Kecamatan Bungkal, Kecamatan Balong, Kecamatan Sawoo, dan

72 No Variabel Kecamatan Bungkal Kecamatan Balong Kecamatan Sawoo Kecamatan Sambit Ku p u k Ko rip an Kar an g - p atih an Dad ap an Ko ri Pra y u n g an Ng ad is an an Ma g u an 27 Jumlah Pegawai Negeri SipilTNIPOLRIKaryawan Swasta orang 170 170 29 92 52 98 111 628 28 Jumlah pensiunan orang 3 3 18 3 10 45 2 8 29 Pemeluk agama Islam orang 3.575 1.616 5.434 1.681 3.046 4.449 686 2.765 30 Pemeluk agama Kristen orang 3 - - - 2 3 2 - 31 Jumlah tenaga kerja orang 1.955 855 2169 942 359 263 367 32 Jumlah gedung SD unit 2 1 4 1 4 2 2 2 33 Jumlah gedung SMP unit 1 1 2 1 2 2 1 1 34 Jumlah kelompok tani buah 5 3 4 6 7 8 5 6 35 Jumlah PuskesmasBalai Pengobatan unit 8 7 2 1 4 9 5 1 36 Jumlah Lembaga Kemasyarakatan Desa buah 3 2 4 3 5 9 4 6 37 Jumlah sumur pompa unit 60 9 12 25 1 23 450 5 38 Jumlah sumur gali unit 652 230 784 465 467 315 18 530 39 Jumlah televisi buah 951 388 743 769 931 543 452 40 Masjid Mushola unit 13 10 27 8 10 20 13 ada 41 Panjang saluran primer 5.500 1.500 - - 1.590 1.000 - - 42 Panjang saluran sekunder 4.555 5.100 - - 2.000 2.200 - - 43 Panjang saluran tertier 3.500 1.500 - - 1.650 1.500 1.700 - Keterangan : M = Merah; H = Hitam; K = Kuning; A = Abu-abu; L = Lempungan; D = Debuan Selain data sekunder yang dikemukakan di atas, berikut ini dikemukakan data hasil wawancara responden yang merupakan masyarakat petani lahan kering di delapan desa atau di duabelas obyek penelitian; terdiri atas gambaran umum karakteristik responden serta variabel-variabel yang berkaitan dengan pengendalian mutu lahan kering. 1. Umur Responden Data umur responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden 84,67 berada pada kisaran umur 18-55 tahun usia kerja, hanya 15,33 responden yang berumur di atas 55 tahun. Responden dalam penelitian ini adalah 73 para pelaku pertanian lahan kering, yang umumnya memang berada dalam kelompok usia produktif usia kerja. Sebaran responden menurut umur disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran responden menurut umur No KecamatanDesa Usia Usia Kerja 18-55 th Usia Tua 55 th Total 1. Kec. Kupuk A n 26 4 30 Bungkal 86,7 13,3 100,0 2. Kupuk B n 12 3 15 80,0 20,0 100,0 3. Koripan n 22 8 30 73,3 22,7 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 29 1 30 Balong 96,7 3,3 100,0 5. Karangpatihan B n 9 6 15 60 40,0 100,0 6. Dadapan n 26 4 30 86,7 13,3 100,0 7. Kec. Kori A n 23 7 30 Sawoo 76,7 23,3 100,0 8. Kori B n 14 1 15 93,3 6,7 100,0 9. Prayungan n 25 5 30 83,3 16,7 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 30 30 Sambit 100,0 0,0 100,0 11. Ngadisanan B n 14 1 15 93,3 6,7 100,0 12. Maguan n 24 6 30 80,0 20,0 100,0 2. Jenis kelamin responden Pelaku pertanian lahan kering di kabupaten Ponorogo terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan responden dalam penelitian ini adalah 51,67 laki-laki dan 48,33 perempuan. Sebaran responden laki-laki dan perempuan di setiap lokasi penelitian tersaji pada Tabel 6. Responden yang mengikuti program pemberdayaan desa-desa A telah memiliki kesadaran gender yang baik, hal ini terlihat dari indikator yang sangat sederhana yaitu adanya keseimbangan jumlah responden laki-laki dan perempuan yang bersedia diwawancarai. Artinya populasi petani yang aktif pada desa-desa program memang seimbang antara petani laki- laki dan perempuan. Sedangkan pada kelompok responden desa-desa B responden non peserta program tampak adanya nominasi laki-laki. Hal ini 74 menunjukkan bahwa program pemberdayaan yang ada telah berperpektif jender dan ini penting untuk peningkatan mutu lahan kering ke depan. Tabel 6 Sebaran responden menurut jenis kelamin No KecamatanDesa Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total 1. Kec. Kupuk A n 15 15 30 Bungkal 50,0 50,0 100,0 2. Kupuk B n 7 8 15 46,7 53,3 100,0 3. Koripan n 14 16 30 46,7 53,3 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 14 16 30 Balong 46,7 53,3 100,0 5. Karangpatihan B n 7 8 15 46,7 53,3 100,0 6. Dadapan n 14 16 30 46,7 53,3 100,0 7. Kec. Kori A n 17 13 30 Sawoo 56,7 43,3 100,0 8. Kori B n 10 5 15 66,7 33,3 100,0 9. Prayungan n 16 14 30 53,3 46,7 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 15 15 30 Sambit 50,0 50,0 100,0 11. Ngadisanan B n 11 4 15 73,3 26,7 100,0 12. Maguan n 15 15 30 50,0 50,0 100,0 3. Tingkat pendidikan responden Tingkat pendidikan formal responden relatif rendah. Data responden menurut tingkat pendidikan menunjukkan bahwa di sebagian besar lokasi, persentase responden tamat SD lebih banyak dari jumlah responden tamat SMP ke atas. Persentase responden tamat SD terbesar terdapat di Kori A 90 dan terkecil di Dadapan 30. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan formal pada setiap lokasi penelitian tertuang dalam Tabel 7. Tabel 7 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan No KecamatanDesa Tingkat Pendidikan Tdk Skolah SD SMP SMA Sar- jana Total 1. Kec. Kupuk A N 19 9 2 30 Bungkal 0,0 63,3 30,0 6,7 0,0 100,0 2. Kupuk B N 8 5 2 15 0,0 53,3 33,3 13,3 0,0 100,0 3. Koripan N 1 21 4 4 30 3,3 70,0 13,3 13,3 0,0 100,0 75 No KecamatanDesa Tingkat Pendidikan Tdk Skolah SD SMP SMA Sar- jana Total 4. Kec. Krgpatihan A n 13 12 5 30 Balong 0,0 43,3 40,3 16,7 0,0 100,0 5. Krgpatihan B n 11 4 15 0,0 73,3 26,7 0,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 9 19 2 30 0,0 30,0 63,3 6,7 0,0 100,0 7. Kec. Kori A n 27 2 1 30 Sawoo 0,0 90,0 6,7 0,0 3,3 100,0 8. Kori B n 6 5 3 1 15 0,0 40,0 33,3 20,0 6,7 100,0 9. Prayungan n 15 8 6 1 30 0,0 50,0 26,7 20,0 3,3 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 24 6 30 Sambit 0,0 80,0 20 0,0 0,0 100,0 11. Ngadisanan B n 9 4 2 15 0,0 60,0 26,7 13,3 0,0 100,0 12. Maguan n 24 3 3 30 0,0 80,0 10,0 10,0 0,0 100,0 4. Pengeluaran rumah tangga responden Keadaan kesejahteraan responden diketahui melalui pendekatan pengeluaran tiap bulan, karena bagi masyarakat petani agak sulit memperkirakan pendapatan mereka. Komponen pengeluaran adalah semua jenis kebutuhan rumah tangga, baik pangan maupun non pangan. Semua kebutuhan yang dipenuhi dari rumah tangga sendiri tidak membeli dikonversi ke dalam nilai rupiah. