pola konsumsi makan. Namun, hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Puji 2011 yang menyatakan tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dengan pola makan. 4.
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan adalah hasil dari tahu seseorang yang didapat dengan
menggunakan penginderaan
terhadap objek
sampai menghasilkan pengetahuan yang sangat dipengaruhi oleh intesitas
perhatian dan persepsi terhadap objek Notoadmojo, 2010. Pengetahuan gizi sebaiknya telah ditanamkan sedini mungkin sehingga
mampu memenuhi kebutuhan energi tubuhnya dengan perilaku makannya. Pengetahuan gizi sangat bermanfaat dalam menentukan apa
yang kita konsumsi setiap harinya Notoatmojo, 2007.
Berdasarkan hasil penelitian Sofianta, dkk 2015 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi anak dengan
kebiasaan konsumsi sarapan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aminah 2007 dalam Mardhina, dkk 2014 menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mahasiswa tentang pola makan sehat dengan perilaku pola makan sehat pada mahasiswa kost,
artinya bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan maka akan semakin baik pola makannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat
pengetahuan maka semakin buruk pola makannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Khomsan 2000 yang menyatakan pengetahuan gizi
merupakan aspek kognitif yang menunjukan pemahaman responden tentang ilmu gizi, jenis zat gizi, serta interaksinya terhadap status gizi
dan kesehatan. Pengetahuan gizi merupakan landasan yang penting dalam menentukan konsumsi makanan.
Berdasarkan hasil penelitian Puji 2011 menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pola makan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Setyorini 2010 dalam Sada 2012 yang mengemukakan, tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi dengan pola makan remaja putri. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukandar 2009 dalam Widyantara 2013 yang
menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan gizi dengan konsumsi makan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan
gizi seseorang, belum tentu konsumsi makan yang diterapkan akan baik. Karena konsumsi makan jarang dipengaruhi langsung oleh
pengetahuan gizi tetapi dapat dipengaruhi oleh interaksi sikap dengan keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang,
maka akan cenderung memilih makanan yang murah dengan kandungan nilai gizi yang lebih tinggi sesuai dengan jenis pangan yang
tersedia dan kebiasaan makan tiap orang.
5. Keyakinan, Nilai, dan Norma
Pada masyarakat tertentu, terdapat suatu pernyataan yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat keprihatian seseorang maka
akan semakin bahagia dan bertambah tinggi taraf sosial yang dapat dicapainya. Keprihatian ini dapat dicapai dengan “tirakat” yaitu suatu
kepercayaan melakukan kegiatan fisik dan mengurangi tidur, makan dan minum atau berpantang melakukan sesuatu Suhardjo, 2006.
Berdasarkan penelitian Suhardjo 2006 menyatakan bahwa keyakinan, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi
perilaku konsumsi masyarakat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Deboran 2012 menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara suku di Amerika dengan suku di Afrika terhadap pola makan, yang artinya masing-masing suku mempunyai kenyakinan,
nilai, dan norma terhadap pola makannya.
6. Kebutuhan Fisiologis Tubuh
Kebutuhan fisiologis tubuh setiap individu berbeda, hal ini dapat mempengaruhi tingkat kebutuhan gizi setiap individu. Sebagai
contoh, kebutuhan fisiologis tubuh ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, lansia dan orang yang sedang sakit akan berbeda kebutuhan
gizinya dengan orang yang sehat. Oleh karena itu, kebutuhan fisiologis tubuh dapat berperan dalam menentukan pola konsumsi individu dan
pemilihan makanan untuk dikonsumsi Suhardjo, 2006. Perkembangan fisik dan sosial membuat anak mengalami
peningkatan nafsu makan yang secara alami menyebabkan peningkatan
konsumsi makanan.
Karena anak-anak
banyak menghabiskan waktu di sekolah dibandingkan di rumah, sehingga
terjadi peningkatan aktivitas fisik yang berdampak pada peningkatan pola konsumsi makan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutuhan
fisiologis tubuh anak sekolah akan berbeda dengan kebutuhan fisiologis tubuh anak pra sekolah, karena terjadi peningkatan aktivitas
fisik yang banyak membutuhkan asupan zat gizi Almatsier, 2011.
7. Body ImageCitra Diri
Body image atau citra diri merupakan cara seseorang menilai dan memandang bentuk tubuhnya sendiri. Pada perempuan cenderung
menganggap dirinya gemuk, sehingga mereka sangat memperhatikan konsumsinya. Semakin negatif persepsi body image maka akan
cenderung mengurangi frekuensi makannya Dachlan, 2012. Menurut penelitian Sands, Wardle 2003 dalam Christina
2014 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pandangan citra tubuh pada anak usia 9-12 tahun dengan pola konsumsi, termasuk
perilaku. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Chairah 2012 yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara body
image dengan pola makan pada remaja putri. Ini artinya bahwa semakin positif body image maka semakin baik pula pola makannya.
Begitu juga sebaliknya, jika body image yang dimiliki negatif maka semakin buruk pola makannya.
Hal ini sependapat dengan Emilia 2009 yang menyatakan bahwa gangguan body image pada remaja
berhubungan dengan masalah makan, pola makan yang tidak sehat, dan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuhnya yang dapat diidentifikasi
melalui persepsi ukuran tubuh, subjektif dan aspek perilaku seseorang yang merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya. Namun, hal ini tidak
sejalan dengan hasil penelitian Daryono 2003 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara body image dengan konsumsi
energi sehari.