Biaya Produksi Pengelolaan TPTI Intensif

121 Dari hasil analisis menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai manfaat kayu antara penebangan hanya di jalur tanam alternatif-2 dengan penebangan di jalur tanam dan tebang pilih pada jalur antara alternatif-3. Hal ini dipengaruhi oleh potensi produksi kayu pada jalur antara yang cukup besar yaitu rata-rata 35 m 3 hathn dan tambahan produksi dari penebangan di jalur tanaman yang memiliki potensi produksi sebesar 384 m 3 ha atau rata-rata 64 pohonha daur per 25 tahun namun potensi pada jalur tanam baru dapat ditebang setelah tanaman berumur minimal atau sama dengan 25 tahun. Sementara pada areal jalur antara, penebangan pohon dilakukan setiap tahun yaitu rata-rata sebanyak 8 pohon per hektar dengan sistem tebang pilih. Potensi penerimaan yang cukup besar dari kegiatan penebangan secara selektif dengan daur penebangan yang cukup diperpanjang dapat menjadi salah satu pilihan dalam meningkatkan adaptasi dan mengimplementasikan pengurangan laju degradasi dan deforestasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu menginternalisasi nilai manfaat karbon dan kayu yang diperoleh dari kegiatan pengelolaan hutan di areal TPTII maupun kawasan hutan produksi lainnya, sehingga menjadi faktor penarik dalam mengembangkan sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

6.3.2. Biaya Produksi Pengelolaan TPTI Intensif

Hasil analisis terhadap biaya produksi pengelolaan TPTII menunjukkan bahwa sebagian besar biaya yang dikeluarkan dipergunakan untuk kegiatan operasional. Dari total biaya awal 5 tahun pertama yang dibutuhkan untuk kegiatan pembangunan TPTII yaitu sebesar 6,82 juta ha yang terdistribusi untuk kegiatan operasional pembangunan tanaman sebesar Rp. 4,60 jutaha dan biaya pendukung sebesar Rp. 2,22 jutaha. Namun pembiayaan awal ini ini akan menurun secara proposional dengan bertambahnya umur pohon sampai akhir daur yaitu rata-rata Rp.2.035.071hathn selama daur 50 tahun. Sebagai pembanding dapat dilihat hasil kajian Sedjo 1983 dalam Winjum and Lewis 1993 menjelaskan rata-rata biaya kegiatan penanaman pohon pada 30 lokasi 122 yaitu sebesar US 408 yang sebagian besar digunakan untuk persiapan dan pemeliharaan tanaman tahap awal. Tingginya biaya operasional pada lima tahun pertama pada lokasi penelitian disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan, pembelian bibit, penanaman dan pemeliharaan tanaman muda sampai tahun ke empat. Rincian kebutuhan biaya dalam pembangunan TPTII dapat dilihat pada Gambar 34 dan Lampiran 22. Dalam hubungannya dengan perhitungan manfaat ekonomi penyerapan karbon, salah satu unsur pembiayaan yang penting diperhitungkan dalam skema perdagangan karbon adalah biaya transaksi. transaction cost. Jenis biaya transaksi dalam skema perdagangan karbon sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara yaitu a biaya desain, pendaftaran dan validasi, b biaya monitoring, dan c biaya verifikasi dan sertifikasi. Dalam penelitian ini jumlah biaya transaksi yang digunakan dalam skema perdagangan karbon persatuan luas mengadopsi standar biaya yang digunakan oleh Rusolono 2006 yaitu rata-rata Rp. 558.000ha. - 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 Biaya Operasional Rpha Biaya Pendukung Rpha Biaya Transaksi Rpha Biaya Pemanenan Rpm3 B ia y a J u ta R p S a tu a n - 10.00

