PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UPIN IPIN TERHADAP KEMAMPUAN PENJUMLAHAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA ANAK CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 BANTUL.

(1)

PENGARUH PENG KEMAMPUA MATEMAT KE D gu PR i

GGUNAAN MEDIA GAMBAR UPIN IPIN AN PENJUMLAHAN DALAM PEMBELA TIKA ANAK CEREBRAL PALSY TIPE SP KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA

NEGERI 1 BANTUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan una Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Oktafian Alviani

NIM. 11103241021

ROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR B JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKART

MEI 2015 IN TERHADAP LAJARAN PASTIK BIASA SA TA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Pendidikan bukanlah proses mengisi wadah yang kosong. Pendidikan adalah proses menyalakan api pikiran” – W.B. Yeats.

“Jika kamu tidak mengejar apa yang kamu inginkan, maka kamu tidak akan mendapatkannya. Jika kamu tidak bertanya maka jawabannya adalah tidak. Jika kamu tidak melangkah maju, kamu akan tetap berada di tempat yang sama” – Nora Roberts


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. ALLAH SWT dan Agamaku

2. Orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang yang begitu besar. Sampai kapan pun aku akan mencintai Ibu dan Bapak serta akan selalu mengenang pengorbanan Ibu dan Bapak di hatiku.

3. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta 4. Nusa dan Bangsa


(7)

vii

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UPIN IPIN TERHADAP KEMAMPUAN PENJUMLAHAN DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA ANAK CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA

NEGERI 1 BANTUL

Oleh Oktafian Alviani NIM 11103241021

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaruh media gambar Upin Ipin terhadap kemampuan penjumlahan pada siswa Cerebral Palsy tipe spastik dalam pembelajaran Matematika kelas III di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen dengan pendekatan Single Subject Research (SSR). Desain yang digunakan adalah A-B-A. Subyek penelitian yaitu seorang anak Cerebral Palsy kelas III SD . Pengumpulan data menggunakan tes dan observasi. Instrumen penelitian berupa tes dan panduan observasi yang digunakan selama fase intervensi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan ditampilkan dengan bentuk tabel serta grafik. Komponen-komponen yang dianalisis yaitu analisis dalam kondisi dan analisis antar kondisi.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa pada kemampuan penjumlahan mengalami peningkatan keberhasilan dalam mengerjakan soal pada fase baseline-1 (A), intervensi (B), dan baseline-2 (A’). Hal ini dapat di lihat dari perolehan skor anak yang menunjukkan peningkatan ketika di laksanakan tahap-tahap penelitian mulai dari tahap-tahap baseline 1, tahap-tahap intervensi dan tahap-tahap baseline 2. Peningkatan kemampuan penjumlahan signifikan, ditunjukkan dengan perolehan skor yang meningkat hingga 20 poin pada pertemuan pertama baseline 1 yaitu 46 menjadi 66 pada pertemuan terakhir baseline 2.

Kata kunci: Media gambar Upin Ipin, Kemampuan penjumlahan, Pembelajaran Matematika dan Cerebral Palsy.


(8)

viii

KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan selama ini, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Media Gambar Upin Ipin Terhadap Kemampuan Penjumlahan Dalam Pembelajaran Matematika Anak Cerebral Palsy Tipe Spastik Kelas III Di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul” dapat terselesaikan dengan baik.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini tentu tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak dalam membantu terselesaikannya laporan ini, antara lain:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu dari masa awal studi sampai dengan terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang telah memberikan ijin penelitian. 4. Ibu Dr. Mumpuniarti M. Pd., selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang sangat membantu dalam pembuatan tugas akhir skripsi ini.

5. Kepala SLB N 1 Bantul yang telah memberikan ijin penelitian, pengarahan, dan kemudahan agar penelitian dan penulisan skripsi ini berjalan dengan lancar.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN. ... ii

HALAMAN PERNYATAAN. ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO. ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN. ... vi

ABSTRAK. ... vii

KATA PENGANTAR. ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL. ... xiii

DAFTAR GAMBAR. ... xv

DAFTAR LAMPIRAN……… ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah. ... 8

C. Batasan Masalah... 9

D. Rumusan Masalah. ... 9

E. Tujuan Penelitian. ... 9

F. Manfaat Penelitian. ... 10

G. Definisi Operasional... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Anak Cerebral Palsy ... 13

1. Pengertian Anak Cerebral Palsy. ... 13

2. Karakteristik Anak Cerebral Palsy. ... 14


(11)

xi

B. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika. ... 20

1. Pengertian Pembelajaran Matematika. ... 20

2. Karakteristik Pembelajaran Matematika. ... 22

3. Fungsi Pembelajaran Matematika. ... 23

4. Tahap Perkembangan dalam Pembelajaran Matematika. ... 24

5. Dasar- Dasar Pembelajaran Matematika Bagi Anak Hambatan Mental. . 26

6. Tujuan Pembelajaran Matematika. ... 27

7. Materi Pembelajaran Matematika. ... 28

8. Kemampuan Penjumlahan. ... 31

C. Kajian Tentang Media Pembelajaran. ... 34

1. Pengertian Media Pembelajaran. ... 34

2. Fungsi Media Pembelajaran. ... 36

3. Jenis Media Pembelajaran. ... 37

4. Kriteria Memilih Media. ... 38

D. Kajian Tentang Media Gambar Upin Ipin. ... 39

1. Pengertian Media Gambar Upin Ipin... 39

2. Kelebihan Media Gambar Upin Ipin. ... 41

3. Kekurangan Media Gambar Upin Ipin. ... 42

4. Alasan Pemilihan Media Gambar Upin Ipin.. ... 43

E. Hasil Penelitian yang Relevan. ... 46

F. Kerangka Pikir. ... 47

G. Hipotesis Tindakan. ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian... 51

B. Desain Penelitian. ... 53

C. Prosedur Penelitian... 57

D. Tempat dan Waktu Penelitian. ... 63

E. Subyek Penelitian. ... 64

F. Variabel Penelitian. ... 65

G. Teknik Pengumpulan Data. ... 66


(12)

xii

I. Validitas Instrumen. ... 77

J. Analisis Data. ... 78

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 83

1. Identitas Sekolah………. ... 83

2. Fasilitas Pendukung Sarana dan Prasarana... 83

B. Deskripsi Subjek Penelitian. ... 85

1. Identitas Subjek. ... 85

2. Karakteristik Subjek. ... 85

C. Deskripsi Data Hasil Penelitian. ... 88

D. Analisis Data. ... 107

E. Pembahasan Penelitian. ... 118

F. Keterbatasan Penelitian……… ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan. ... 127

B. Saran……… ... 128

DAFTAR PUSTAKA……….. ... 130


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Kurikulum Pelajaran Matematika Kelas I Dasar Semester

II………...…... 30 Tabel 2. Waktu dan Kegiatan Penelitian……….. 65

Tabel 3. Kisi- Kisi Pedoman Tes Pengaruh Penggunaan Media Gambar Upin Ipin Terhadap Kemampuan Penjumlahan Anak Cerebral Palsy Kelas III di SLB N 1 Bantul... 71 Tabel 4. Kisi- Kisi Pedoman Observasi Pengaruh Penggunaan

Media Gambar Upin Ipin Terhadap Kemampuan Penjumlahan Anak Cerebral Palsy Kelas III di SLB N 1 Bantul………... 74 Tabel 5. Kriteria yang Digunakan dalam Menilai Partisipasi