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa sebanyak 62,67 responden memiliki pengeluaran ≥ Rp 750.000,00 per bulan, dan hanya 37,33 memiliki pengeluaran Rp 750.000,00 per bulan. Dengan demikian sebagian besar responden berada dalam tingkat kesejahteraan yang tidak terlalu memprihatinkan. Sebaran responden menurut pengeluaran per bulan secara lengkap disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa di sembilan lokasi penelitian, jumlah responden berpengeluaran ≥ Rp 750.000,00 per bulan lebih banyak dari jumlah responden berpengeluaran Rp 750.000,00 per bulan. Persentase responden berpengeluaran ≥ Rp 750.000,00 per bulan terbesar yaitu di Kupuk A 80 dan Dadapan 80. Sedangkan di tiga lokasi lain, yaitu Karangpatihan B, Prayungan, dan Ngadisanan A jumlah responden berpengeluaran Rp 750.000,00 76 per bulan lebih banyak dari jumlah responden berpengeluaran ≥ Rp 751.000,00 per bulan. Tabel 8 Sebaran responden menurut pengeluaran rumah tangga responden Jumlah Pengeluaran No KecamatanDesa Rp 750.000,00 ≥ Rp 750.000,00 Total 1. Kec. Kupuk A n 6 24 30 Bungkal 20,0 80,0 100,0 2. Kupuk B n 4 11 15 26,7 73,3 100,0 3. Koripan n 10 20 30 33,3 66,7 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 7 23 30 Balong 23,3 76,7 100,0 5. Karangpatihan B n 9 6 15 60,0 40,0 100,0 6. Dadapan n 6 24 30 20,0 80,0 100,0 7. Kec. Kori A n 12 18 30 Sawoo 40,0 60,0 100,0 8. Kori B n 4 11 15 26,7 73,3 100,0 9. Prayungan n 16 14 30 53,5 46,7 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 19 11 30 Sambit 63,3 36,7 100,0 11. Ngadisanan B n 5 10 15 33,3 66,7 100,0 12. Maguan n 14 16 30 46,7 53,3 100,0 5. Makanan pokok responden Makanan pokok sebagian besar responden adalah beras 93. Sebagian responden mendapatkan beras dari hasil panen sendiri, namun umumnya hasil panen sendiri tidak mencukupi sehingga harus ditambah dengan membeli. Hanya sebagian kecil responden di beberapa lokasi saja yang kebutuhan berasnya bisa dicukupi dari hasil panen sendiri seperti di Kupuk A 16,7, Koripan 50, Karangpatihan A 16,7, Dadapan 30, Kori A 10, Kori B 20, Prayungan 16,7, Ngadisanan A 10, Maguan 20. Beberapa responden 7 menyatakan mengkonsumsi makanan pokok selain beras yaitu singkong dan jagung, yaitu di Kupuk A 26,6, Kupuk B 20, Koripan 13,3, Karangpatihan A 3,3, Dadapan 3,3, Prayungan 10, Maguan 3,3. Makanan pokok selain beras umumnya diperoleh dari hasil panen sendiri, tidak ada responden yang mendapatkan makanan pokok selain beras dengan cara 77 membeli. Makanan non beras adalah makanan pengaman di saat masa paceklik datang yaitu pada saat mengolah lahan dan musim tanam. Data tentang sumber dan jenis makanan pokok responden per lokasi penelitian tertuang dalam Tabel 9. Tabel 9 Sebaran responden menurut jenis dan cara mendapatkan makanan pokok No KecamatanDesa Jenis dan Cara Mendapatkan Makanan Pokok Beras hasil panen sendiri Beras hasil panen sendiri ditambah membeli Selain beras, hasil menanam sendiri Tidak Tetap Total 1. Kec. Kupuk A n 5 17 8 30 Bungkal 16,7 56,7 26,6 0,0 100,0 2. Kupuk B n 12 3 15 0,0 80,0 20,0 0,0 100,0 3. Koripan n 15 11 4 30 50,0 36,7 13,3 0,0 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 5 24 1 30 Balong 16,7 80,0 3,3 0,0 100,0 5. Karangpatihan B n 15 15 0,0 100,0 0,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 9 20 1 30 30,0 66,7 3,3 0,0 100,0 7. Kec. Kori A n 3 27 30 Sawoo 10,0 90,0 0,0 0,0 100,0 8. Kori B n 3 12 15 20,0 80,0 0,0 0,0 100,0 9. Prayungan n 5 22 3 30 16,7 73,3 10,0 0,0 100,0 10 Kec. Ngadisanan A n 3 26 1 30 Sambit 10,0 86,7 0,0 3,3 100,0 11 Ngadisanan B n 15 15 0,0 100,0 0,0 0,0 100,0 12 Maguan n 6 23 1 30 20,0 76,7 3,3 0,0 100,0 6. Frekuensi menanam padi per tahun Sebagaimana disampaikan dalam pembahasan sebelumnya, makanan pokok sebagian besar responden adalah beras, yang pemenuhannya umumnya tidak cukup dari hasil panen sendiri sehingga sebagian harus membeli. Jika dilihat dari frekuensi menanam padi, terlihat bahwa memang sebagian besar responden hanya bisa menanam padi satu kali dalam setahun Tabel 10. 78 Tabel 10 Sebaran responden menurut frekuensi menanam per tahun No KecamatanDesa Frekuensi Menanam 1x thn 1-2xthn 2x thn Total 1. Kec. Kupuk A n 13 15 2 30 Bungkal 50,0 43,3 6,7 100,0 2. Kupuk B n 11 2 2 15 60,0 13,3 13,3 100,0 3. Koripan n 1 19 7 30 13,3 63,3 23,3 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 22 4 4 30 Balong 73,3 13,3 13,3 100,0 5. Karangpatihan B n 14 1 15 93,3 6,7 0,0 100,0 6. Dadapan n 2 8 20 30 6,6 26,7 66,7 100,0 7. Kec. Kori A n 15 7 8 30 Sawoo 50,0 23,3 26,7 100,0 8. Kori B n 8 3 4 15 53,3 20,0 26,7 100,0 9. Prayungan n 9 17 4 30 30,0 56,7 13,3 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 20 7 3 30 Sambit 66,7 23,3 10,0 100,0 11. Ngadisanan B n 13 2 15 86,7 13,3 0,0 100,0 12. Maguan n 2 3 25 30 6,6 10,0 83,3 100,0 Dari dua belas lokasi penelitian, terdapat delapan lokasi penelitian yang respondennya sebagian