41
Menurut John et al. 1998, ada dua jenis mekanisme koping yang terjadi pada individu yaitu koping yang berpusat pada masalah problem foused form of
coping mechanism dan koping yang berpusat pada emosi emotion focused of
coping . Coping yang berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi
tuntutan situasi yang menimbulkan stres atau mengembangkan sumberdaya atau mengatasinya. Mekanisme coping ini bertujuan untuk menghadapi tuntutan
secara sadar, realistis, objektif, dan rasional. Menurut Stuart dan Sundeen 1991, hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme coping yang berpusat pada masalah
adalah: 1 koping konfrontasi adalah mengambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara agresif, juga menggambarkan tingkat
kemarahan serta pengambilan resiko; 2 isolasi, individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan masalah-masalah yang dihadapi;
3 kompromi, menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan secara berhati- hati, meminta bantuan dari orang lain dan kerja sama dengan orang lain.
Menurut Stuart dan Sundeen 1995, jenis mekanisme coping yang berpusat pada emosi adalah: 1 denial, menolak masalah dengan mengatakan hal
tersebut tidak terjadi pada dirinya; 2 rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi
ketidakmampuan dirinya; dengan rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi kita juga merasa sudah selayaknya
berbuat demikian menurut keadilan. 3 kompensasi, menunjukan tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, atau
karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain; kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu;
4 represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatan dengan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan; 5 regresi,
yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil yang dalam regresi secara tidak sadar manusia mencoba berperilaku pada masa
lalu; 6 sublimasi, yaitu seseorang mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan bersikap positif; 7 identifikasi, yaitu meniru cara
berfikir, ide dan tingkah laku orang lain; pada umumnya seseorang manusia ini mengidentifikasikan dirinya dnegan seseorang yang mirip sekali dengan dirinya;
42
8 proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain tentang kesulitannya sendiri atau melampiaskan kepada orang lain; 9 konversi, yaitu mentransfer atau
memindahkan reaksi psikologi ke gejala fisik; 10 displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang atau suatu benda yang diarahkan kepada seseorang atau
suatu benda lain; 11 reaksi formasi, yaitu membentuk reaksi baru yang bertolak belakang atau tidak sesuai dengan perasaan sendiri.
Menurut Lazarus dan Susan 1984, secara umum strategi coping dapat dibagi menjadi dua yaitu coping berfokus pada masalah dan coping berfokus pada
emosi. Coping berfokus pada masalah, individu melakukan suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan
perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapi dapat dikontrol dan diselesaikan. Adapun yang termasuk dalam jenis coping ini adalah: 1 planful
problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang
bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti dengan pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah; 2 confrontative coping yaitu bereaksi untuk
mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil; 3 seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari
pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional. Coping
terfokus emosi individu melakukan usaha mengubah stresor secara langsung. Ada lima cara yang termasuk coping ini, yaitu: 1 self controling
yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan; 2 distancing adalah tidak melibatkan diri dalam permasalahan; 3 escape
avoidance yaitu menghindarkan diri dari masalah yang dihadapi; 4 accenting
responsibility yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri
dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya; 5 positive reappraisal adalah berekasi dengan
menciptakan makna positif dalam diri yang bertujuan untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan dalam hal-hal yang religius.
Perilaku koping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika individu merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan terhadap situasi
tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi. Sebagai contoh strategi coping yang digunakan masyarakat rumah tangga
43
dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akbat banjir besar di Bangladesh adalah strategi koping berpusat pada masalah yaitu: 1 melakukan pinjaman
ke bank, 2 membeli makanan dengan kredit, 3 mengubah perilaku makan, dan 4 menjual aset yang dimiliki.
2.5.6. Strategi Perubahan Sosial
Upaya perubahan sosial dan kelembagaan yang diarahkan kepada peningkatan produktivitas sektor dan orientasi kegiatan hendaknya sejalan dengan
perkembangan dan tujuan kelembagaan lokal di lokasi yang bersangkutan. Faktor- faktor yang layak dipertimbangkan antara lain: 1 tujuan kelembagaan,2 peran
kepemimpinan, 3 pola komunikasi, 4 tatanan sosial, 5 strategi pendekatan, dan 6 langkah kegiatan.
Tujuan kelembagaan institutional goal merupakan faktor terpenting yang seyogyanya dipahami secara mendalam. Tujuan komunal suatu lembaga lokal
memiliki daya ikat sosio-teknis yang besar. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa, atau lebih tepat: penyesuaian struktur, kelembagaan akan lebih mudah
terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: a memiliki dampak yang
jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder; b tersedia sistem pendukung internal, pengetahuan stakeholder, dan eksternal yaitu infrastruktur fisik dan sosial lain; dan
c stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan
sosial setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat coercive dan top-down banyak menemukan halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya
partisipasi stakeholder dan berbedanya persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya introduksi norma tanam serempak mampu dipahami tujuan dan jelas dampaknya
sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga tata pengaturan kegiatan usahatani tradisional.