20.00 30.00

40.00 50.00

60.00 70.00

P e rs e n ta s e Biaya Perhektar Persatuan Persen Gambar 34. Jumlah dan Persentase Biaya Pembangunan Areal TPTI Intensif Rpha atau Rpm 3 123 Selain unsur tambahan biaya transaksi, maka dengan asumsi ada penebangan di areal TPTII maka perlu dimasukan pembiayaan pemanenan kayu yang besarnya tergantung pada volume penebangan kayu dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 317.300m 3 , yang meliputi biaya penebangan, penyaradan, pengangkutan, bongkar muat dan perakitan Laporan RKUPHH – SILIN Periode 1998-2068. Dengan demikian untuk memasukan sistem TPTII ke dalam mekanisme skema perdagangan karbon maka pertimbangan struktur pembiayaan ditentukan oleh pilihan alternatif yang akan digunakan. Apabila dalam sistem TPTII sepenuhnya tidak melakukan penebangan selama daur 50 tahun alternatif-1 maka jumlah biaya yang diperlukan yaitu Rp. 2,03 jutaha, sedang jika dilakukan penebangan pada jalur tanam Rp. 7,21 jutaha dan penebangan pada jalur tanam dan jalur antara Rp. 14,98 jutaha. Sehingga terlihat bahwa dengan penerapan alternatif penebangan di areal TPTII akan menghasilkan pembiayaan yang lebih besar dibanding tanpa penebangan yaitu masing- masing sebesar 254 dan 636 Gambar 35. Gambar 35. Perbandingan Biaya pada Alternatif Tanpa Penebangan dan Alternatif Penebangan di Jalur Tanam dan atau Jalur Antara TPTII Rpha Alternatif-1 Tanpa Tebang Alternatif-2 Tebang Jalur Tanam Alternatif-3 Tebang Jalur Tanam dan Jalur Antara 2.035.071 7.213.407 14.987.257 254 636 Biaya Rpha Kenaikan 124 Tingginya biaya yang dikeluarkan dalam membangun TPTII dengan menggunakan alternatif tanpa dan atau dengan adanya penebangan akan berimplikasi kepada kejelasan dan ketersediaan dana dalam jangka panjang. Dalam tataran ini, bagi perusahaan yang mengelola kawasan hutan dengan sistem TPTII seharusnya mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah maupun dari sumber lain yang concern dalam menjaga kelestarian kawasan hutan, mengingat kawasan hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat penting secara global yaitu sebagai paru-paru dunia. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat finansial harus disediakan terhadap usaha-usaha yang sukses mengurangi emisi dari deforestasi, yang dielaskan oleh Tacconi 2009 sebagai kompensasi usaha-usaha sukses Compensated Successful Efforts dalam mencegah deforestasi. Dukungan pendanaan menjadi penting di dalam membangun sistem TPTII sebagaimana yang sudah berjalan selama ini, agar tidak hanya dilakukan sebatas ”kewajiban semu” tetapi harus diletakkan sebagai salah satu strategi nasional dan global untuk meningkatkan peranan sektor kehutanan dalam perlindungan iklim global dan penurunan emisi gas rumah kaca. Sebab, bukan tidak mungkin bahwa semakin besar biaya yang harus dikeluarkan tentu akan memberatkan para pengelola hutan pengusaha HPH, jika harus menanggung sendiri dan tanpa ada keringanan atau model kompensasi bantuan pembiayaan dari pemerintah maupun lembaga pendanaan internasional yang bergerak dalam perlindungan sumberdaya hutan dan iklim global.

6.3.3. Analisa Biaya dan Manfaat Pembangunan TPTII Dalam Skema Perdagangan Karbon

Dokumen yang terkait

Language Disorder In Schizophrenia Patient: A Case Study Of Five Schizophrenia Paranoid Patients In Simeulue District Hospital

1 32 102

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 60 209

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 21 394

Deforestation And Forest Degradation In Lombok Island, Indonesia: Causes And Consequences

0 2 95

IMPLEMENTASI PERATURAN HUKUM TENTANG REDUCNG EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD) DI INDONESIA

0 3 87

REDD+ and the Agricultural Drives of Deforestation Keyfindings from Three Studies in Brazil, Ghana and Indonesia

0 0 27

Methodology Design Document for Reducing Emissions from Deforestation and Degradation of Undrained Peat Swamp Forests in Central Kalimantan, Indonesia

0 0 286

Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+)

0 0 42