besar menyatakan hanya menanam padi satu kali setahun. Dua lokasi yaitu Koripan dan Prayungan sebagian besar responden menyatakan menanam padi 1-2 kali setahun berturut-turut 63,3 dan 56,7, dan di dua lokasi lainnya sebagian besar responden menyatakan bisa menanam padi dua kali setahun yaitu di Dadapan 66,7 dan Maguan 83,3. Hal ini sesuai dengan kondisi karakteristik lahan, bahwa Desa Dadapan dan Maguan bisa dominan ditanami padi pada musim hujan. Perlakuan lahan pada lokasi penelitian pada umumnya sebagai berikut: lahan diolah pada November sampai dengan Desember, kemudian ketika mulai turun hujan sekitar Januari ditanami jagung saja, akan panen setelah 120 hari. Menjelang panen jagung tersebut, kira-kira umur 105 hari, daun yang telah menguning disembreti dilepas daunnya, kemudian mulai ditugal untuk ditanami jagung kembali. Jagung kedua akan dipanen pada bulan Mei, setelahnya akan ditanami kacang hijau jika masih terdapat hujan dan akan panen setelah 60 hari, yaitu sekitar bulan Juli. Lahan akan bera selama 3 bulan. Di pematang ditanami 79 cabe, untuk kebutuhan keluarga sendiri, tidak dijual. Jika musim hujan, pematang pada umumnya ditanami cabe, bayam, kenikir, terong, kacang tunggak, gambas, koro, kacang panjang, kecipir, bligo. Ketika tiba musin hujan, singkong yang telah berumur satu tahun dipanen untuk cadangan makanan keluarga. 7. Produksi lahan kering per tahun Sebagian besar responden di hampir semua lokasi menyatakan bahwa produsi lahan kering per tahun selama lima tahun terakhir mengalami penurunan, bahkan di Kupuk B, Karangpatihan B, Kori B, Ngadisanan B, seluruh responden menyatakan menurun. Di Karangpatihan A hanya sedikit responden yang menyatakan bahwa produsi lahan kering menurun hanya 16,7, sebagian besar responden 56,7 menyatakan bahwa produsi lahan kering tetap, bahkan 26,7 menyatakan bahwa produksi meningkat. Responden di Koripan juga banyak yang menyatakan meningkat 30. Data selengkapnya terkait pendapat responden mengenai produksi lahan kering dalam lima tahun terakhir disajikan pada Tabel 11. Dari data tersebut terlihat bahwa penurunan produksi lahan kering dirasakan oleh sebagian besar responden. Beberapa penyebab penurunan produksi yang disampaikan oleh responden adalah gagal panen karena kekeringan di musim kemarau, banjir pada musim hujan, serta serangan hama dan penyakit. Tabel 11 Sebaran responden menurut produksi lahan kering per tahun No KecamatanDesa Produksi Lahan Kering Menurun Tetap Meningkat Total 1. Kec. Kupuk A n 27 3 30 Bungkal 90,0 10,0 0,0 100,0 2. Kupuk B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 3. Koripan n 17 4 9 30 56,7 13,3 30,0 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 5 17 8 30 Balong 16,7 56,7 26,7 100,0 5. Karangpatihan B n 10 15 100,0 0,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 24 4 2 30 80,0 13,3 6,7 100,0 7. Kec. Kori A n 27 3 30 Sawoo 90,0 10,0 0,0 100,0 8. Kori B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 9. Prayungan n 27 3 30 90,0 10,0 0,0 100,0 80 No KecamatanDesa Produksi Lahan Kering Menurun Tetap Meningkat Total 10. Kec. Ngadisanan A n 20 7 3 30 Sambit 66,7 23,3 10,0 100,0 11. Ngadisanan B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 12. Maguan n 26 3 1 30 86,7 10,0 3,3 100,0 8. Pengalaman gagal panen Gagal panen merupakan salah satu penyebab menurunnya produksi lahan yang dirasakan oleh responden. Gagal panen bisa disebabkan oleh adanya kekeringan atau sebaliknya terlalu banyak curah hujan, diserang hama dan penyakit. Data hasil wawancara responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden pernah mengalami kejadian gagal panen dalam lima tahun terakhir. Responden di Ngadisanan B semuanya menyatakan pernah mengalami gagal panen. Di Karangpatihan B dan Kori B, masing-masing 86,7 responden menyatakan pernah mengalami gagal panen. Demikian pula di beberapa lokasi penelitian lainnya, persentase responden yang menyatakan pernah mengalami gagal penen lebih banyak dari persentase responden yang menyatakan tidak pernah mengalami gagal panen. Beberapa lokasi penelitian yang persentase responden yang menyatakan tidak pernah mengalami gagal penen lebih banyak dari persentase responden yang menyatakan pernah mengalami gagal panen hanya di Maguan 90, Kupuk B 66,7, dan Prayungan 63,3. Pada tiga desa ini tidak banyak terjadi gagal panen, namun responden banyak yang menyatakan hasil panennya menurun. Data sebaran responden menurut kejadian gagal panen yang pernah dialami disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Sebaran responden menurut pengalaman gagal panen No KecamatanDesa Pengalaman Gagal Panen Pernah Tidak Pernah Total 1. Kec. Kupuk A n 21 9 30 Bungkal 70,0 30,0 100,0 2. Kupuk B n 5 10 15 33,3 66,7 100,0 3. Koripan n 15 15 30 50,0 50,0 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 22 8 30 Balong 73,3 26,7 100,0 5. Karangpatihan B n 13 2 15 86,7 13,3 100,0 81 No KecamatanDesa Pengalaman Gagal Panen Pernah Tidak Pernah Total 6. Dadapan n 22 8 30 73,3 26,7 100,0 7. Kec. Kori A n 16 14 30 Sawoo 53,3 46,7 100,0 8. Kori B n 13 2 15 86,7 13,3 100,0 9. Prayungan n 11 19 30 36,7 63,3 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 21 9 30 Sambit 70,0 30,0 100,0 11. Ngadisanan B n 15 15 100,0 0,0 100,0 12. Maguan n 3 27 30 10,0 90,0 100,0 9. Keadaan tanaman keras di lahan garapan Tanaman keras di lahan garapan lahan kering berfungsi untuk penguat lahan yang miring dari longsor dan mampu menciptakan iklim mikro yang bisa menambah kelembaban udara sehingga udara