Subjek ………... 76 Tabel 6. Data Hari, Tanggal, dan Waktu Pelaksanaan Baseline-1... 90

Tabel 7. Data Hasil Tes Penjumlahan Subjek MEY pada Fase Baseline-1………... 90 Tabel 8. Data Hari, Tanggal, dan Waktu Pelaksanaan

Intervensi………. 93 Tabel 9. Data Hasil Tes Penjumlahan Subjek MEY pada Fase

Intervensi………... 95 Tabel 10. Data Persentase Keberhasilan Subjek MEY mengenai

Tes Penjumlahan pada Fase Baseline-I dan

Intervensi……… 96

Tabel 11. Data Hasil Durasi Waktu Subjek MEY Mengenai Tes Penjumlahan Pada Fase Intervensi... 98 Tabel 12. Data Hari, Tanggal, dan Waktu Pelaksanaan Baseline II

... 99

Tabel 13. Data Hasil Persentase Keberhasilan Subjek MEY dalam Tes Penjumlahan pada Fase Baseline II... 100


(14)

xiv

Tabel 14. Data Akumulasi Hasil Persentase Keberhasilan Subjek MEY mengenai Penjumlahan pada Fase Baseline I, Intervensi dan Baseline II ... 101 Tabel 15. Data Akumulasi Durasi Waktu Subjek pada Pengerjaan

Penjumlahan………. 102 Tabel 16. Hasil Pengukuran Partisipasi Subjek………. 106

Tabel 17. Data Hasil Persentase Keberhasilan Subjek MEY dalam Tes Penjumlahan pada Fase Baseline I - Intervensi -

Baseline II……….. 108

Tabel 18. Rangkuman Hasil Analisis Dalam Kondisi Persentase Keberhasilan Subjek………. 110 Tabel 19. Data Akumulasi Durasi Waktu Subjek pada Pengerjaan

Tes Pemahaman Konsep Penjumlahan………. 112 Tabel 20. Rangkuman Hasil Analisis Dalam Kondisi Durasi Waktu

Keberhasilan Subjek... 114 Tabel 21. Rangkuman Hasil Analisis Antarkondisi……… 116


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Desain A-B-A’……….. 54

Gambar 2. Display grafik Persentase Keberhasilan Pengerjaan Tes Penjumlahan Subjek MEY pada Baseline-1………... 91 Gambar 3. Display Grafik Durasi Waktu Pengerjaan Tes Penjumlahan

Subjek MEY pada Baseline-1... 92 Gambar 4. Display Grafik Persentase Keberhasilan Tes Penjumlahan Pada

Baseline 1 dan Fase Intervensi………. 97 Gambar 5. Display Durasi Waktu Keberhasilan Tes Penjumlahan Subjek

Penelitian Pada Fase Baseline 1 dan Pada Fase Intervensi... 98 Gambar 6. Display Grafik Perbandingan Persentase Keberhasilan Tes

Penjumlahan Pada Fase Baseline I (A) – Intervensi (B) – Baseline II (A’)……….. 101 Gambar 7. Display Akumulasi Durasi Waktu Keberhasilan Tes

Penjumlahan Subjek Penelitian Pada Fase Baseline-I-, Intervensi dan Baseline-II... 103 Gambar 8. Display Grafik Perbandingan Persentase Keberhasilan Tes

Penjumlahan Pada Tahap Baseline-I, Intervensi, Baseline-II (A-B-A’)... 109 Gambar 9 Display Durasi Waktu Keberhasilan Tes Penjumlahan Subjek

Penelitian Pada Fase Baseline-I, Intervensi dan Baseline-II... 113


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Instrumen Tes Kemampuan Penjumlahan………... 134

Lampiran 2. Hasil Pengukuran Tes Kemampuan Penjumlahan pada Fase Baseline I, Intervensi dan Baseline II………. 144

Lampiran 3. Analisis Data Hasil Tes Penjumlahan……... 149

Lampiran 4. Panduan Observasi Pada Fase Intervensi……... 154

Lampiran 5. Analisis Data Hasil Observasi Pada Fase Intervensi………. 158

Lampiran 6. Pedoman Observasi Pencatatan Durasi Pelaksanaan Tes Penjumlahan.……….. 160

Lampiran 7. Hasil Pencatatan Durasi Waktu yang Digunakan Subjek dalam Menyelesaikan Tugas……… 161

Lampiran 8. Dokumentasi Pelaksanaan Pembelajaran………... 162

Lampiran 9. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)……… 165


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu alat untuk mengubah tingkah laku dan pola pikir manusia dari keadaan belum tahu menjadi tahu, dari keadaan tidak mampu menjadi mampu dan dari keadaan tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki keterampilan. “Pendidikan adalah proses pengembangan perilaku ( G. Terry dalam Dwi Siswoyo, 2011: 54)”. Dengan pendidikan manusia akan memiliki kecerdasan dan wawasan yang luas. Pendidikan akan membuat seseorang memiliki derajat yang lebih tinggi apabila dibandingkan orang yang tidak memiliki pendidikan. Melalui pendidikan pula perilaku seseorang dapat dirubah.

Undang- Undang Republik Indonesia No. 23 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas ) Pasal 1 (dalam Dwi Siswoyo, 2011: 55) pengertian pendidikan adalah sebagai berikut :

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan. Anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan anak normal pada umumnya untuk mengoptimalisasikan kemampuan diri melalui pendidikan, termasuk salah


(18)

2

satunya anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan fisik atau dikenal dengan istilah Tunadaksa. Anak tunadaksa adalah suatu keadaan dari seseorang yang memiliki kecacatan, kelainan bentuk tubuh atau kehilangan salah satu bagian dari tubuhnya yang mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh untuk melakukan gerakan sesuai yang diinginkan (Tin Suharmini: 2009: 46). Salah satu kategori anak tunadaksa adalah anak Cerebral Palsy. Banyak orang mendefinisikan bahwa anak Cerebral Palsy termasuk kedalam kategori anak yang mengalami hambatan fisik.

Berdasarkan hambatan fisik yang dialami oleh anak tunadaksa khususnya pada anak Cerebral Palsy, maka diperlukan optimalisasi indera lain yang masih berfungsi dengan baik untuk menerima dan memahami informasi atau pengetahuan yang disampaikan. Oleh karena itu, anak Cerebral Palsy yang mengalami hambatan atau ketidakmampuan menggunakan fisiknya dalam proses belajar dapat dikompensasikan dengan optimalisasi kemampuan indera lain yang berfungsi dengan baik seperti perabaan, penglihatan dan pendengaran. Maka dari itu diperlukan pendidikan khusus bagi anak Cerebral Palsy.

Anak Cerebral Palsy memperoleh pendidikan khusus baik secara formal maupun informal. Lembaga informal yang menangani anak Cerebral Palsy adalah lembaga yang berada di bawah naungan swasta misalnya saja LSM, Panti Asuhan, dan beberapa lembaga sosial lainnya. Lembaga pendidikan formal yang menangani anak Cerebral Palsy antara lain Home Schooling, sekolah inklusi dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Melalui lembaga Formal


(19)

3

seperti Sekolah Luar Biasa diharapkan hak anak dalam memperoleh pendidikan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya dapat terpenuhi.

Di Sekolah Luar Biasa tersebut anak akan dibekali dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan yang tentunya akan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak. Salah satu pembelajaran utama di Sekolah Luar Biasa tingkat dasar adalah Pembelajaran Matematika. Pembelajaran Matematika merupakan ilmu pasti. Matematika dapat dikatakan sebagai mata pelajaran yang abstrak. Bagi anak Cerebral Palsy yang disertai dengan hambatan intelektual, persepsi dan simbolisasi mereka akan mengalami kesulitan terhadap pembelajaran yang bersifat abstrak.

