Gambaran Umum Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa

61 Kabupaten Bogor memiliki daerah kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung atau produksi. Daerah hutan lindung umumnya terdapat di daerah dataran tinggi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sedangkan hutan produksi relatif terbatas dan menyebar terutama di daerah Cigudeg dan Klapanunggal. Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor adalah 84.047,02 Ha atau sebesar 28,12 persen dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan fungsinya dari 84.047,02 Ha kawasan hutan tersebut sebesar 8,67 persen atau sebesar 25.912,29 Ha merupakan Hutan Produksi dan sisanya sebesar 19,45 persen atau sebesar 58.134,73 Ha merupakan Hutan Lindung. Berdasarkan target lokasi 45 persenyang diperuntukkan sebagai kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat, maka kawasan lindung di Kabupaten Bogor masih tergolong kecil. Peningkatan kawasan yang bersifat lindung diupayakan berasal dari kawasan non hutan melalui usaha mengembangkan Hutan Rakyat, yaitu kawasan hutan pada lahan- lahan milik yang dikelola oleh masyarakat. Wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah hulu bagi wilayah-wilayah di sebelah Utara yaitu Tangerang, Depok, DKI Jakarta dan Bekasi.Sungai-sungai di Kabupaten Bogor mengalir dari daerah pegunungan di bagian selatan ke arah utara. Dua DAS besar yang mengalir di Kabupaten Bogor adalah DAS Ciliwung 14 dan DAS Cisadane 15 . Sungai-sungai pada masing-masing DAS tersebut mempunyai fungsi yang sangat strategis sebagai sumber air irigasi pertanian, perikanan, rumah tangga, industri dan drainase utama wilayah. Selain 14 DAS Ciliwung memiliki bentuk yang lebih unik dibandingkan dengan bentuk DAS-DAS lainnya. Bagian hulu yang melebar kemudian menyempit di bagian tengah dan memanjang sampai ke hilir. Bagian hulu berada di daerah puncak Kabupaten Bogor sampai ke daerah Katulampa. Bagian tengah berada di daerah Ratujaya, Depok dan bagian hilir DAS ini sampai ke Banjir Kanal Barat daerah Manggarai. Luas DAS ini ± 37.472 Ha. Seluruh wilayah Daerah hulu DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor. Masalah yang terdapat di hulu DAS Ciliwung adalah adanya pelanggaran terhadap tata ruang khususnya adanya pembangunan vila-vila yang tidak sesuai dengan fungsi resapan. Daerah lahan terbangun DAS ini kurang lebih 45,8 persen tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. 15 DAS Cisadane mengalir dari G. Salak di bagian selatan Kab. Bogor. Kawasan hijau lebih banyak tersebar dari bagian hulu sampai bagian hilir ± 33 persen. Banyak wilayah dalam DAS ini termasuk dalam kawasan hutan. Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahanpertanian semusim dan daerah ladang, sawah dan tegalan. Di bagian tengah kurang lebih 17,7 persen dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun 62 itu terdapat situ-situ yang berfungsi sebagai reservoar dalam peresapan air yang dapat pula dimanfaatkan sebagai usaha perikanan, penampungan air, dan rekreasi. DAS Ciliwung dan DAS Cisadane termasuk dalam kawasan Jakarta- Bogor-Depok-Tangerang Jabodetabek dan kawasan Bogor-Puncak-Cianjur Bopunjur. Kedua kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Jabodetabek- punjur dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Khusus Strategis yang penataan ruangnya diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1985. Pada Keputusan Presiden No. 79 tahun 1985 kawasan Jabodetabek-punjur adalah dua kawasan tertentu yang letaknya berdampingan, yaitu Bopunjur sebagai kawasan konservasi dan Jabodetabek yang berfungsi sebagai kawasan pengembangan ekonomi. TerbitnyaKeputusan Presiden No. 114 tahun 1999 16 beserta Rancangan Keppres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur lebih lanjut menetapkan bahwa kedua kawasan tersebut merupakan satu kesatuan ekosistem yang perlu ditangani secara terintegrasi, terutama untuk melindungi wilayah Ibukota Negara DKI Jakarta dari dampak negatif kerusakan lingkungan seperti banjir dan kekeringan. Kawasan Jabodetabekpunjur termasuk salah satu lokasi di Indonesia yang mengalami perubahan sangat cepat. Dua DAS besar yang berada di sebagian wilayah tersebut, yaitu DAS Ciliwung dan DAS Cisadane merupakan kawasan yang sangat tinggi tingkat pertumbuhan dan perkembangan aktivitas penduduknya. Di wilayah kedua DAS tersebut lahan pertanian subur telah berubah fungsi secara tidak terkendali menjadi lahan pemukiman dan industri 17 . 16 Keputusan Presiden No. 114 tahun 1999 diperbarui oleh Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2008, yang selanjutnya menetapkan kawasan Jabodetabek-Punjur sebagai Kawasan Strategis Nasional 16 Penetapan tersebut menjadi acuan penyelenggaraan pembangunan kawasan termasuk wilayah DAS di dalamnya yang menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, tersedianya air tanah dan air permukaan, serta upaya penanggulangan banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan. 17 Berdasarkan analisis citra landsat Tahun 1994 dan 2001, telah terjadi pergeseran penggunaan lahan perubahan tata guna tanah dari hutan primer sebesar 41,12 persen di Kawasan BODEPE Bogor-Depok-Bekasi dan sebesar 6,76 persen di Kawasan BOPUNJUR, dari hutan sekunder sebesar 68,94 di Kawasan BODEPE dan sebesar 1,2 persen di Kawasan BOPUNJUR, serta dari 62 63 Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan fungsi kawasan sebagai resapan air menjadi berkurang dan menimbulkan bencana banjir dan genangan di daerah