari daerah aliran sungai. 9.3.5. Implikasi Penerapan Kebijakan Sistem TPTII Dalam Mengurangi Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan Kebijakan penerapan sistem TPTII sebagaimana yang telah dilakukan selama ini oleh perusahaan di lokasi penelitian, memberikan dampak nyata dalam mengendalikan kegiatan perladangan maupun perambahan ke dalam 192 kawasan. Namun usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan dalam lingkup areal TPTII seluas 147.600 ha, belum memberikan jaminan keamanan kawasan jangka panjang, karena di sekitar kawasan terdapat perkampungan masyarakat dengan jumlah penduduk yang mencapai 4.628 jiwa dan 1.205 KK, dan 35 dari jumlah kepala keluarga adalah peladang berpindah dengan luas ladang per KK mencapai 3,6 ha kondisi eksisting. Atas dasar kondisi diatas, untuk menjamin pelaksanaan TPTII di areal PT. SBK dapat berjalan baik dalam jangka panjang, maka perlu ada dukungan kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat, pengelola Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan pengusaha hutan lainnya sangat penting dalam mengurangi alih fungsi kawasan hutan ke bentuk penggunaan lain seperti perladangan berpindah, permukiman, perkebunan dan perambahan kawasan yang merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Pilihan kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah daerah, taman nasional dan perusahaan lain untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan yang disebabkan oleh kegiatan perladangan dan perambahan kawasan adalah sebagai berikut: a Kebijakan Pemerintah Daerah, meliputi:  Melakukan identifikasi kawasan hutan dan lahan sekitar kawasan TPTII, yang di klaim sebagai hak adat  Menyusun PERDA tentang pemberian hak hutan adat kepada masyarakat asli setempat, yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya lahan dan hutan serta masih memiliki matapencaharian yang dilakukan secara turun temurun.  Pemerintah Daerah perlu meningkatkan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat dengan mengembangkan alternatif matapencaharian selain berladang, seperti berkebun karet, pertanian menetap, pembangunan irigasi, dan program kegiatan lainnya. 193 b Kebijakan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya  Melakukan identifikasi kawasan hutan dan lahan sekitar kawasan taman nasional, yang di klaim sebagai hak adat  Meningkatkan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar dengan didukung oleh kegiatan pengembangan usaha alternatif kepada desa-desa yang berada di sekitar kawasan taman nasional.  Mengembangkan keberadaan fungsi kawasan penyangga taman nasional yang berbatasan dengan kawasan pemukiman masyarakat, sebagai wilayah pengembangan usaha penanaman pohon yang bersifat komersial model TPTII dan atau kegiatan perkebunan yang diatur dalam mekanisme pengelolaan taman nasional bersama masyarakat setempat.  Melakukan koordinasi dan kerjasama yang intensif dengan HPH. PT SBK dan perusahaan lain yang berada di sekitar Taman Nasional dan berfungsi sebagai penyangga kawasan taman nasional, terutama dalam melakukan pengamanan hutan dan pembinaan kepada mayarakat untuk mengurangi kegiatan perladangan berpindah dan perambahan kawasan. c Kebijakan Perusahaan Lain  Mengembangkan program sistem silvikultur intensif TPTII di areal pengusahaan  Meningkatkan usaha-usaha pembinaan kepada masyarakat sekitar melalui program PMDH yang aktif dan berkelanjutan  Mengembangkan alternatif usaha matapencaharian masyarakat sekitar kawasan, seperti kegiatan budidaya rotan, gaharu, perkebunan karet dan usaha pertanian menetap lainnya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat  Melakukan penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai pentingnya konservasi kawasan hutan dan kepedulian terhadap lingkungan 194  Melakukan pembinaan sosial budaya kepada masyarakat pendidikan, pelatihan, ketenagakerjaan, beasiswa, dll  Memberikan bantuan infrastruktur jalan, jembatan untuk meningkat akses dan usaha masyarakat dalam berusaha  Menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan dan keagamaan bagi masyarakat setempat. d Kebijakan HPH PT. SBK Kalteng  Meningkatkan dan melanjutkan program pembinaan yang telah dilakukan selama ini kepada desa-desa binaan PMDH di dalam dan sekitar kawasan areal TPTII  Membantu masyarakat dalam meningkatkan pemasaran harga hasil rotan dan atau tanaman pangan lainnya, agar dapat dipasarkan ke Nanga Pinoh dan Kabupaten Seruyan.  