Pada proses pembelajaran anak Cerebral Palsy yang mengalami hambatan intelektual diperlukan modifikasi metode dan media. Tujuan dari modifikasi tersebut adalah untuk membantu mempermudah anak Cerebral Palsy dalam memahami pembelajaran dengan memperhatikan kekhususannya. Materi pembelajaran yang diberikan kepada anak Cerebral Palsy didasarkan pada kurikulum yang digunakan oleh sekolah.

Kurikulum yang digunakan di SLB N 1 Bantul untuk jenjang kelas III SD yaitu kurikulum KTSP dengan menggunakan Standar Kompetensi untuk jenjang kelas I. Hal tersebut dikarenakan subjek mengalami hambatan intelektual sehingga kemampuan anak masih setara dengan anak kelas I SD.Kompetensi yang mendasar dalam Pembelajaran Matematika adalah anak dapat melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.


(20)

4

Penjumlahan merupakan operasi penggabungan antara bilangan satu dengan bilangan yang lainnya. Dalam penjumlahan terdapat simbol- simbol yang salah satunya adalah angka. Angka adalah sebuah simbol abstrak dari bahasa matematika, yaitu konversi dari simbol bilangan. Pembelajaran dengan sifat abstrak akan sulit diterima anak Cerebral Palsy yang cenderung memiliki daya abstrak rendah. Dengan demikian, dibutuhkan media yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk menjembatani pemikiran anak Cerebral Palsy dalam mempelajari konsep penjumlahan.

Berdasarkan hasil observasi di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul, dapat diketahui bahwa salah satu siswa kelas III belum menguasai kemampuan penjumlahan. Siswa tersebut adalah kategori anak Cerebral Palsy tipe spastik yang disertai dengan hambatan intelektual. Hal tersebut dibuktikan dari tes IQ serta kemampuan subjek yang berada di bawah usia subjek. Usia subjek 12 tahun seharusnya sudah duduk di kelas IV atau V SD.Namun, kemampuan subjek masih setara dengan anak kelas I sehingga materi yang diberikan ketika pembelajaran adalah materi kelas I. Subjek sudah mampu mengenal konsep angka 1-20. Akan tetapi, subjek mengalami hambatan dalam konsep penjumlahan dikarenakan subjek belum memahami konsep nilai tempat bilangan. Misalnya pada soal penjumlahan 12+ 5 =. Jawaban subjek adalah 62. Jawaban ini berasal dari 1 (Puluhan) ditambahkan 5 (satuan) hasilnya adalah 6, sedangkan 2 ( Satuan) ditambahkan dibelakang angka 6. Jadi hasil penjumlahan adalah 62. Selain itu, jika diberikan soal hal yang sama subjek terkadang akan menjawab hasil dari 12+ 5 adalah 8.


(21)

5

Jawaban tersebut diperoleh dari penjumlahan semua angka yang terdapat dalam soal. Dari beberapa contoh di atas penjumlahan yang dilakukan subjek tersebut adalah angka dengan nilai puluhan ditambahkan dengan nilai satuan. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kemampuan subjek kelas III Sekolah Dasar seharusnya sudah menguasai materi pecahan sederhana, akan tetapi kondisi di kelas III SLB N 1 Bantul Jurusan Tunadaksa subjek masih mempelajari penjumlahan dua angka atau penjumlahan sampai angka 90. Penjumlahan dua angka merupakan Kompetensi Dasar yang seharusnya telah dikuasai subjek pada kelas I semester II. Meskipun subjek belum menguasai kompetensi yang diajarkan tetapi subjek akan tetap naik kelas setiap tahunnya. Sistem kenaikan kelas di SLB N 1 Bantul adalah maju berkelanjutan. Artinya setiap tahunnya subjek akan naik kelas dengan kemampuan yang dimilikinya.

Teknik yang digunakan oleh guru dalam materi penjumlahan kurang efektif apabila digunakan untuk melakukan operasi penjumlahan dua angka. Pada saat observasi di kelas III SLB N 1 Bantul jurusan Tunadaksa peneliti melihat bahwa subjek sedang menjawab soal penjumlahan dengan menghitung garis pada kertas sebanyak angka yang akan dijumlahkan. Untuk menjawab soal tersebut subjek harus menghitung IIIIIIIIIIII + IIIII=. Untuk menyelesaikan tugas dalam membuat garis lurus subjek akan membutuhkan waktu yang lama. Setelah subjek menulis semua bilangan dalam bentuk lurus, kemudian subjek menghitung garis lurus dari garis lurus pertama (12) dan dilanjutkan dengan menghitung garis lurus pada angka selanjutnya (5). Hasil


(22)

6

penjumlahan subjek benar yaitu 17. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk menjawab satu soal penjumlahan sangatlah lama. Jika garis lurusnya hanya sedikit tentu subjek tidak mengalami kesulitan. Namun, apabila garis lurus terlalu banyak maka tidak jarang apabila subjek akan keliru ketika menghitung. Selain itu, ketika subjek sudah merasa lelah akibat membuat garis yang terlalu banyak, subjek tersebut menjadi malas untuk menghitung dan terkadang menjawab secara asal. Hal ini akan mengakibatkan kesalahan ketika subjek melakukan penjumlahan.Untuk penulisan turus seacra tepat sebenarnya bias membantu siswa untuk berhitung. Namun, turus tersebut seharusnya ditulis dengan IIII IIII II + IIII=. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menggunakan media gambar Upin Ipin untuk memperbaiki konsep penjumlahan subjek.

Pada penelitian ini difokuskan mengenai masalah rendahnya kemampuan penjumlahan pada siswa Cerebral Palsy tipe Spastik kelas III di SLB N 1 Bantul. Masalah ini diteliti karena dianggap penting untuk diatasi sebab penjumlahan erat kaitannya dengan kehidupan sehari- hari. Selain itu, penjumlahan merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa, karena Pembelajaran Matematika merupakan pelajaran maju bersyarat. Dikatakan maju bersyarat karena apabila siswa belum menguasai kemampuan dasar maka siswa tersebut tidak dapat melanjutkan materi berikutnya.

Permasalahan mengenai rendahnya kemampuan penjumlahan pada subjek yaitu siswa Cerebral Palsy tipe Spastik kelas III di SLB N 1 Bantul disebabkan karena subjek belum memahami konsep bilangan dan


(23)

7

penjumlahan. Pada penelitian ini penjumlahan dibatasi sampai penjumlahan dua angka dengan hasil penjumlahan paling besar adalah 20. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan dan permasalahan yang dihadapi subjek. Adapun alternatif media yang digunakan adalah media gambar Upin Ipin.

Melalui tokoh Upin Ipin yang diwujudkan dalam sebuah gambar subjek dapat belajar penjumlahan dengan senang dan lebih bersemangat serta lebih aktif. Tahapan penggunaan media gambar Upin Ipin sesuai dengan karakteristik tahap perkembangan subjek. Subjek merupakan siswa Cerebral Palsy yang disertai dengan hambatan intelektual. Menurut Bruner (Sugihartono dkk, 2007: 112) menjelaskan bahwa salah satu tahap perkembangan anak adalah dengan ikonik yaitu dimana anak menyadari sesuatu secara mandiri melalui imej atau gambar yang konkret atau semi konkret bukan abstrak. Maka dari itu, dalam proses Pembelajaran Matematika di mulai dari kegiatan konkret melalui media gambar Upin Ipin dan dilanjutkan pada tahap simbolik menggunakan angka.