hilir. Permasalahan masih kurangnya luas kawasan hutan di wilayah DAS Cisadane dan masih kurangnya luasan kawasan hutan lindung atau produksi di Kabupaten Bogor menunjukkan telah terjadinya kondisi degradasi lingkungan di Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masalah banjir di DKI Jakarta sangat sulit diatasi. Penurunan fungsi kawasan hutan lindungproduksi menjadi permasalahan yang harus segera diatasi karena dapat menjadi ancaman serius bagi kondisi lingkungan di Kabupaten Bogor secara keseluruhan. Hal tersebut secara keseluruhan mendorong upaya-upaya rehabilitasi lahan yang dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu telah diupayakan berbagai bentuk usaha yang tidak hanya terbatas pada kegiatan pembangunan bendungan tetapi meluas ke arah kegiatan pencegahan erosi melalui pola tanam, penatagunaan lahan, penataan ruang, dan penataan kawasan pemukiman, industri, dan perkotaan. Upaya meningkatkan kawasan yangbersifat lindung dalam hal ini akan berasal dari kawasan bukan hutan, yang berarti perlu ada usaha mengembangkan kawasan hutan kerakyatan, yaitu kawasan hutan pada lahan-lahan milik yang dikelola oleh masyarakat atau disebut pula Hutan Rakyat. Salah satu upaya yang berkembang di sektor kehutanan untuk mengatasi permasalahan penurunan kualitas DAS dan pengurangan luasan kawasan hutan di Kabupaten Bogor adalah pembangunan Hutan Rakyat di lahan-lahan milik masyarakat. Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor sampai dengan tahun 2010 adalah 15.000 Ha dan secara signifikan mengalami peningkatan sejak tahun 2004 Tabel 10. penggunaan sawah sebesar 11,98 persen di Kawasan Bodebek dan sebesar 4,42 persen di Kawasan Bopunjur BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, 2004. 64 Tabel 10. Perkembangan luasan dan produksi kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor Tahun 2004 - 2009 Kabupaten Luas Ha Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2009 Bogor 14.965,3 16.173,1 15.207 15.345,655 a Sumber : Monografi Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, 2010 Luas Hutan Rakyat di Indonesia tahun 2009 berdasarkan data dari Direktorat RHL, Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan adalah 3.589.343 Ha. Untuk Pulau Jawa 2.799.181 Ha. Luas Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat adalah 973.860 Ha atau setara dengan 34,79 persen dari luas keseluruhan di Indonesia Mugiyono, 2009. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Bogor 2010, luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor adalah 15.345,65 Ha atau sama dengan 1,57 persen dari seluruh Provinsi Jawa Barat. Gambaran ini menunjukkan bahwa luasan Hutan Rakyat yang masih minimal di Kabupaten Bogor tersebut masih perlu ditingkatkan dalam rangka perbaikan kondisi lingkungan sekaligus memperbaiki taraf hidup masyarakat. 5.2 Gambaran Umum Desa Tegal Waru 5.2.1 Kondisi Umum Lokasi penelitian adalah di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang termasuk daerah pengembangan di Kabupaten Bogor wilayah Barat. Luas wilayahnya sekitar + 55,63 Km 2 , terdiri dari 13 Desa, terbagi atas 43 dusun, 108 rukun warga, serta 462 Rukun Tetangga. Berdasarkan kondisi demografis, jumlah penduduk Kecamatan Ciampea sampai dengan akhir bulan Desember 2011 adalah 148.225 jiwa yang terdiri dari 40.949 Kepala Keluarga. Secara garis besar sebagian penduduk bekerja sebagai petani dan buruh. Secara geografis, kecamatan Ciampea berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kemang sebelah Utara, Kecamatan Tenjolaya di sebelah Selatan, Kecamatan Cibungbulang di Sebelah Barat, dan Kecamatan Dramaga di 64 65 sebelah Timur. Kecamatan Ciampea sebanyak 45 persen wilayahnya terdiri dari dataran dan sekitar 55 persen dari wilayahnya merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian wilayah berada diantara 300 m di atas permukaan laut. Pemanfatan lahan di kecamatan Ciampea antara lain adalah pemukiman penduduk, persawahan, dan ladangkebun. Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang termasuk wilayah pengembangan dan pembangunan di daerah Bogor Barat. Mengacu pada Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2008 yang menetapkan seluruh wilayah Kabupaten Bogor sebagai kawasan lindung, maka rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor berdampak terhadap arahan-arahan pengembangan wilayah kecamatan yang harus mengacu pada upaya kelestarian lingkungan, yaitu antara lain mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang selektif, efektif dan efisien, melalui pemberian Building Coverage Ratio BCR yang rendah pada kawasan yang memiliki nilai konservasi, sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan pada kawasanlindung sebagai kawasan konservasi air dan tanah,melalui program rehabilitasi lahan, dengankegiatan pemanfaatan ruang yang tidak mengganggufungsi kawasan. Sejalan dengan hal tersebut, saat ini di sektor pertanian kecamatan Ciampea sedang dikembangkan kegiatan pertanian berupa pertanian lahan basah, dan agrowisata, sedangkan pengembangan di sektor kehutanan lebih mengarah kepada upaya pemanfaatan lahan keringkebun campur yang menerapkan pola penanaman palawija agroforestry yaitu di lahan-lahan milik masyarakat atau lahan-lahan kritis lainnya yang dapat mendukung kelestarian lingkungan sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan lebih dikenal dengan pengembangan Hutan Rakyat. Salah satu desa di Kecamatan Ciampea yang mulai menggalakkan pembangunan dan pengembangan Hutan Rakyat adalah Desa Tegal Waru.