Mengembangkan pilot proyek usaha budidaya gaharu kepada masyarakat sekitar  Meningkatkan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat di dalam dan sekitar areal TPTII dalam mengembangkan tanaman kehutanan dan bernilai ekonomi maupun budaya Tengkawang dengan model silvikultur intensif.  Mengembangkan kerjasama dengan pihak luar negeri maupun Departemen kehutanan untuk mengadapatasi mekanisme REDD pada areal TPTII yang telah dikembangkan, maupun terhadap kemungkinan penerapan TPTII di areal masyarakat sekitar yang bersedia terlibat dalam mekanisme tersebut  Meningkatkan ketersediaan anggaran pengelolaan PMDH sebagaimana yang telah dilakukan selama ini Rp. 4 - 5 milyartahun, salah satunya dengan jalan mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat Kemenhut untuk meredistribusi sebagian kewajiban DR ke dalam mekanisme pembiayaan pengembangan aktivitas sosial ekonomi 195 masyarakat, terutama pada kegiatan-kegiatan pembinaan dan pendampingan dalam rangka mendiseminasi kegiatan pengembangan TPTII ditingkat masyarakat, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan pengelolaan saat ini. Implikasi dari pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut akan berdampak positif terhadap berdampak menurunnya tekanan pada kawasan hutan dari kegiatan perladangan, perambahan maupun illegal logging. Hasil analisis diketahui bahwa melalui kegiatan pembinaan dan penerapan sistem TPTII, yang didukung oleh adanya kebijakan nyata dan konsisten dari pemerintah, pengelola taman nasional dan pengusaha dalam melakukan pembinaan kepada masyarakat di sekitar kawasan hutan akan memberikan dampak dalam mengurangi laju deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan dalam jangka panjang Tabel 42. Tabel 42. Kapasitas Daya Dukung APL terhadap Degradasi dan Deforestasi dengan atau tanpa Sistem Pengelolaan TPTII dan Pembinaan Terpadu Sistem Pengelolaan Hutan Kapasitas Daya Dukung Lahan APL dari Adanya Deforestasi Degradasi Tahun DD hathn Luas APL ha TPTII dan Pembinaan PT. SBK Pihak Lain 64 400 25.600 Tanpa TPTII maupun Pembinaan 7 3.657 25.600 Pengurangan Degradasi Deforestasi Dengan Sistem TPTII ha 57 22.800 25.600 Potensi Penyelamatan lahantahun 1 3.257 25.600 Dalam satuan hektar ha Dari tabel diatas bahwa dengan ketersediaan APL 25.600 ha, maka adanya TPTII dan pembinaan yang terpadu dapat mempertahankan daya dukung APL dari kegiatan perladangan sampai tahun ke 64 rata-rata perladangan 400 hathn jika dibandingkan sistem pengelolaan hutan dengan tanpa TPTII dan tanpa Pembinaan yang hanya mampu sampai pada tahun ke 7 196 rata-rata perladangan 3.657 hathn. Hal ini berarti bahwa adanya kegiatan TPTII mampu mengurangi masa terjadinya deforestasi dan degradasi seluas 22.800 ha pada APL dalam kurun waktu 57 tahun. Dengan demikian pelaksanaan TPTII yang baik dan diikuti dengan pembinaan yang terpadu dengan melibatkan pihak-pihak lain disekitar kawasan hutan, akan memberikan manfaat dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan serta memberikan manfaat dalam meningkatkan koservasi karbon. Pengurangan laju deforestasi dan degradasai hutan dengan sistem TPTII dan Pembinaan yang terpadu dapat memberikan manfaat yang bersifat positive dalam kerangka konservasi karbon, dapat terlaksana dengan baik apabila didukung oleh adanya peningkatan alternatif mata pencaharian, pemberian sistem intensif kepada masyarakat, pembinaan masyarakat pada kegiatan pertanian menetap, serta adanya pengakuan dan kepastian terhadap sumberdaya lahan, baik sebagai kawasan adat maupun sebagai kawasan hutan tidak dibebani hak adatulayat, sehingga akan berimplikasi langsung terhadap penurunan jumlah masyarakat yang bermatapencaharian sebagai peladang, luasan ladang yang lebih kecil dan sistem rotasi ladang yang lebih pendek. Dengan demikian, pelaksanaan REDD pada areal PT. SBK selain bermanfaat secara ekologi juga bernilai positif bagi masyarakat. Boer, 2009 menyatakan bahwa REDD menawarkan sesuatu yang prospektif untuk mengoptimalkan potensi hutan tropis Indonesia dan untuk menghidupkan kembali industri kehutanan. Hal ini dapat melestarikan keanekaragaman hayati serta orang-orang pribumi dalam kawasan hutan. 9.3.6. Keunggulan Sistem Silvikultur TPTII Dalam Kerangka REDD Untuk Menjawab Konsep Sustainable Forest Management