Berdasarkan alasan tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian quasi eksperimen dengan subjek tunggal atau dikenal dengan Single Subject Research (SSR) yaitu menggunakan media gambar Upin Ipin terhadap kemampuan penjumlahan. Media yang digunakan belum mampu mewakili penyampaian materi penjumlahan dengan benar karena hanya menggunakan sempoa. Oleh karena itu, peneliti menggunakan media gambar Upin Ipin yang akan digunakan dalam proses pembelajaran pada aspek penjumlahan. Selain itu, media gambar Upin Ipin diharapkan dapat memberikan pengaruh


(24)

8

positif terhadap kemampuan penjumlahan sehingga memudahkan subjek untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan materi ajar yang lebih kompleks mengenai penjumlahan. Penelitian mengenai penggunaan media gambar Upin Ipin penting dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media gambar Upin Ipin terhadap kemampuan penjumlahan padaanak Cerebral Palsy tipe spastik kelas III Sekolah Dasar di SLB 1 Bantul Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas diperoleh beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut :

1. Rendahnya kemampuan subjek dalam menjawab soal penjumlahan, disebabkan karena subjek belum menguasai konsep bilangan dan konsep penjumlahan.

2. Media pembelajaran yang digunakan oleh guru belum optimal, media yang digunakan belum dapat menyelesaikan permasalahan pada Pembelajaran Matematika.

3. Sekolah belum pernah menggunakan media gambar Upin Ipin dalam proses Pembelajaran Matematika.

4. Teknik penjumlahan yang digunakan oleh guru belum efektif. Subjek harusmenulis garis lurus sebanyak angka yang akan dijumlah. Kemudian, menghitung dari garis lurus yang mewakili angka pertama dilanjutkan garis lurus angka kedua. Teknik seperti ini akan


(25)

9

membutuhkan waktu yang cukup lama dan tidak jarang hasilnya akan salah karena subjek sudah lelah.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti memberikan batasan agar penelitian ini lebih spesifik. Batasan masalah dalam penelitian ini adalah “Rendahnya kemampuan subjek dalam menjawab soal penjumlahan, disebabkan karena subjek belum menguasai konsep bilangan dan konsep penjumlahan serta Sekolah belum pernah menggunakan media gambar Upin Ipin dalam proses Pembelajaran Matematika di SLB N 1 Bantul”. Masalah ini penting diteliti karena penjumlahan merupakan dasar dari operasi hitung dalam Pembelajaran Matematika.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh penggunaan media gambar Upin Ipin terhadap kemampuan penjumlahan dalam Pembelajaran Matematika pada anak Cerebral Palsy tipe spastik kelas III di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta?”.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media gambar Upin Ipin terhadap kemampuan penjumlahan dalam Pembelajaran Matematika pada anak Cerebral Palsy tipe spastik kelas III di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.


(26)

10

F. Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini dharapkan memberikan manfaat yang dapat digunakan secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang berhubungan dengan Mata Pelajaran Matematika pada aspek penjumlahan. Selain itu, untuk menambah kajian bahwa media gambar Upin Ipin dapat mempengaruhi kemampuan penjumlahan bagi anak Cerebral Palsy tipe spastik.

2. Manfaat praktis untuk subjek, guru dan sekolah

a. Bagi subjek diharapkan dengan penelitian ini dapat memudahkan subjek memahami materi pembelajaran selanjutnya yang lebih kompleks mengenai penjumlahan.

b. Bagi guru dengan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif media pembelajaran untuk mengajarkan penjumlahan pada Pembelajaran Matematika kelas III di SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta.

c. Bagi sekolah dapat digunakan sebagai penetapan kebijakan pelaksanaan kurikulum oleh guru atau peningkatan mutu pembelajaran dengan memanfaatkan media yang sesuai dengan karakteristik subjek.


(27)

11

d. Bagi peneliti dapat menambah wawasan mengenai kemampuan penjumlahan pada Mata Pelajaran Matematika dapat dipengaruhi oleh media gambar Upin Ipin.

G. Definisi Operasional

1. Media Gambar Upin Ipin

Media gambar Upin Ipin adalah gambar cetak tokoh kartun yang bernama Upin dan Ipin.Upin menggunakan baju kuning dengan lambang huruf U. Sedangkan Ipin menggunakan baju berwarna biru dengan lambang hufur I. Gambar kedua tokoh kartun tersebut dilapisi dengan plastik laminating agar lebih tebal dan mudah diambil. Media gambar Upin Ipin digunakan sebagai media bantu untuk mempermudah Pembelajaran Matematika pada materi konsep bilangan dan penjumlahan.Media gambar Upin Upin merupakan media semi konkret dari lambang bilangan.

Dalam proses pembelajaran masing- masing gambar memiliki tugas, diantaranya sebagai berikut :

a. Untuk menjelaskan konsep bilangan akan menggunakan media gambar Upin Ipin dan media kartu bilangan. Jadi, gambar Upin Ipin akan mewakili jumlah dari bilangan tersebut.

b. Untuk menjelaskan konsep penjumlahan maka dapat dilakukan dengan menjumlahkan gambar yang sejenis (apabila gambar pertama dengan menggunakan gambar Upin maka pada gambar kedua juga menggunakan gambar Upin dan sebaliknya). Hasil penjumlahan dibatasi pada angka 20.


(28)

12

2. Kemampuan Penjumlahan Anak Cerebral Palsy.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti, subjek dalam penelitian ini adalah kategori anak Cerebral Palsy tipe spastik yang disertai dengan hambatan intelektual. Hal tersebut dibuktikan dari tes IQ serta kemampuan subjek yang berada di bawah usia subjek. Usia subjek 12 tahun seharusnya sudah duduk di kelas IV atau V SD. Namun, kemampuan subjek masih setara dengan anak kelas I sehingga materi yang diberikan ketika pembelajaran adalah materi kelas I. Subjek sudah mampu mengenal konsep angka 1-20. Akan tetapi, subjek mengalami hambatan dalam konsep penjumlahan dikarenakan subjek belum memahami konsep nilai tempat bilangan. Penjumlahan yang dilakukan oleh subjek adalah penjumlahan 1-20 dengan cara menghitung jumlah dua bilangan. Bilangan yang dijumlah maksimal 17 dengan maksimal hasil penjumlahan adalah 20.


