Gambaran Pola Konsumsi Makan pada Siswa MI Unwanul Huda di Jakarta Selatan Tahun 2015

hanya makan satu jenis makanan saja tidak bervariasi, sedangkan dirumah mereka makan hanya 1 kali . Sehingga, dapat diasumsikan bahwa pada siswa yang membawa bekal, kebutuhan energi, karbohidrat, protein, dan lemak belum tentu tercukupi. Karena di lihat dari seberapa sering dan seberapa banyak siswa makan dalam satu hari. Sedangkan, siswa yang membeli jajanan di sekolah kebutuhan energi, karbohidrat, protein, dan lemak tidak terpenuhi. Jika dilihat dari jenis jajanan yang tersedia. Pada penelitian ini, tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak pada siswa dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu cukup, apabila tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak siswa ≥ 70 AKG dan kurang, apabila tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak siswa 70 AKG. Sedangkan untuk umur dan jenis dibedakan menjadi dua kategori yaitu umur 7-9 tahun dan umur 10-12 tahun dan jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan umur dan jenis kelamin dimasukkan pada saat perhitungan tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein, dan lemak. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebanyak 65,4 siswa MI Unwanul Huda memiliki pola konsumi energi kurang dari AKG, sebanyak 73,7 siswa yang konsumsi karbohidratnya kurang dari AKG, dan sebanyak 62,4 siswa yang konsumsi lemaknya kurang dari AKG. Sedangkan sebanyak 61,7 siswa memiliki pola konsumsi yang cukup dari AKG. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Regar 2013 dan Resty 2014 menemukan konsumsi energi, karbohidrat, dan lemak yang kurang dari AKG dan konsumsi protein yang cukup dari AKG pada anak. Faktor yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuham energi, karbohidrat, dan lemak kemungkinan besar akibat kurangnya porsi makan yang harus dipenuhi dan makanan yang tidak beraneka ragam akan menyebabkan ketidakseimbangnya asupan zat gizi dan energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Berdasarkan hasil penelitian Tahir, dkk 2013 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pola konsumsi makan dengan status gizi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Yulni, dkk 2013 didapatkan bahwa energi dan asupan karbohidrat berhubungan dengan status gizi. Kekurangan asupan energi dan asupan protein pada masa anak-anak akan berdampak secara langsung terhadap gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan produktifitas Depkes RI, 2002. Selain itu, kekurangan asupan karbohidrat dan asupan lemak juga akan berdampak pada penggunaan protein di tubuh sebagai sumber energi bukan pada fungsinya sebagai sumber zat pembangun. Hal ini terjadi karena energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan yang diperlukan oleh tubuh. Karena energi harus dipenuhi, maka terjadi katabolisme atau perombakan protein, sehingga fungsi protein sebagai faktor pertumbuhan yang sangat penting dalam proses pertumbuhan anak akan terhambat karena beralihnya fungsi protein menjadi sumber penghasil energi. Kondisi yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu lama akan menimbulkan KEP Kekurangan Energi Protein. Hal ini sejalan dengan pendapat Hardiansyah dalam Suci 2011 apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan zat gizi makro, pada tahap awal akan menyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak, diperlukan konsumsi zat gizi yang dapat dipenuhi dari pola makan sehat dan seimbang agar tercukupi seluruh kebutuhan gizinya. Sehingga masa usia sekolah adalah masa paling penting untuk memperbaiki pemenuhan konsumsi akan zat gizi karena akan berdampak pada pertumbuhan selanjutnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Tahir, dkk 2013 yang menunjukkan bahwa pola konsumsi makan anak menentukan status gizi, karena dengan anak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat gizi dan energi, dan pengolahan makanan sesuai dengan syarat – syarat kesehatan maka makanan yang dikomsumsi akan bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dan meskipun pola makan anak 3 kali sehari atau lebih, tetapi jika pemilihan jenis dan bahan makanan serta proses pengolahan makanan tidak sesuai dengan syarat – syarat kesehatan tetap kurang mempunyai nilai gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan ana. Pemenuhan kebutuhan energi, karbohidrat, protein, dan lemak bukanlah hal yang mudah bagi siswa, karena aktivitas yang padat di sekolah dan waktu makan yang singkat. Hal ini menunjukkan bahwa siswa harus memperhatikan pola konsumsi makan dari aspek jenis makanan yang dikonsumsi Hardinsyah, dkk, 2005. Secara umum faktor yang mempengaruhi pola konsumsi makan siswa adalah umur, jenis kelamin, pendidikan ibu, peran orang tua, pengetahuan gizi, status sosial ekonomi pekerjaan, teman sebaya dan body image Worthington, 2000. Hasil analisa data pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor di atas berhubungan dengan pola konsumsi makan pada siswa MI Unwanul Huda di Jakarta Selatan tahun 2015.