tidak terlalu panas pada musim kemarau. Perakaran tanaman keras juga bisa menyimpan air sehingga bisa memelihara keberlangsungan mata air. Tabel 13 menunjukkan data keberadaan tanaman keras di lahan garapan yang dikerjakan oleh responden. Responden yang menyatakan terdapat banyak tegakan di lahan garapannya; dengan jumlah tegakan lebih dari 50 batang antara lain di Kori A 30, Kupuk A 26,7; dengan jumlah tegakan 25-50 batang antara lain Karangpatihan A 36,7. Responden dari lokasi-lokasi tersebut adalah para peserta program, yang sudah mendapatkan bimbingan dalam pengelolaan lahan kering. Namun responden di Ngadisanan A juga peserta program sebagian besar menyatakan tidak ada tegakan di lahan garapan mereka 43,3. Kelompok responden dari desa program namun mereka bukan peserta program sebagian besar menyatakan di lahan garapan terdapat tegakan namun jumlahnya tidak banyak kurang dari 25 batang, yaitu Kupuk B 46,7, Karangpatihan B 53,3, Kori B 40, Ngadisanan B 73,3. Sedangkan responden dari desa-desa non program umumnya menyatakan tidak ada tegakan di lehan garapannya, yaitu Koripan 43,3, Dadapan 66,7, Maguan 63,3, dan Prayungan 20 menyatakan tidak ada tegakan; 36,7 menyatakan ada tegakan kurang dari 10 batang. 82 Data lengkap mengenai jumlah tegakantanaman keras di lahan garapan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran responden menurut jumlah tanaman keras di lahan garapan No KecamatanDesa Jumlah Tanaman Keras di Lahan Garapan Tdk Ada 10 batang 10-24 batang 25-50 batang 50 batang Total 1. Kec. Kupuk A N 7 5 7 3 8 30 Bungkal 23,3 16,7 23,3 10 ,0 26,7 100,0 2. Kupuk B N 1 2 7 3 2 15 6,7 13,3 46,7 20 ,0 13,3 100,0 3. Koripan N 13 11 5 1 30 43,3 36,7 16,7 3,3 ,0 100,0 4. Kec. Krgpatihan A N 6 7 4 11 2 30 Balong 20 ,0 23,3 13,3 36,7 6,7 100,0 5. Krgpatihan B N 1 8 5 1 15 6,7 53,3 33,3 6,7 ,0 100,0 6. Dadapan N 20 7 1 2 30 66,7 23,3 3,3 6,7 ,0 100,0 7. Kec. Kori A N 1 9 9 2 9 30 Sawoo 3,3 30 ,0 30 ,0 6,7 30 ,0 100,0 8. Kori B N 2 6 4 3 15 13,3 40 ,0 26,7 ,0 20 ,0 100,0 9. Prayungan N 6 11 9 4 30 20 ,0 36,7 30 ,0 13,3 ,0 100,0 10. Kec. Ngadisanan A N 13 9 4 2 2 30 Sambit 43,3 30 ,0 13,3 6,7 6,7 100,0 11. Ngadisanan B N 3 11 1 15 20 ,0 73,3 6,7 ,0 ,0 100,0 12. Maguan N 19 9 2 30 63,3 30 ,0 6,7 ,0 ,0 100,0 10. Kondisi mutu lahan kering Secara umum responden berpendapat bahwa mutu lahan kering yang mereka kerjakan kurang baik. Di Karangpatihan A, Kori A, dan Kori B lebih dari 50 responden menyatakan lahan kering bermutu baik. Selebihnya, responden menyatakan mutu lahan kering kurang baik, bahkan di Karangpatihan B dan Ngadisanan B lebih dari 90 responden menyatakan lahan kering kurang baik. Data selengkapnya mengenai pendapat responden terhadap mutu lahan kering disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran responden menurut keadaan mutu lahan kering No KecamatanDesa Mutu Lahan Kurang Baik Baik Total 1. Kec. Kupuk A n 15 15 30 Bungkal 50,0 50,0 100,0 2. Kupuk B n 10 5 15 66,7 33,3 100,0 83 No KecamatanDesa Mutu Lahan Kurang Baik Baik Total 3. Koripan n 15 15 30 50,0 50,0 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 14 16 30 Balong 46,7 53,3 100,0 5. Karangpatihan B n 14 1 15 93,3 6,7 100,0 6. Dadapan n 19 11 30 63,3 36,7 100,0 7. Kec. Kori A n 10 20 30 Sawoo 33,3 66,7 100,0 8. Kori B n 7 8 15 46,7 53,3 100,0 9. Prayungan n 20 10 30 66,7 33,3 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 15 15 30 Sambit 50,0 50,0 100,0 11. Ngadisanan B n 14 1 15 93,3 6,7 100,0 12. Maguan n 17 13 30 56,7 43,3 100,0 11. Frekuensi penyuluhan dan bimbingan tehnis pengendalian lahan kering Upaya pengendalian lahan kering dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mengadakan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada para petani lahan kering. Tabel 15 menyajikan data berapa kali responden pernah menerima penyuluhan dan bimbingan teknis pengendalian lahan kering dalam lima tahun terakhir. Tabel 15 Sebaran responden menurut frekuensi penyuluhan dan bimbingan teknis Bintek pengendalian lahan kering selama lima tahun terakhir No KecamatanDesa Frekuensi Penyuluhan dan Bintek ≤30 kali 30-60 kali ≥60 kali Total 1. Kec. Kupuk A n 19 8 3 30 Bungkal 63,3 26,7 10,0 100,0 2. Kupuk B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 3. Koripan n 19 11 30 63,3 36,7 0,0 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 27 2 1 30 Balong 90,0 6,7 3,3 100,0 5. Karangpatihan B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 29 1 30 96,7 3,3 0,0 100,0 7. Kec. Kori A n 22 7 1 30 Sawoo 73,3 23,3 3,3 100,0 8. Kori B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 84 No KecamatanDesa Frekuensi Penyuluhan dan Bintek ≤30 kali 30-60 kali ≥60 kali Total 9. Prayungan n 30 30 100,0 0,0 0,0 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 20 10 30 Sambit 66,7 33,3 0,0 100,0 11. Ngadisanan B n 15 15 100,0 0,0 0,0 100,0 12. Maguan n 15 15 30 50,0 50,0 0,0 100,0 Sebagian besar responden menyatakan menerima penyuluhan dan bintek kurang dari 30 kali dalam lima tahun terakhir kurang dari satu kali per dua bulan. Responden desa program tetapi bukan peserta program; yaitu di Ngadisanan B bahkan tidak pernah menerima penyuluhan dan bintek dalam lima tahun terakhir; sedangkan responden di Kupuk B, Karangpatihan B, Kori B, semuanya menyatakan hanya satu kali menerima penyuluhan dan bintek dalam lima tahun terakhir. Sebagian kecil responden menyatakan menerima penyuluhan dan bintek 30-60 kali dalam lima tahun terakhir satu kali setiap 1-2 bulan, yaitu Kupuk A 26,7, Koripan 36,7, Karangpatihan A 6,7, Dadapan 3,3, Kori A 23,3, Ngadisanan A 33,3, Maguan 50,0. Beberapa responden menyatakan mendapar penyuluhan dan bintek lebih dari 60 kali dalam lima tahun terakhir, yaitu responden peserta program; Kupuk A 10,0, Karangpatihan A 3,3, dan Kori A 3,3. Desa Kupuk, Ngadisanan, Kori, dan Karangpatihan ialah desa-desa yang mendapat bantuan program khusus intensifikasi penyuluhan dan bimbingan pada periode tahun 2001 sampai 2008; sementara Desa Prayungan, Maguan, Koripan dan Dadapan hanya mendapat program rutin Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo 2011. 