(29)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Tentang Anak Cerebral Palsy

1. Pengertian Cerebral Palsy

“Cerebral palsy is not disease but, rather, a nonprogresssive and noninfectious condition that affects body and muscle coordination” (Smith, Deborah and Naomi, Tyler, 2010 : 305). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa Cerebral Palsy bukanlah penyakit, melainkan kondisi nonprogresif dan tidak menular yang akan mempengaruhi gerakan tubuh dan koordinasi otot. Selain itu, Cerebral Palsy merupakan suatu kondisi yang ditandai dengankelumpuhan, kelemahan, kurangnya koordinasi, dan atau disfungsi motorik lainnya yang disebabkan oleh kerusakan otak (Daniel P. Hallahan, Daniel P; Kauffman, James M; Pullen, Paige C, 2009: 498). Menurut mumpuniarti (2001: 93) Cerebral Palsy merupakan suatu kelainan yang dapat berakibat ketunaan yang begitu kompleks, sebab yang mengalami ketunaan adalah syaraf, sehingga fungsi- fungsi lain pada bagian tubuh kemungkinan dapat terganggu. Cerebral Palsy disebabkan oleh kerusakan bagian otak yang relatif kecil yang mengakibatkan masalah pada tonus otot dan gerakan otot (Taylor; Ronald; at all, 2009: 327).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Cerebral Palsy bukanlah suatu penyakit menular melainkan suatu kondisi kelainan fisik. Kelainan fisik tersebut akan berdampak pada gerakan dan koordinasi otot. Cerebral Palsy dapat juga diartikan sebagai gangguan fungsi gerak yang


(30)

14

disebabkan oleh kecelakaan, luka, atau penyakit susunan syaraf yang terdapat pada rongga tengkorak. Istilah Cerebral Palsy dimaksudkan untuk menerangkan adanya kelainan gerak, sikap ataupun bentuk tubuh, gangguan koordinasi yang disertai dengan gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Jadi, Cerebral Palsy adalah suatu kondisi kerusakan otak sehingga tonus otot bermasalah dan mengakibatkan kelumpuhan, kelemahan, kekakuan, kurang koordinasi bahkan disfungsi motorik.

2. Karakteristik Cerebral Palsy

a. Karakteristik Umum

Cerebral Palsy (CP) dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis antara lain Spastik, Athetoid, Ataxia, Rigid dan Tremor. Menurut M. Sugiarmin (1996: 75-76) “Spastik menunjukkan gerakan otot-otot yang mengalami kekejangan dapat terjadi baik pada sebagian gerakan ataupun seluruhnya. Akibatnya gerakan terbatas dan lambat”.

Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa spastik memiliki gangguan yaitu berupa kekejangan. Pada anak CP kategori spastik kekejangan otot akan hilang atau berkurang pada saat anak dalam keadaan tenang. Sebaliknya keadaan akan menguat apabila keadaan anak terkejut, marah, takut dan sebagainya ( A. Salim, 1996: 23).

Menurut A. Salim Choiri (1995:39) Cerebral Palsy jenis spastik letak kelainannya terletak pada Tractus Pyramidalis ( motor cortex). Bagi Cerebral Palsy jenis spastik akan terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh otot-


(31)

15

ototnya. Otot- otot persendian akan menjadi kaku ( stiff, contractur) kalau kurang digerakkan, sehingga dapat mengganggu fungsi mobilisasi. Kekakuan pada otot- otot organ bicara seperti lidah, pita suara, dan rahang bawah dapat menyebabkan kelainan dalam berbicara. Maka dari itu, anak Cerebral Palsy tipe spastik pada organ bicara mereka akan mengalami hambatan ketika mengungkapkan kalimat dan hal ini akan mengganggu proses pembelajaran. Anak Cerebral Palsy kategori spastik dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu :

1) Spastik Hemiplegia, yaitu kelumpuhan yang terjadi pada tangan kanan dan kaki kanan atau tangan kiri dan kaki kiri. Postur atau sikap tubuh penderita tipe ini menyerupai orang- orang yang terkena stroke, sendi siku (elbow joint) dan sendi pada jari- jari tangan mengalami fleksi yang kemungkinan dapat mengakibatkan kaku (kontraktur, kaku).

2) Spastik Paraplegia, yaitu kelumpuhan yang terjadi pada kedua kakinya. Berat ringannya kelumpuhan tergantung pada kerusakan yang terdapat di dalam otak.

3) Spastik Diplegia, yaitu kelumpuhan yang terjadi pada kedua tangan atau kedua kakinya, biasanya kelumpuhan pada kaki lebih berat ketimbang pada tangannya.

4) Spastik Quadriplegia, yaitu kelumpuhan yang terjadi pada keempat anggota geraknya. Spastik jenis ini jika dibandingkan dengan spastik jenis lainnya termasuk yang terberat. Otot- otot akan membengkok (flexi) dan memutar (pronasi), demikian pula jari- jari tangannya. Otot- otot


(32)

16

pada panggul memendek, sendi lutut, kaki juga membengkok. Akibatnya anak tipe ini mengalami kesulitan atau sama sekali tidak dapat berjalan.

b. Karakteristik Khusus

Karakteristik khusus anak Cerebral Palsy (CP) tipe Spastik yaitu sebagai berikut :

1) Gangguan Motorik

Menurut A. Salim Choiri ( 1995: 66) anak Cerebral Palsy tipe spastik merupakan tipe anak CP yang mengalami kerusakan pada Pyramidal Tractatau Extrapyramidal. Anak tersebut akan mengalami hambatan dalam sistem motorik karena kedua syaraf tersebut berfungsi untuk mengatur sistem motorik. Gangguan motorik dapat berupa kekakuan dan kelumpuhan.

2) Gangguan Sensori

Menurut A. Salim Choiri ( 1995: 68) hilangnya kemampuan gerak dan raba pada anak CP khusus terjadi pada spastik hemiplegia dan quadriplegia. Mereka tidak mampu membedakan dua titik pada kulit dan juga tidak mampu mengidentifikasi objek dengan menggunakan tangannya. Ketidakmampuan mereka dalam mengidentifikasi objek berhubungan dengan kelainan fungsi syaraf sensoris yaitu menerima rangsang dan mengirim rangsang.

3) Tingkat Kecerdasan

Menurut A. Salim Choiri (1995: 68) tingkat kecerdasan anak CP bervariasi. Terdapat anak CP yang mempunyai tingkat kecerdasan paling


(33)

17

dasar, normal dan bahkan yang berada di atas rata- rata. Tidak ada pengaruh antara kelainan fisik dan tingkat kecerdasan. Artinya, anak CP yang mengalami kelainan fisik berat tidak berarti bahwa kecerdasannya rendah. Adapun faktor yang mempengaruhi anak CP mengalami hambatan dalam memperoleh pembelajaran yaitu dari diri anak itu sendiri dan perangkat tes yang digunakan ( Musjafak Assjari, 1995: 69). Faktor dari diri anak misalnya anak dapat merespon pertanyaan yang diberikan namun karena kondisi fisik yang dialaminya ia sulit untuk mengungkapkan dengan lisan maupun tulisan akibat organ bicara dan motorik halus anak mengalami spastik. Sedangkan faktor kedua yaitu perangkat tes yang digunakan ketika melakukan tes intelegensi.

4) Kemampuan Persepsi

Menurut Musjafak Assjari (1995: 69) anak CP yang mengalami kelainan motorik juga akan mengalami kelainan persepsi. Karena persepsi yang diterima seseorang harus melewati berbagai macam tahap. Tahapannya adalah melalui stimulus merangsang alat indera, diteruskan ke otak oleh syaraf sensori dan pada akhirnya diterima oleh otak. Tugas otak untuk menerima, menafsirkan dan menganalisis rangsang yang kemudian terjadi persepsi. Namun, bagi anak CP syaraf penghubung dan jaringan otak mengalami gangguan atau kerusakan sehingga proses tersebut tidak berjalan dengan lancar. Akibatnya kemampuan persepsi anak CP mengalami hambatan.


(34)

18 5) Kemampuan Kognisi

Menurut Musjafak Assjari (1995: 70) anak CP yang mengalami gangguan atau keterbatasan dalam kemampuan kognisi sebagai akibat dari kelainan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, perabaan dan juga bahasanya. Unsur- unsur tersebut merupakan komponen penting dalam proses pengolahan persepsi. Apabila komponen tersebut terganggu maka akan berdampak pada kemampuan kognisi.

