Pengertian Ratifi kasi Ratifi kasi Hukum Internasional ke Dalam Hukum Nasional

Sistem Hukum dan Peradilan Internasional 183

b. Proses ratifi kasi hukum internasional

Pentingnya proses ratifi kasi bagi sebuah negara adalah memperkaya khasanah hukum nasional. Proses ratifi kasi tidaklah terlalu sulit. Di masing-masing negara, prosedur ratifi kasi berbeda-beda disesuaikan dengan kebijakan politik luar negeri negara yang bersangkutan. Dengan kata lain prosedur ratifi kasi tingkat nasional diserahkan pada hukum nasional masing- masing negara. Meskipun dalam praktiknya ratifi kasi diserahkan pada hukum nasional masing-masing negara, tetapi prosesnya harus sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 14 Konvensi Wina tahun 1969 yang menentukan bahwa: “Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional dengan ratifi kasi, dengan syarat: 1 perjanjian internasional yang akan diratifi kasi menentukan demikian secara tegas, 2 negara yang mengadakan perjanjian menyetujui bahwa ratifi kasi adalah perlu, 3 perjanjian internasional yang telah ditandatangani akan berlaku hanya kalau sudah diratifi kasi, 4 kemauan negara untuk menandatangani perjanjian internasional dengan syarat akan berlaku kalau sudah diratifi kasi atau dinyatakan demikian selama negoisasi”. Selanjutnya setelah mempertimbangkan ketentuan Pasal 14 Konvensi Wina, dalam praktiknya ratifi kasi dihadapkan dengan beberapa hal sebagai berikut: 1 negara berhak untuk mempunyai kesempatan guna meneliti kembali dan meninjau kembali instrumen yang telah ditandatangani oleh utusannya, sebelum negara menjalankan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam instrumen, 2 berdasarkan kedaulatannya suatu negara berhak untuk menarik diri dari partisipasi dalam suatu perjanjian internasional, apabila negara yang bersangkutan menghendaki demikian, Gambar 5.7 Secara teori, ratifi kasi adalah persetujuan kepada negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya. Sumber: untreaty.un.org 184 PKn SMAMA Kelas XI 3 sering suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya suatu amandemen atau penyesuaian dalam hukum nasional, 4 karena prinsip demokrasi bahwa pemerintah harus berkonsultasi dengan pendapat umum yang ada dalam parlemen atau tempat lain, mengenai ada tidaknya keharusan untuk mengonfi rmasi suatu perjanjian internasional. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan tidak ada kewajiban untuk melakukan ratifi kasi bagi negara. Kekuasaan menolak atau menerima ratifi kasi dianggap merupakan hal yang sama dengan kedaulatan negara, oleh karenanya menurut hukum internasional tidak ada suatu paksaan bagi sebuah negara untuk melakukan ratifi kasi hukum internasional ke dalam hukum nasional. Selanjutnya suatu ratifi kasi dapat mengikat dan memaksa negara apabila dilakukan proses: 1 pertukaran atau penyimpanan instrumen ratifi kasi, 2 pemberitahuan mengenai instrumen ratifi kasi kepada negara lain atau kepada negara- negara yang bersangkutan, 3 penyimpangan perjanjian internasional. Apabila ratifi kasi telah melalui tiga proses di atas, maka proses penerimaan atau persetujuan hukum internasional ke dalam hukum nasional untuk selanjutnya disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku di negara penerima. Bila terjadi persetujuan, ratifi kasi memasuki tahap akhir yaitu proses penandatanganan oleh kepala negara dan parlemen negara yang bersangkutan.

c. Ratifi kasi di Indonesia

Ratifi kasi di Indonesia dilakukan berdasar ketentuan sistem konstitusional yang berlaku di negara kita dengan berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Lebih lanjut tentang ketentuan ratifi kasi yang dianut di Indonesia diatur secara tegas dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bab III tentang Pembuatan Dan Pengesahan Perjanjian Internasional Pasal 13 sampai 15 yaitu: 1 Pasal 13 : Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut kepada Menteri. 2 Pasal 14 : Pejabat lembaga pemerintahan, baik departemen maupun non-departemen, yang akan menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lainnya, harus mendapat surat kuasa dari menteri. 3 Pasal 15 : Ketentuan mengenai pembatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Selain berlandaskan ketentuan undang-undang, proses ratifi kasi di Indonesia dilakukan dengan memandang politik luar negeri Indonesia. Pemerintah selalu mengedepankan sistem bebas aktif dengan prinsip dasar ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.