9.3.6.1. Potensi Karbon Siklus Tebang

Potensi biomassa dan karbon dari sistem TPTII cenderung lebih besar dibandingkan potensi biomassa dan karbon dari sistem TPTI. Pada tahun pertama sampai tahun keempat potensi biomassa dan karbon pada areal TPTI 197 lebih besar daripada potensi areal TPTII. Hal ini terjadi karena adanya persiapan lahan untuk jalur penanaman. Pada tahun ke-4 dan selanjutnya potensi biomassa dan karbon areal TPTII lebih besar dari potensi biomassa dan karbon areal TPTI. Pada tahun ke-4 potensi karbon TPTII sudah mencapai 87,18 ton CHa sedangkan areal TPTI sebesar 84,81 ton Cha. Pada tahun 25 potensi karbon areal TPTII sebesar 250,51 ton CHa dan areal TPTI sebesar 115,41 ton CHa. Tingginya pertumbuhan karbon di areal TPTII disebabkan oleh pemilihan jenis terpilih, perawatan intensif, keamanan dari gangguan berbagai bentuk degradasi dan keterbukaan ruang tumbuh pohon. Dengan melakukan perhitungan menggunakan Data Fit untuk pendugaan potensi karbon setelah berumur 26 keatas, diketahui bahwa areal TPTII dalam pengelolaan 100 tahun dapat dilakukan kegiatan produksi sebanyak empat kali karena pada umur 25 tahun tanaman meranti pada jalur tanam sudah memiliki diameter 50 cm. Sedangkan jika melaukan kegiatan TPTI, perusahaan hanya mampu berproduksi sebanyak dua kali dalam 100 tahun. Praktek pengelolaan hutan berbeda pada setiap unit manejemen tergantung pada pemilik pengelola lahan hutan tersebut Daniels, 2010. PT. SBK Kalimantan Tengah bersedia memanfaatkan sistem TPTII sebagai salah satu bentuk pengelolaan hutan alam. Pemilihan sistem TPTII ini bila dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No : P.11Menhut-II2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi pasal 8 yang mengizinkan penebangan pada pohon berdiameter 40 cm pada areal jalur antara akan meningkatkan produktivitas nilai hutan dan akan bernilai positif bagi lingkungan, perusahaan dan masyarakat sekitar. 198

9.3.6.2. Pengurangan Deforestasi Melalui Pembinaan Masyarakat

Kegiatan TPTII di areal PT. SBK selain menghasilkan potensi karbon dari kegiatan penanaman dan pemeliharaan juga menghasilkan nilai karbon sebagai dampak positif dari kegiatan pembinaan masyarakat. Adanya kegiatan TPTII yang diikuti dengan pembinaan masyarakat secara intensif dapat mengurangi laju deforestasi lahan. Dalam Tabel 41 dijelaskan bahwa kegiatan TPTII yang diikuti dengan pembinaan masyarakat dapat mengurangi laju degradasi dan deforestasi setiap tahun seluas 3.257 ha. Dengan demikian jika program pembinaan dilakukan secara intensif selama 25 tahun maka akan terselamatkan seluas 81.425 ha. Jika pada umur 25 tahun potensi karbon areal TPTII sebesar 250,51 ton C maka kegiatan ini berpotensi menyelamatkan karbon sebesar 20.397.920,43 ton C. Jika dalam perdagangan karbon yang dihitung adalah potensi penyerapan CO 2 , maka nilai karbon yang diperoleh melalui pengurangan deforestasi sebesar 20.397.920,43 ton C setara dengan 74.792.374,91 ton CO 2 .

9.3.6.3. Total Potensi REDD selama 25 tahun

Kegiatan TPTII dan pembinaan masyarakat sekitar perusahaan yang dilakukan PT. SBK di Kalteng dapat menurunkan deforestasi dan degradasi hutan. Pertama dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman yaitu sebesar 4.268.939,55 ton C yang setara dengan 15.652.778,33 ton CO 2 selama 25 tahun atau seluas 90.000 ha. Kedua dari kegiatan pembinaan, sehingga masyarakat memiliki aktivitas yang bernilai ekonomi sehingga mengurangi intensitas aktivitas masyarakat berbasis lahan. Kegiatan ini dapat mengurangi laju degradasi dan deforestasi selama 25 tahun seluas 81.425 ha atau sebesar 20.397.920,43 ton C yang setara dengan 74.792.374,91 ton CO 2 . Total pengurangan laju degradasi dan deforestasi pada kegiatan TPTII oleh PT. SBK selama 25 tahun sebesar 24.737.810,23 ton C yang setara dengan 90.705.304,19 ton CO 2 . 199 9.4. KESIMPULAN DAN SARAN 9.4.1. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 60 209

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 21 394

Deforestation And Forest Degradation In Lombok Island, Indonesia: Causes And Consequences

0 2 95

IMPLEMENTASI PERATURAN HUKUM TENTANG REDUCNG EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD) DI INDONESIA

0 3 87

REDD+ and the Agricultural Drives of Deforestation Keyfindings from Three Studies in Brazil, Ghana and Indonesia

0 0 27

Methodology Design Document for Reducing Emissions from Deforestation and Degradation of Undrained Peat Swamp Forests in Central Kalimantan, Indonesia

0 0 286

Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+)

0 0 42