6) Kemampuan Berbicara

Menurut Musjafak Assjari (1995: 70) kebanyakan anak CP akan mengalami gangguan berbicara. Gangguan berbicara mereka disebabkan karena kelainan motorik otot- otot bicara. Selain itu, karena kurang atau tidak terjadinya proses interaksi dengan lingkungan sehingga anak kurang mampu dalam berbicara. Gangguan bicara yang lain dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan anak dalam menirukan orang lain ketika berbicara. Kerusakan pada area tertentu dibagian otak juga dapat menyebabkan anak mengalami hambatan ketika berbicara.

7) Simbolisasi

Menurut Musjafak Assjari (1995: 71) proses simbolisasi merupakan tingkatan tertinggi dari kemampuan mental seseorang sehingga memerlukan konsentrasi tinggi secara abstrak. Proses pembentukan simbol dapat diperoleh dikelompokkan dalam menerima dan menyampaikan fungsi kata dan gerakan. Namun, bagi anak CP yang


(35)

19

mengalami hambatan dalam pendengaran dan penglihatan akan mengalami kesulitan dalam menangkap pesan atau informasi yang disampaikan. Karena indera penglihatan dan pendengaran merupakan penerima simbol yang paling penting.

8) Emosi dan Penyesuaian Sosial

Menurut Musjafak Assjari (1995: 71) konsep diri dan penerimaan diri anak CP kurang baik. Hal itu menyebabkan mereka memiliki rasa percaya diri yang kurang. Mereka merasa tidak berguna dengan kekurangan yang dimilikinya. Mereka menganggap bahwa lingkungan akan menolak kehadiran mereka. Hal itu tentu akan mempengaruhi interaksi mereka dengan lingkungan jika anak CP menutup diri terhadap lingkungan.

3. Problem Cerebral Palsy Dalam Pembelajaran Matematika

Kondisi fisik anak yang mengalami hambatan akan berpengaruh terhadap pembelajaran. Misalnya saja bagi anak Cerebral Palsy yang mengalami spastik pada tangan dan organ bicara. Anak akan mengalami hambatan ketika menyampaikan pesan (informasi) atau menerima pesan dari guru. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Meskipun tingkat kecerdasan anak Cerebral Palsy terdiri dari dibawah rata- rata, normal dan di atas rata- rata. Namun, bagi anak CP yang disertai dengan hambatan intelektual tentu prestasi belajar mereka akan rendah. Rendahnya prestasi belajar ini dikarenakan kemampuan persepsi, simbolisasi dan mengingat anak yang terlalu singkat. Hal ini mengakibatkan anak CP kurang memiliki


(36)

20

kemampuan abstrak, sehingga anak CP mengalami kesulitan dalam mempelajari materi pelajaran yang abstrak.

Matematika adalah pelajaran abstrak. Dalam pelaksanaan pembelajaran Matematika menggunakan simbol-simbol dan aturan terstruktur. Penjelasan mengenai konsep abstrak sangat sulit diterima oleh anak CP yang disertai hambatan intelektual pada tingkat pendidikan dasar. Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah anak CP yang disertai hambatan intelektual serta mengalami kesulitan dalam memahami makna dari bilangan dan konsep penjumlahan. Materi pelajaran di atas merupakan materi yang bersifat abstrak. Karena bersifat abstrak maka dibutuhkan layanan dan pendidikan khusus bagi anak CP. Pendidikan pada tingkat dasar menekankan pada pengembangan kemampuan senso-motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa, kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan sosial. Apabila anak tidak mampu menguasi keterampilan tersebut tentu anak akan mengalami hambatan ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

B. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika

1. Pengertian Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal ( E. Mulyasa, 2007: 255). Pembelajaran dapat didefinisikan


(37)

21

sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan dan ketrampilan berfikir yang diperoleh melalui pengalaman ( Santrock, 2007: 266). Jadi pembelajaran adalah usaha untuk menciptakan interaksi antara siswa dengan lingkungannya yang akan menghasilkan suatu pengaruh terhadap siswa tersebut.

Sri Subarinah (2006:1) menyatakan bahwa Matematika berasal dari bahasa Yunani, Mathein atau Manthenein yang berarti mempelajari. Pembelajaran Matematika merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi, mendorong dan mendukung siswa dalam belajar Matematika. Heruman (2007: 2-5) menyatakan bahwa Matematika adalah pembelajaran yang ditekankan pada konsep- konsep dasar dengan mengenal jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep Matematika yang abstrak. Maka dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola pikir siswa, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan. Johnson dan Myklebust (Mulyono Abdurrahman, 2003: 252) mendefinisikan Matematika sebagai bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritis adalah untuk memudahkan berfikir. KBBI (Tim Balai Pustaka, 2005: 723) Matematika merupakan ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.


(38)

22

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Matematika adalah proses yang dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana yang memungkinkan subjek mempelajari hubungan antara konsep-konsep dan struktur- struktur Matematika melalui simbol- simbol dalam penyelesaian masalah sehari- hari.

2. Karakteristik Pembelajaran Matematika

Menurut Soedjadi (2000: 13-19) menjelaskan tentang 6 karakteristik pembelajaran matematika yaitu:

a. Memiliki objek abstrak yaitu (1) fakta, berupa konvensi- konvensi yang diungkap dengan sebuah simbol (2) Konsep yaitu berupa ungkapan yang digolongkan untuk menggolongkan sekumpulan objek (3) Operasi yaitu aturan yang digunakan untuk memperoleh elemen dengan mengetahui elemen lain (4)Prinsip yaitu berbagai hubungan antara objek dasar matematika. Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak, sering juga objek mental atau pikiran. Dalam pembelajaran matematika, keabstrakan objek matematika tersebut perlu diupayakan agar dapat disajikan secara konkret, seperti dengan menggunakan media pembelajaran.

b. Bertumpu pada kesepakatan hal berarti bahwa semua orang di dunia sepakat mengenai aturan dalam matematika. Misalnya 1+2= 3.

c. Memiliki pola pikir deduktif, artinya pola pikir dalam Matematika merupakan generalisasi dari gejala- gejala alam. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pola pikir Matematika yaitu dari umum menuju khusus.


(39)

23

d. Bersifat fleksibel, artinya Matematika dapat dipakai sesuai dengan kebutuhan. Dapat digunakan secara luas maupun sempit.

e. Konsisten sesuai sistemnya, saat ini beberapa ahli berpendapat Matematika adalah seni yang indah, keindahannya tergambarkan dalam sistemnya yang konsisten dan runtut.

3. Fungsi Pembelajaran Matematika

Matematika sangat berguna dalam berbagai bidang. Menurut Cockroft yang dikutip Mulyono Abdurrahman (2003:253), Matematika perlu diajarkan kepada anak karena :

“(a) selalu digunakan dalam segi kehidupan, (b) Semua bidang studi memerlukan Matematika yang sesuai, (c) Merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, (d) Dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, (e) Meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran, keruangan dan fungsi memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang”.

Menurut Cornelius dalam Mulyono Abdurrahman (2003:253) mengemukakan perlunya Matematika diberikan kepada anak karena Matematika merupakan:

“(a) Sarana berpikir yang jelas dan logis, (b) Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (c) Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (d) Sarana untuk mengembangkan kreativitas, (e) Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya”.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Parwoto (2007: 176) menyatakan salah satu mata pelajaran pokok Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan bilangan dan simbol simbol serta ketajaman penalaran- penalaran yang dapat membantu


(40)

24

memperjelas dan menyelesaikan permasalahan sehari- hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mampu menguasai Matematika akan memiliki kecakapan hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pembelajaran Matematika perlu diajarkan sejak pendidikan dasar, dengan harapan anak telah mengenal arti dan fungsi Matematika terkait dengan kehidupan sehari-hari.