12. Pengetahuan bertani Penyuluhan dan bimbingan teknis diharapkan akan meningkatkan pengetahuan, persepsi, dan perilaku dalam pengendalian lahan kering. Pengetahuan responden mengenai bertani di lahan kering sebagian besar termasuk kategori kurang baik, bahkan di Karangpatihan B dan Ngadisanan B semua responden memiliki pengetahuan yang kurang baik. Hanya di Kupuk A dan Ngadisanan A masing-masing 60 responden memiliki pengetahuan yang baik. 85 Pengetahuan responden didasarkan pada jawaban mereka atas sejumlah pertanyaan yang diajukan. Jawaban responden pada umumnya belum sepenuhnya tepat sebagaimana yang diharapkan khususnya tentang: ciri-ciri lahan kering yang dapat digunakan untuk berusaha, faktor-faktor penyebab produksi tani lahan kering rendah, dampak dari mutu lahan kering yang rendah; cara-cara meningkatkan mutu lahan kering, faktor-faktor pendukung peningkatan mutu lahan kering untuk usahatani, faktor-faktor pendukung penurunan mutu lahan kering untuk usaha tani, dampak positif dan negatif penggunaan pupuk buatan atau kimia, hubungan antara pengelolaan sumberdaya dan lingkungan dengan mutu lahan kering untuk usahatani, sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu lahan kering untuk usahatani. Data selengkapnya mengenai pengetahuan responden di setiap lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Sebaran responden menurut pengetahuan bertani No KecamatanDesa Pengetahuan Bertani Kurang Baik Baik Total 1. Kec. Kupuk A n 12 18 30 Bungkal 40,0 60,0 100 2. Kupuk B n 12 3 15 80,0 20,0 100 3. Koripan n 29 1 30 96,7 3,3 100 4. Kec. Karangpatihan A n 25 5 30 Balong 83,3 16,7 100 5. Karangpatihan B n 15 15 100,0 0,0 100 6. Dadapan n 29 1 30 96,7 3,3 100 7. Kec. Kori A n 26 4 30 Sawoo 86,7 13,3 100 8. Kori B n 9 6 15 60,0 40,0 100 9. Prayungan n 27 3 30 90,0 10,0 100 10. Kec. Ngadisanan A n 12 18 30 Sambit 40,0 60,0 100 11. Ngadisanan B n 15 15 100,0 0,0 100 12. Maguan n 28 2 30 93,3 6,7 100 86 13. Persepsi dalam bertani Meskipun pengetahuan responden bervariasi, namun seluruh responden memiliki persepsi yang positif dalam bertani. Hal ini menunjukkan adanya kepedulian yang tinggi dari masyarakat tani lahan kering terhadap mutu lahan kering di sekitarnya. Data persepsi responden dalam bertani disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran responden menurut persepsi dalam bertani No KecamatanDesa Persepsi dalam Bertani Posistif Negatif Total 1. Kec. Kupuk A n 30 0,0 30 Bungkal 100,0 0,0 100,0 2. Kupuk B n 15 0,0 15 100,0 0,0 100,0 3. Koripan n 30 0,0 30 100,0 0,0 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 30 0,0 30 Balong 100,0 0,0 100,0 5. Karangpatihan B n 15 0,0 15 100,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 30 0,0 30 100,0 0,0 100,0 7. Kec. Kori A n 30 0,0 30 Sawoo 100,0 0,0 100,0 8. Kori B n 15 0,0 15 100,0 0,0 100,0 9. Prayungan n 30 0,0 30 100,0 0,0 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 30 0,0 30 Sambit 100,0 0,0 100,0 11. Ngadisanan B n 15 0,0 15 100,0 0,0 100,0 12. Maguan n 30 0,0 30 100,0 0,0 100,0 14. Perilaku dalam bertani Perilaku bertani merupakan praktek bertani yang biasa dilakukan oleh petani lahan kering. Perilaku responden dalam mengelola lahan kering garapannya dinilai antara lain dari segi: penanaman pohon atau tanaman keras di areal lahan kering garapan, penggunaan pestisida untuk pertanian, penggunaan pupuk buatan atau pupuk kimia dan pupuk organik untuk tanaman. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar petani sudah melakukan tatacara bertani yang positif terhadap lahan kering, terutama kelompok responden peserta program Kupuk A 80; Karangpatihan A 83,3; Kori A 87 86,7; Ngadisanan A 80. Kelompok responden yang tinggal di desa program tetapi bukan peserta program, pada sebagian responden masih melakukan praktek bertani yang kurang positif seperti di Kupuk B 60, Kori B 86,7, dan Ngadisanan B 53,3. Sedangkan di Karangpatihan B, meskipun bukan peserta program namun seluruh responden sudah melakukan praktek bertani yang positif terhadap lahan kering. Demikian pula di desa non program Koripan, Dadapan, Prayungan, dan Maguan sebagian besar responden berperilaku positif dalam bertani. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran responden menurut perilaku dalam bertani No KecamatanDesa Perilaku Bertani Kurang Positif Positif Total 1. Kec. Kupuk A n 6 24 30 Bungkal 20,0 80,0 100,0 2. Kupuk B n 9 6 15 60,0 40,0 100,0 3. Koripan n 2 28 30 6,7 93,3 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 5 25 30 Balong 16,7 83,3 100,0 5. Karangpatihan B n 15 15 0,0 100,0 100,0 6. Dadapan n 12 18 30 40,0 60,0 100,0 7. Kec. Kori A n 4 26 30 Sawoo 13,3 86,7 100,0 8. Kori B n 2 13 15 86,7 13,3 100,0 9. Prayungan n 1 29 30 3,3 96,7 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 6 24 30 Sambit 20,0 80,0 100,0 11. Ngadisanan B n 8 7 15 53,3 46,7 100,0 12. Maguan n 6 24 30 20,0 80,0 100,0 15. Sumber air untuk tanaman pertanian di lahan kering Hasil wawancara responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan air untuk tanaman pertanian dari air hujan. Hanya ada satu responden di Koripan 3,3 mendapatkan air dari sumur biasa. Beberapa responden mendapatkan air dari sumur bor, yaitu di Kupuk A 3,3, Prayungan 26,7, Ngadisanan A 3,3, Ngadisanan B 20,0, dan Maguan 3,3. 