2. Gambaran Umur pada Siswa MI Unwanul Huda di Jakarta Selatan Tahun 2015

Menurut Depkes 2008, umur adalah masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Berdasarkan tabel gambaran karateristik responden tabel 5.2, terlihat bahwa rata-rata umur siswa MI Unwanul Huda yang memiliki pola konsumsi makan kurang dari AKG lebih rendah dibandingkan rata-rata umur siswa yang memiliki pola konsumsi makan cukup dari AKG. Rata-rata umur pada penelitian ini adalah umur 9 tahun dengan pola konsumsi makan yang kurang dari AKG. Sedangkan umur 12 tahun memiliki pola konsumsi makan yang cukup dari AKG. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suci 2011 yang menemukan bahwa umur 9 tahun lebih sedikit mengkonsumsi jajanan yang mengandung energi dan zat gizi dibandingkan dengan umur 12 tahun. Sehingga pada anak umur 9 tahu memiliki pola konsumsi makan yang kurang.

3. Gambaran Jenis Kelamin pada Siswa MI Unwanul Huda di Jakarta Selatan Tahun 2015

Menurut Depkes 2008, jenis kelamin adalah perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan tabel gambaran karateristik responden tabel 5.3, terlihat bahwa sebagian besar responden adalah perempuan. Sedangkan diantara 64 siswa yang memiliki jenis kelamin laki-laki, terdapat 46 siswa 71,9 yang memiliki pola konsumsi energi kurang dari AKG, 49 siswa 76,6 memiliki pola konsumsi karbohidrat kurang dari AKG, 29 45,3 memiliki pola konsumsi protein kurang dari AKG, dan 44 siswa 68,8 memiliki pola konsumsi lemak kurang dari AKG. Sedangkan diantara 69 siswa yang berjenis kelamin perempuan, terdapat 41 siswa 59,4 yang memiliki pola konsumsi energi kurang dari AKG, 49 siswa 71 yang memiliki pola konsumsi karbohidrat kurang dari AKG, 22 siswa 31,9 memiliki pola konsumsi protein kurang dari AKG, dan 39 siswa 56,5 memiliki pola konsumsi lemak kurang dari AKG. Hasil ini sejalan dengan Penelitian Septiana 2013 yang memperoleh responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak sebesar 53 dibandibandingkan dengan responden berjenis kelamin laki-laki yang hanya sebesar 47.

4. Gambaran Pendidikan Ibu pada Siswa MI Unwanul Huda di Jakarta Selatan Tahun 2015

Menurut Notoadmojo 2003, pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecepatan seseorang secara intelektual dan emosional. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu usaha sendiri untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh ibu responden. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi tabel 5.5, terlihat bahwa sebagian besar ibu responden berpendidikan SMA dengan presentasi 81,2. Sedangkan dari 84 ibu siswa yang memiliki tingkat pendidikan SMA, terdapat 60 ibu siswa 71,4 yang memiliki pola konsumsi energi kurang dari AKG, 62 ibu siswa 73,8 memiliki pola konsumsi karbohidrat yang kurang dari AKG, 36 42,9 ibu siswa yang memiliki pola konsumsi protein yang kurang dari AKG, dan 54 ibu siswa 64,3 yang memiliki pola konsumsi lemak yang kurang dari AKG.

5. Gambaran Besar Uang Jajan pada Siswa MI Unwanul Huda di Jakarta Selatan Tahun 2015

Uang jajan adalah uang yang diberikan orang tua kepada anak untuk membeli jajanan di sekolah. Uang jajan yang rutin diberikan pada anak dapat membentuk sikap dan persepsi anak bahwa uang jajan