4. Tahap Perkembangan Dalam Pembelajaran Matematika

Perkembangan seorang anak menjadi seorang yang dewasa melalui berbagai tahapan perkembangan. Perkembangan manusia ini terdiri dari perkembangan fisik, psikologis, sosial, bahasa, dan lain-lain. Penelitian ini berkaitan dengan belajar Matematika, maka peneliti mengkaji mengenai perkembangan belajar. Pendapat Piaget dalam Sugihartono dkk (2007: 109) membagi dalam 3 tahap perkembangan dalam belajar matematika yang dapat penulis kemukakan:

a. Tahap sensori motor pada usia 0-2 tahun. Pembelajaran matematika pada tahap ini anak akan menggunakan sensori motor untuk memindahkan benda di sekitarnya. Anak menyadari objek memiliki sifat tidak berubah bentuk di manapun tempatnya sehingga mereka akan tertarik melakukan pemindahan benda dengan sukses.

b. Tahap operasi adalah tahap perkembangan mental dengan cara-cara konkret. Tahap ini dibagi menjadi tiga tahap lainnya, yaitu (1) tahap pra konseptual antara 2-4 tahun terkait dengan aspek persepsi subjektif dan belum mampu membentuk konsep, (2) tahap berfikir intuitif antara 4-7


(41)

25

tahun anak mampu membentuk konsep dengan bantuan persepsi benda yang mereka lihat, raba, dan rasakan; (3) tahap operasional konkret antara 7-11 tahun anak mampu berpikir logis dengan membandingkan, mencocokkan, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya. Pada tahap ini anak mampu membuat operasi logika tetapi membutuhkan bantuan media yang bersifat konkret dalam pelaksanaannya.

c. Tahap formal. Tahap ini ditandai dengan perkembangan formal dan abstrak. Pada tahap ini anak dapat melakukan operasi gabungan dari operasi dasar matematika.

Piaget dalam J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou (2014: 77) menjelaskan bahwa “anak membentuk konsep dengan mengadakan adaptasi dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi”. Asimilasi berarti terjadinya proses mencocokkan pengalaman- pengalaman baru atau konsep baru bagi anak dengan konsep yang telah ada pada anak. Akomodasi yaitu terjadinya proses mengadakan koreksi terhadap perluasan konsep.

Berdasarkan teori Piaget di atas dapat dikaji mengenai tahap perkembangan berpikir anak. Anak memiliki pemikiran dan dunia sendiri. Anak tidak dapat dipaksa berpikir seperti orang dewasa. Guru sebagai tenaga pendidik harus mengetahui tahap perkembangan kognitif anak agar dapat diimplementasikan dalam pelaksaanaan pembelajaran. Selain itu, dalam Pembelajaran Matematika guru harus memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan konsep Matematika agar mereka dapat memperluas pengetahuannya dengan asimilasi dan akomodasi.


(42)

26

Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah siswa tunadaksa kelas III dasar kategori Cerebral Palsy. Apabila ditinjau dari segi usia yang berkisar 7-11 tahun maka subjek termasuk dalam tahap perkembangan operasional konkret. Namun, pada kenyataannya kemampuan subjek belum sesuai dengan tahap perkembangan anak. Subjek tersebut belum mampu diajak berpikir logis, sehingga masih membutuhkan pembelajaran secara konkret. Subjek belum mampu melakukan operasi membandingkan, mencocokkan, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya.

5. Dasar- Dasar Pembelajaran Matematika Bagi Anak Hambatan

Mental

Wehman dan Laughlin (Mumpuniarti, 2007: 121- 122) mengemukakan bahwa Pembelajaran Matematika bagi anak dengan hambatan mental memiliki dasar- dasar sebagaimana yang diungkapkan oleh peneliti yang meliputi :

a. Matematika merupakan salah satu keterampilan yang diperlukan setiap orang dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan terutama hal- hal yang berkaitan dengan proses perhitungan, begitu juga pada anak Cerebral Palsy dengan hambatan intelektual. Mereka memerlukan keterampilan berhitung Matematika sebagai keterampilan dalam aktivitas pemecahan masalah kehidupan dan penerapannya dalam bidang vokasional atau pekerjaan.

b. Pembelajaran Bilangan (number) pembelajaran ini berkaitan dengan memberi label susunan. Bidang yang berhubungan dengan angka kardinal (1,2,3), angka ordinal (dalam bentuk urutan) dan angka rasional


(43)

27

(setengah, sepertiga, seperempat). Dalam pembelajaran ini memerlukan konsep tentang kuantitas.

c. Pengangkaan (Numeration) merupakan upaya untuk mengekspresikan bilangan yang terkait dengan besarannya.

d. Hubungan (Relation) didalam hubungan terdapat konsep sama dan ketidaksamaan penempatan (ditengah, di belakang, di muka) dan perbandingan (rasio).

e. Pengukuran (Measurement) merupakan suatu proses berhitung yang menjelaskan mengenai hubungan antara objek dengan waktu, uang, temperatur, cairan, berat dan unit- unit linier.

f. Pengoperasian angka (Operations With Whole Numbers) didalamnya termasuk keterampilan menghitung, menambah, mengurang, mengalikan dan membagi.

g. Pengoperasian angka rasional (Operations With Rational Numbers) merupakan pengembangan dari keterampilan pengoperasian angka. h. Pemecahan masalah (Problem Solving) merupakan keterampilan

berhitung yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari.

6. Tujuan Pembelajaran Matematika

Tujuan Matematika adalah untuk mempermudah di dalam memberi Pelajaran Matematika, sehingga anak dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam Pembelajaran Matematika. Tujuan Pembelajaran Matematika adalah untuk belajar yang berhubungan dengan cara informasi atau konsep pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan dan


(44)

28

penemuan, sedangkan tujuan berikutnya adalah untuk belajar bermakna yaitu belajar memahami apa yang sudah diperolehnya dan dikaitkan dengan keadaan lain sehingga apa yang dia pelajari akan lebih dimengerti.

Matematika merupakan substansi bidang studi yang menopang pemecahan masalah dalam segala sektor kehidupan. Untuk itu bagi anak dengan hambatan mental perlu diberikan materi tentang Matematika. Pembelajaran Matematika bagi mereka bertujuan agar mereka mampu menggunakan di dalam kehidupan sehari- hari. Keterbatasan atau hambatan mental yang menghambat mereka di dalam mempelajari Matematika memerlukan pembelajaran dimodifikasi ke arah yang lebih konkret dan fungsional.

Menurut Dirjen Dikdasmen (2006: 45), tujuan umum diberikan Pembelajaran Matematika di jenjang pendidikan dasar adalah:

a. Mempersiapkan subjek agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif.

b. Menyiapkan subjek agar dapat menggunakan Matematika dan pola pikir Matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai Ilmu Pengetahuan.

7. Materi Pembelajaran Matematika

Materi Pembelajaran Matematika untuk kelas III dasar seharusnya telah sampai pada memahami pecahan sederhana dan penggunaannya dalam pemecahan masalah. Kondisi ini jauh berbeda dengan penguasaan materi


(45)

29

siswa kelas III dasar di SLB N 1 Bantul. Pembelajaran Matematika di kelas tersebut masih membahas tentang pejumlahan dua angka. Saat peneliti melakukan observasi pada Mata Pelajaran Matematika, guru memberikan materi pembelajaran tentang operasi penjumlahan.