Peran kepemimpinan leadership dalam kelembagaan lokal suatu komunitas memainkan peran signifikan dalam menanamkan nilai dan norma kemasyarakatan
setempat. Lembaga kepemimpinan mampu menentukan arah, dan dalam kebanyakan kondisi bahkan mampu menghentikan proses dan progres perubahan
44
sosial di wilayahnya. Fungsi utama lembaga kepemimpinan lokal adalah sebagai mobilisator anggota lembaga organisasi lokal, sebagai pusat dan penyalur informasi
dan berbagai fungsi sosial lainnya. Dalam kelompok masyarakat yang berada dalam tahap awal evolusi organisasi, lembaga kepemimpinan umumnya berupa seorang
individu sebagai kepala suku dengan berbagai nama: keret Arfak, ondoafie Sarmi, pah-tuaf Tetun, raja-soa Maluku dan lain-lain. Dalam masyarakat yang
telah berevolusi lebih jauh, kepemimpinan cenderung bersifat kolektif dengan struktur dan pendelegasian kewenangan yang lebih jelas. Etnis Dani di Papua
mengenal lembaga kepemimpinan kolektif otini-tabenak yang memainkan peran penting dalam mengalirkan informasi dari atas ke bawah top-down. Lembaga-
lembaga kepemimpinan memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan secara positif dalam berbagai upaya reformasi kelembagaan sosial untuk mempercepat laju
pembangunan sektor. Pola komunikasi dalam suatu kelembagaan lokal berkaitan dengan tingkat
kohesi atau daya ikat sosial. Pola komunikasi juga merupakan indikator tingkat partisipasi stakeholder kelembagaan tersebut. Masyarakat dengan kohesi sosial
tinggi memiliki tingkat kesetaraan sosial yang tinggi, atau sebaliknya. Namun demikian pola komunikasi suatu kelembagaan bersifat spesifik lokasi, tergantung
pada bentuk dan struktur kelembagaan tersebut. Pada masyarakat dengan kohesi sosial rendah dan lembaga kepemimpinan tunggal, pola komunikasi yang tumbuh
umumnya berupa pola rantai satu arah atau dua arah. Sedangkan pada komunitas denhgan kesetaraan sosial tinggi serta memiliki organisasi kelembagaan dengan
struktur lebih rumit memiliki pola komunikasi yang beragam: pola roda, lingkaran, multi-arah. Para petugas penyuluh sebagai change agent seyogyanya dibekali
dengan pemahaman dan keterampilan komunikasi dalam berbagai hierarki kelembagaan.
Tatanan sosial social setting memiliki potensi sebagai entry point pertama bagi seorang diseminator dalam menyampaikan gagasan awal terkait
perubahan kelembagaan. Kohesi sosial dan social interplay hubungan sosial merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh
dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi
45
anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Masyarakat petani yang sangat terikat dengan kohesifitas ekosistem dan kohesifitas sosial memiliki
social interplay yang relatif tinggi dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk
komunikasi setara multi-arah horisontal multilateral secara baik. Kondisi seperti ini hendaknya dimanfaatkan dalam berbagai program pembangunan dengan misi
meningkatkan produktivitas sektor secara lebih baik melalui inovasi teknologi. Dalam prosesnya, upaya mencapai tujuan seperti diatas seringkali memanfaatkan
kondisi social interplay melalui penerapan berbagai strategi pendekatan yang disesuaikan dengan norma sosial dan kelembagaan spesifik lingkungan dimana
kegiatan dilaksanakan. Lebih jauh lagi patut pula dipertimbangkan daya lenting sosial social resilience kelompok stakeholder yang akan menerima perubahan
kelembagaan tersebut. Daya lenting sosial seringkali berperan sebagai salah satu elemen kunci dalam suatu proses perubahan karena calon penerima perubahan
memerlukan waktu dan kelenturan mental sebelum menerima perubahan yang akan mengubah jalan hidupnya. Kondisi seperti ini akan lebih dipersulit lagi oleh
pertanyaan dalam bentuk apa dan sejauh mana perubahan tertentu harus diterapkan? Apa yang harus dilakukan terhadap kelompok yang tersisihkan karena tidak mampu
menerima dan menjalankan perubahan tersebut? Dengan memahami pola pikir seperti di atas, strategi pendekatan
perubahan sosial masyarakat pedesaan menghadapi dua pilihan: a strategi intrusif, dan b strategi introduksi. Strategi intrusif menerapkan paradigma
evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelembagaan secara alami dimana inovasi kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur
kelembagaan lokal yang masih berjalan. Strategi ini memakan waktu relatif lama dan perubahan terjadi secara bertahap karena kelompok stakeholder diberi cukup
waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara gradual. Sebaliknya, strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi di mana
kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era
orde baru dimana kelembagaan lokal lembaga kepala suku digantikan secara total oleh lembaga kepemimpinan formal organisasi struktural pemerintahan.
Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang diharapkan, namun