Berdasarkan hasil penelitian Syafitri 2009 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara alokasi uang
saku untuk membeli jajanan dengan jumlah jenis makanan jajanan yang dibeli siswa. Artinya semakin besar alokasi uang saku untuk
membeli jajanan maka jumlah jenis jajanan yang dibeli akan semakin besar pula. Namun hal ini tidak sesuai dengan penelitian Getruida
2010 yang menyatakan tidak ada perbedaan bernakna antara uang jajan dengan status gizi. Artinya, uang jajan tidak dapat mempengaruhi
anak dalam membeli makanan yang akan berdampak pada status gizi. Hal ini dapat dismpulkan, bahwa tingkat ekonomi keluarga
yang tinggi akan berdampak tinggi juga pada pemberian uang saku. Pada penelitian ini, peneliti hanya mengambil bagian dari ekonomi
keluarga yaitu jumlah uang jajan yang diberikan orang tua kepada anak, bukan jumlah pendapatan dalam keluarga.
13. Pekerjaan
Menurut Depkes 2008, pekerjaan adalah jenis kegiatan yang menggunakan waktu terbanyak responden atau yang memberikan
penghasilan terbesar. Menurut Hariyani 2011, pekerjaan kepala rumah tangga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jenis pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan yang merupakan faktor penting
dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang akan dikonsumsi Suhardjo, 1989. Berdasarkan hasil penelitian Wahida
2006 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan kepala rumah tangga dengan pola konsumsi makan.
14. Pendidikan Ibu
Menurut Notoadmojo 2003, pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional.
Pendidikan juga diartikan sebagai suatu usaha sendiri untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Sedangkan menurut Depkes 2008, pendidikan merupakan tingkat pendidikan formal
tertinggi yang telah dicapai oleh seseorang. Pendidikan ibu merupakan salah satu hal yang berpengaruh
terhadap status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya mempunyai
pengetahuan yang
tinggi, karena
orang yang
berpendidikan tinggi biasanya lebih mudah untuk menyerap informasi. Faktor pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan dalam hal apapun termasuk gizi Apriadji, 1986.
Pola konsumsi makan yang sehat cenderung dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini
diasumsikan karena mereka lebih sadar akan kesehatan sehingga mempunyai gaya hidup yang lebih sehat. Tingkat pendidikan yang
tinggi dapat membantu dalam pembentukan konsep antara hubungan
pola konsumsi makan dan kesehatan pada individu Gibney et al., 2008.
Berdasarkan hasil penelitian Mufidah 2008 menunjukkan bahwa pendidikan ibu rumah tangga berpengaruh secara signifikan
terhadap konsumsi pangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Pahlevi 2012 yang menyatakan bahwa terdapa hubungan antara pendidikan
ibu dengan status gizi yang berdampak pada pola makannya.
15. Pengalaman Individu
Pengalaman individu dapat bermula dari perjalanan hidup individu itu sendiri. Salah satunya adalah pengalaman dalam pola
konsumsi. Setiap individu memiliki penilaian tersendiri terhadap jenis, jumlah makanan tertentu, ada yang suka dan tidak sukapantang
mengonsumsi makanan tertentu dengan berbagai macam alasan, seperti seseorang tidak mau mengonsumsi makanan seafood karena
berdasarkan pengalaman pribadi, makanan tersebut menimbulkan alergi atau memiliki rasa yang kurang enak dan lain-lain Suhardjo,
2006. Menurut Moehji 2005 dalam Anzarkusuma 2014 bahwa
salah faktor yang banyak mempengaruhi kebiasaan makan anak adalah pengalaman-pengalaman.
16. Sosial dan Budaya
Kebiasaan makan penduduk dapat terbentuk oleh unsur sosial dan budaya, namun hal ini kadang bertentangan dengan prinsip ilmu