88 Beberapa responden menyatakan mendapatkan air dari irigasi, yaitu di Koripan 26.6, dan Prayungan 3,3. Data selengkapnya mengenai sumber air untuk tanaman pertanian disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran responden menurut sumber air untuk pertanian di lahan kering No KecamatanDesa Sumber Air Air Hujan Air Sumur Sumur Bor Irigasi Total 1. Kec. Kupuk A n 29 1 30 Bungkal 96,7 0,0 3,3 0,0 100,0 2. Kupuk B n 15 15 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 3. Koripan n 21 1 8 30 66,6 3,3 0,0 26,6 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 30 30 Balong 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 5. Karangpatihan B n 15 15 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 30 30 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 7. Kec. Kori A n 30 30 Sawoo 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 8. Kori B n 15 15 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 9. Prayungan n 21 8 1 30 70,0 0,0 26,7 3,3 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 29 1 30 Sambit 96,7 0,0 3,3 0,0 100,0 11. Ngadisanan B n 12 3 15 80,0 0,0 20,0 0,0 100,0 12. Maguan n 29 1 30 96,7 0,0 3,3 0,0 100,0 16. Sumber pengadaan pupuk untuk tanaman pertanian di lahan kering Pengadaan pupuk untuk tanaman pertanian di lahan kering berbeda-beda antar responden. Sebagian besar responden menggunakan pupuk olahan sendiri ditambah dengan membeli, karena hasil olahan sendiri tidak mencukupi. Namun ada sebagian responden yang cukup menggunakan pupuk hasil olahan sendiri yaitu di Kupuk B 100, Koripan 76,7, Karangpatihan A 13,3, Karangpatihan B 66,7, Dadapan 10, Prayungan 13,3. Beberapa responden bahkan tidak menggunakan pupuk, umumnya karena keterbatasan biaya, yaitu Koripan 6,7, Kori A 3,3, Kori B 13,3. Sumber pengadaan pupuk untuk tanaman pertanian di semua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 20. 89 Tabel 20 Sebaran responden menurut sumber pengadaan pupuk untuk pertanian di lahan kering No KecamatanDesa Sumber Pupuk Meng- olah sendiri Mem- beli Mengolah sendiri + membeli Tidak pakai pupuk Total 1. Kec. Kupuk A n 8 22 30 Bungkal 0.0 26,7 73,3 0.0 100,0 2. Kupuk B n 15 15 100,0 0.0 0.0 0.0 100,0 3. Koripan n 23 5 2 30 76,7 16,7 0.0 6,7 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 4 2 24 30 Balong 13,3 6,7 80,0 0.0 100,0 5. Karangpatihan B n 10 5 15 66,7 33,3 0.0 0.0 100,0 6. Dadapan n 3 13 14 30 10,0 43,3 46,7 0.0 100,0 7. Kec. Kori A n 7 22 1 30 Sawoo 0.0 13,3 73,3 3,3 100,0 8. Kori B n 13 2 15 0.0 86,7 0.0 13,3 100,0 9. Prayungan n 4 2 24 30 13,3 6,7 80,0 0.0 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 8 22 30 Sambit 0.0 26,7 73,3 0.0 100,0 11. Ngadisanan B n 2 13 15 0.0 13,3 86,7 0.0 100,0 12. Maguan n 4 26 30 0.0 13,3 86,7 0.0 100,0 17. Sumber penggunaan pestisida untuk tanaman pertanian di lahan kering Penggunaan pestisida pada sebagian besar responden di semua lokasi penelitian tidak teratur, tergantung kebutuhan keadaan hama dan penyakit tanaman dan ketersediaan biaya. Beberapa responden tidak menggunakan pestisida, yaitu di Kupuk A, Karangpatihan A, Dadapan, Ngadisanan A masing-masing 3,3, Kori B dan Prayungan masing-maisng 6,7, serta Maguan 13,3. Namun demikian cukup banyak pula responden yang menggunakan pupuk bahkan sampai empat kali dalam satu kali musim tanam. Data selengkapnya mengenai penggunaan pestisida untuk tanaman pertanian di semua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 . 90 Tabel 21 Sebaran responden menurut sumber penggunaan pestisida untuk pertanian di lahan kering Penggunaan Pestisida tiap 1 x Musim Tanam No KecamatanDesa Tidak Pernah Tidak Tratur 1 kali 2 – 3 kali 4 kali Total 1. Kec. Kupuk A N 1 17 1 6 5 30 Bungkal 3,3 56,7 3,3 20,0 16,7 100,0 2. Kupuk B N 13 2 15 0,0 86,7 13,3 0,0 0,0 100,0 3. Koripan N 30 30 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 4. Kec. Krgpatihan A N 1 14 2 12 1 30 Balong 3,3 46,7 6,7 40,0 3,3 100,0 5. Krgpatihan B N 14 1 15 0,0 93,3 6,7 0,0 0,0 100,0 6. Dadapan N 1 27 1 1 30 3,3 90,0 0,0 3,3 3,3 100,0 7. Kec. Kori A N 23 4 3 30 Sawoo 0,0 76,7 13,3 10,0 0,0 100,0 8. Kori B N 1 10 4 15 6,7 66,7 0,0 26,7 0,0 100,0 9. Prayungan N 2 21 5 2 30 6,7 70,0 0,0 16,7 6,7 100,0 10. Kec. Ngadisanan A N 1 17 1 6 5 30 Sambit 3,3 56,7 3,3 20,0 16,7 100,0 11. Ngadisanan B N 1 14 15 6,7 93,3 0,0 0,0 0,0 100,0 12. Maguan N 4 18 2 6 30 13,3 60,0 0,0 6,7 20,0 100,0 18. Keberadaan organisasi masyarakat petani lahan kering Ketika ditanyakan kepada responden mengenai keberadaan organisasi masyarakat petani lahan kering, sebagian besar responden menyatakan belum ada, terutama kelompok responden desa program tetapi bukan peserta program; yaitu Kupuk B, Karangpatihan B, Ngadisanan B; seluruh responden menyatakan belum ada. Demikan pula responden di Maguan desa non program, seluruh responden menyatakan belum ada organisasi masyarakat petani lahan kering di wilayahnya. Berikut ini adalah data selengkapnya mengenai keberadaan organisasi masyarakat petani lahan kering menurut responden di semua lokasi penelitian Tabel 22. 91 Tabel 22 Keberadaan organisasi masyarakat petani lahan kering No KecamatanDesa Keberadaan Organisasi Belum Ada Ada Total 1. Kec. Kupuk A n 20 10 30 Bungkal 66,7 33,3 100,0 2. Kupuk B n 15 15 100,0 0,0 100,0 3. Koripan n 22 8 30 73,3 26,7 100,0 4. Kec. Karangpatihan A n 23 7 30 Balong 76,7 23,3 100,0 5. Karangpatihan B n 15 15 100,0 0,0 100,0 6. Dadapan n 18 12 30 60,0 40,0 100,0 7. Kec. Kori A n 18 12 30 Sawoo 60,0 40,0 100,0 8. Kori B n 7 8 15 46,7 53,3 100,0 9. Prayungan n 28 2 30 93,3 6,7 100,0 10. Kec. Ngadisanan A n 20 10 30 Sambit 66,7 33,3 100,0 11. Ngadisanan B n 15 15 100,0 0,0 100,0 12. Maguan n 30 30 100,0 0,0 100,0 19. Deskripsi peta tanah lokasi studi Satuan peta tanah SPT merupakan pengelompokan berdasarkan kesamaan jenis tanah dan faktor lingkungan lainnya, walaupun demikian satuan peta tanah yang benar-benar homogen sulit di temukan, oleh karena itu SPT dibedakan atas tiga jenis, yaitu: a. Konsosiasi di mana ditemukan satu jenis tanah atau seri tanah utama yang luasnya lebih dari 75 persen SPT tersebut b. Asosiasi di mana dalam SPT tersebut ditemukan dua atau tiga jenis tanah atau seri tanah utama, tetapi tidak satupun dari jenis tanah atau seri tanah tersebut luasnya lebih dari 75 persen SPT tersebut dan pada tingkat survey yang lebih detail, jenis tanah atau seri tanah tersebut dapat dipisahkan satu sama lain menjadi SPT tersendiri c. Kompleks sama seperti asosiasi, tetapi pada tingkat survei yang lebih detail, jenis tanah atau seri tanah tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain menjadi SPT tersendiri 92 Perincian nama dan jenis tanah serta sebarannya di lokasi penelitian adalah seperti tertera dalam Tabel 23, Tabel 24, Tabel 25, dan Gambar 6. Tabel 23 Sebaran jenis tanah di lokasi penelitian No Jenis Tanah Pusat Penelitian Tanah, 1983 Bahan Induk Relief Luas ha 1 Alluvial Vulkanik Datar- Berombak 4221.635 14.80 2 Kompleks Mediteran Merah Kuning; Lithosol Vulkanik Bergelombang- Berbukit 24068.728 84.38 3 Kompleks Mediteran Merah Kuning; Grumusol Vulkanik Bergelombang- Berbukit 234.089 0.82 TOTAL 28524.452 100 Tabel 24 Nama dan jenis tanah di lokasi penelitian No Nama Tanah Deskripsi Singkat 1 Tanah Alluvial  Disebut juga tanah endapan; tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.  Tanah yang berkembang dari bahan aluvium muda, mempunyai susunan berlapis atau kadar C-organik tidak teratur dan tidak mempunyai horison diagnostik kecuali tertimbun oleh 50cm atau lebih bahan baru selain horison A okrik, horison H histik, atau sulfurik dengan kadar fraksi pasir kurang dari 60 pada kedalaman antara 25-100 cm dari permukaan tanah mineral. 2 Tanah Mediteran Merah Kuning  Tanah jenis ini berasal dari batuan kapur keras limestone. Penyebaran di daerah beriklim subhumid, topografi karst dan lereng vulkan dengan ketinggian di bawah 400 m. Warna tanah cokelat hingga merah.  Tanah lain yang mempunyai horison argilik, mempunyai kejenuhan basa NH4OAc lebih dari 5 sekurang-kurangnya pada beberapa bagian horison B. Berbatasan langsung dengan horison argilik atau fragipan. 3 Litosol  Tanah litosol merupakan jenis tanah berbatu-batu dengan lapisan tanah yang tidak begitu tebal. Bahannya berasal dari jenis batuan beku yang belum mengalami proses pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini banyak ditemukan di lereng gunung dan pegunungan di seluruh Indonesia.  Tanah lain yang berada pada batuan kukuh sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. 4 Grumusol  Jenis ini berasal dari batu kapur, batuan lempung, tersebar di daerah iklim subhumid atau subarid, dan curah hujan kurang dari 2.500 mmtahun.  Tanah lain, setebal 20 cm dari lapisan atas dicampur kadar lliat 30 atau lebih sampai sekurang-kurangnya 50 cm dari permukaan. Jika tidak terdapat pengaruh pengairan dan mempunyai satu atau lebih ciri berikut : bentukan gilgai, atau strukttur membaji yang jelas pada kedalaman antara 25-100 cm dari permukaan. 93 Tabel 25 Padanan nama tanah berdasarkan beberapa sistem klasifikasi No PPT, 1983 FAO-UNESCO, 1974 Taksonomi Tanah, 1998-USDA 1 Tanah Alluvial Fluvisol Entisol; Inceptisol 2 Tanah Mediteran Merah Kuning Luvisol Alfisol; Inceptisol 3 Litosol Litosol Entisol 4 Grumusol Vertisol Vertisol Gambar 6 Peta jenis tanah di lokasi penelitian 94 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Mutu Lahan

Kering Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo Analisis statistik dilakukan terhadap data dari 300 responden yang dikumpulkan dari penelitian di empat kecamatan yang meliputi Kecamatan Bungkal, Balong, Sawoo, dan Sambit. Dalam satu kecamatan diambil dua sampel desa yaitu desa yang mutu lahannya relatif baik dan desa yang mutu lahannya reatif kurang baik. Di desa yang mutu lahannya relatif lebih baik, dibagi kembali menjadi dua kelompok responden yaitu 30 orang yang mengikuti program dari pemerintah dan 15 responden yang tidak mengikuti program, namun diduga memperoleh dampak dari peserta yang mendapat program. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pengendalian mutu lahan kering yang meliputi aspek pelayanan pemerintah yang meliputi dana, sarana, sumberdaya manusia dan metode kerja; aspek kependudukan yang meliputi kesehatan, pendidikan, ekonomi dan budaya serta lingkungan yang meliputi sumberdaya air, dan teknologi pertanian. Mutu lahan kering diindikasikan dari beberapa hal yang meliputi trend produksi lahan, frekuensi tanam dan jumlah tegakan tanaman keras. Hasil uji statistik Chi-Square α= 0,05 menunjukkan bahwa faktor faktor yang berhubungan signifikan dengan mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo ialah pengetahuan bertani p-value= 0,030 dan perilaku bertani p- value =0,040. Hasil analisis data menunjukkan ada perbedaan antara responden berpengetahuan bertani “kurang” dengan responden berpengetahuan bertani “cukup” terhadap pengendalian mutu lahan kering; atau dapat disimpulkan bahwa pengendalian mutu lahan kering yang dikelola oleh petani yang berpengetahuan “cukup” adalah lebih baik dari hasil pengelolaan oleh petani yang berpengetahuan “kurang.” Lahan kering diharapkan bermutu baik dan berproduksi optimal, dan pada gilirannya akan berdampak positif dalam mengentaskan petani dalam menjalankan usaha taninya secara baik dan semakin berdaya dalam menjalankan kehidupannya. Pengetahuan responden yang dinilai masih kurang yaitu tentang ciri-ciri lahan kering yang dapat digunakan untuk berusaha, faktor-faktor penyebab produksi tani lahan kering rendah, dampak dari mutu lahan kering yang 96 rendah, cara-cara meningkatkan mutu lahan kering, faktor-faktor pendukung peningkatan mutu lahan kering untuk usaha tani, faktor-faktor pendukung penurunan mutu lahan kering untuk usaha tani, dampak positif dan negatif penggunaan pupuk buatan atau kimia, hubungan antara pengelolaan sumberdaya dan lingkungan dengan mutu lahan kering untuk usahatani; sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu lahan kering untuk usahatani. Rendahnya pengetahuan petani besar kemungkinan akan mempengaruhi lambatnya pengendalian mutu lahan kering garapannya. Selain pengetahuan, tampak pula ada perbedaan antara responden yang berperilaku tani “cukup” dengan responden yang berperilaku tani “kurang” terhadap pengendalian mutu lahan kering. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa pengendalian mutu lahan kering yang dikelola oleh responden yang berperilaku tani “cukup” akan lebih baik dari pada yang dikelola oleh responden yang berperilaku bertani ”kurang.” Perilaku responden yang dinilai masih kurang positif yaitu besar frekuensi penggunaan pestisida dalam bertani, jumlah penanaman tanaman pohon keras di areal lahan, penebangan tanaman pohon keras, frekuensi mengikuti penyuluhan dan bimbingan teknis dari pemerintah dan swasta, dan frekuensi konsultasi kepada petugas pertanian setempat. Dari hasil penelitian ini tergambar bahwa pengetahuan dan perilaku bertani sebagian besar responden masyarakat yang tersebar 12 lokasi penelitian masih kurang memadai dibandingkan kebutuhan akan pengendalian mutu lahan kering secara efektif. Hal ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan stakeholder untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan perilaku para petani dalam mengelola lahan kering yang bermutu baik, dengan merujuk pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, berikut aturan pelaksanaannya. Roseland 2000 mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan harus memberikan akses ke sumbedaya alam yang cukup namun tetap memperhatikan aspek konservasi atas sumberdaya alam tersebut, menjaga norma dan kohesi sosial untuk mencapai kesejahteraan. Masyarakat perlu dipersiapkan agar dapat memainkan peranan sentralnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dalam 97 sistem kehidupan alam semesta. Manusia perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan yang benar-benar memadai sesuai dengan lapangan kerja yang ia hadapi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Cuu Long Delta Rice Research Insitutue 1992 bahwa para tenaga kerja budidaya tanaman padi perlu penyuluhan yang intensif tentang budidaya tanaman karena mereka ini memerlukan lebih banyak pengetahuan dan keterampilan di dalam pertanian, khususnya di dalam manajemen tanaman. Berdasarkan hasil analisis Structure Equation Model SEM terhadap data dari 300 responden diperoleh hasil analisis empiris yang menggambarkan pengaruh antara karakteristik petani, faktor sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap keberdayaan masyarakat tani lahan kering Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9. Analisis SEM pada penelitian ini menggunakan program software statistik LISREL-8w Joreskog Sorbom 1989, untuk pengujian validitas konstrak yang sering dilakukan dalam analisis data ilmu-ilmu sosial. Validitas konstrak berhubungan dengan ide Campbell dan Fiske, diacu dalam Melby et al. 1995b tentang validitas konvergen convergent validity dan diskriminan discriminant validity. Validitas ini dapat diukur dengan cara melakukan korelasi antar variabel-variabel yang secara teoritis berhubungan erat validitas konstrak dan konvergen atau tidak berhubungan validitas diskriminan Bollen 1989. Untuk menyimpulkan suatu ukuran adalah valid, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu dengan mengetahui bahwa ukuran tersebut harus berhubungan kovarian covary dengan ukuran-ukuran lain yang ada pada konstrak yang sama dan berhubungan dengan ukuran-ukuran lain pada konstrak yang lain dalam suatu model teoritis yang bermakna Bollen 1989; Anastasi dalam Melby et al. 1995b. Hasil analisis SEM Gambar 8 dan Gambar 9, menunjukkan bahwa nilai Chi-Square , GFI Goodness of Fit Index, dan RMSE Root Mean Square Error berturut-turut adalah 728,44 p=0,00 dan 0,97 dan 0,079; dengan demikian maka dikatakan cocok atau fit dengan data yang dikumpulkan, karena angka- angka tersebut telah melampui batas Cutt-off-Value, sehingga bisa dikatakan suatu model fit. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa keberdayaan masyarakat tani lahan kering yang diindikasikan melalui indikator ketahanan gizi dan pangan,