Dari hasil observasi subjek dapat menyelesaikan penjumlahan satu angka namun ketika diberikan penjumlahan dua angka subjek mengalami kesulitan ketika menjawab. Hal ini berarti bahwa kemampuan subjek dalam menyelesaikan penjumlahan dua angka masih rendah. Bila diamati lebih lanjut kekeliruan yang dialami subjek disebabkan karena subjek tersebut belum menguasai nilai tempat bilangan dan konsep penjumlahan dua angka.

Materi penjumlahan dua angka seharusnya sudah dikuasai subjek sejak duduk di kelas I dasar. Akan tetapi, dengan kondisi subjek yang mengalami Cerebral Palsy dan disertai dengan hambatan intelektual maka subjek tersebut belum dapat menguasai penjumlahan dua angka. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian tentang materi penjumlahan dua angka. Di bawah ini adalah Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang diperoleh dari kurikulum dasar D kelas I semester II.


(46)

30

Tabel 1. Kurikulum Pelajaran Matematika Kelas Dasar I semester II Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

4. Melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dua angka dalam pemecahan masalah.

4.1 Membilang banyaknya benda 4.2 Mengurutkan banyaknya benda 4.3 Menentukan nilai tempat bilangan puluhan dan satuan

4.4 Melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan dua angka 4.5 Menggunakan sifat operasi pertukaran dan pengelompokkan 4.6 Menyelesaikan masalah yang melibatkan penjumlahan dan pengurangan dua angka.

Berdasarkan tabel Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Kompetensi Dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.1 Membilang banyaknya benda

4.4 Melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan dua angka

Dari kompetensi dasar yang telah ditentukan di atas, maka materi yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Konsep Bilangan.

b. Konsep Penjumlahan ( Penjumlahan dua angka )

Perlakuan atau intervensi pada penelitian ini difokuskan pada kemampuan penjumlahan dua angka yang belum dikuasai siswa kelas III dasar. Tetapi untuk memberikan pemahaman kepada subjek mengenai konsep penjumlahan, terlebih dahulu subjek harus menguasai konsep bilangan 1-20. Pembelajaran Matematika adalah pembelajaran maju bersyarat sehingga bila


(47)

31

subjek belum menguasai konsep bilangan 1-20 akan sulit bagi subjek dapat menguasai operasi penjumlahan.

8. Kemampuan Penjumlahan

Kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, kekuatan, atau potensi diri sendiri (Depdikbud, 1999: 623). Pengertian kemampuan menurut peneliti adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan atau potensi bawaan sejak lahir atau hasil latihan yang dapat digunakan untuk melakukan suatu perbuatan.

Penjumlahan merupakan materi Pembelajaran Matematika yang perlu diberikan kepada anak untuk membantu menyelesaikan tugas kemandiriannya. Penjumlahan sangat terkait dengan keterampilan dalam pengoperasian angka. Sebelum masuk sekolah, anak- anak telah belajar tentang penjumlahan sederhana. “Konsep penjumlahan harus dikembangkan dari pengalaman nyata ( J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou, 2014: 105)”. Konsep penjumlahan di tingkat dasar harus mengembangkan kemampuan siswa dari pengalaman bersifat konkret dengan cara ini siswa dapat memanipulasi objek dengan menggunakan bahasa mereka dan kemudian diasosiasikan dengan simbol penjumlahan.

Didik Djunaedi (2008: 8) penjumlahan adalah total dari beberapa bilangan yang ditambahkan. Menjumlah adalah menggabungkan dua atau lebih anggota himpunan benda atau bilangan sehingga terjadi himpunan benda atau bilangan baku dengan menggunakan lambang (U) atau tanda tambah (+) untuk menggabungkan himpunan benda atau bilangan tersebut


(48)

32

(Azhar Arsyad, 2002: 67). Suyati dkk (2004: 49) penambahan atau penjumlahan berarti bertambah banyak atau menjadi banyak. Jadi penjumlahan adalah penggabungan dua buah bilangan atau menambahkan bilangan yang satu dengan bilangan yang lain sehingga hasilnya menjadi lebih banyak. Penjumlahan adalah aturan yang mengkaitkan bilangan cacah dengan suatu bilangan cacah yang lain. Sebagai contoh: jika a dan b bilangan cacah. Kedua bilangan tersebut dikaitkan, maka dapat dilambangkan „a + b‟ yang dibaca „a ditambah b‟. Hasil dari penjumlahan kedua bilangan cacah tersebut merupakan penjumlahan himpunan anggota a dan himpunan anggota b.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa Kemampuan penjumlahan merupakan suatu proses penggabungan atau penyatuan dua buah bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan yang disebut dijumlah. Kemampuan penjumlahan bilangan yang dimaksud disini adalah kemampuan anak Cerebral Palsy yang disertai hambatan intelektual untuk menghitung atau menggabungkan dua buah bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan, sehingga diharapkan anak benar- benar dapat menghitung hasil penggabungan dua bilangan tersebut dan mendapatkan hasil yang benar. Penjumlahan dua bilangan cacah dilakukan dengan menggunakan simbol bilangan (0,1,2,3,4…) dan simbol operasi penjumlahan (+).


(49)

33

Penjumlahan adalah merupakan salah satu operasi hitung untuk mengkombinasikan kuantitas atau jumlah. Dalam Pembelajaran Matematika pada penjumlahan bagi hambatan mental meliputi (Mumpuniarti, 2007: 126-127) :

a. Penjumlahan kombinasi dasar, penjumlahan kombinasi dasar adalah variasi yang melibatkan jumlah 0- 9. Dalam kegiatan ini siswa dapat menghitung berbagai variasi melalui jembatan atau pengelompokkan. b. Penjumlahan tahap tinggi. Tahapan ini meliputi kombinasi dasar dalam

salah satu nilai tempat terdiri dari satuan, puluhan, dua puluhan. Jembatan diperlukan jika pada satuan jumlahnya lebih dari sepuluh dengan cara meyimpan untuk ditempatkan pada nilai tempat yang lebih tinggi.

c. Penjumlahan dengan aneka digit, pada tahap ini dengan angka bermacam- macam yang ditambahkan, diantaranya 1 digit, 2 digit dan 3 digit. Berbagai prinsip (prosedur sistematis untuk pemecahan masalah matematis) dan masalah yang perlu pengelompokkan kembali (regrouping) atau penyimpanan puluhan, ratusan, dan seterusnya diperlukan pada tahap aneka digit.

d. Penjumlahan dengan kolom, penambahan dengan kolom melibatkan dua atau lebih proses penjumlahan. Penambahan kolom tunggal meliputi kombinasi dasar, penambahan tahap lebih tinggi, dan penjembatan


(50)

34

Pembelajaran Matematika materi penjumlahan merupakan materi yang bersifat abstrak karena pada pelaksanaannya menggunakan konversi simbol-simbol yang bersifat abstrak seperti angka, dan simbol-simbol operasi (+ dan =). Banyaknya kekeliruan dalam belajar operasi penjumlahan disebabkan karena pembelajaran belum menggunakan media yang bersifat konkret sehingga sulit diterima oleh siswa kelas III dasar. Untuk mengetahui kemampuan penjumlahan anak Cerebral Pasly yang disertai hambatan intelektual lebih kepada prinsip Need For Multiple Presentation (Mumpuniarti: 2007: 250) yaitu penyampaian pembelajaran dalam operasi penjumlahan bentuk pendek tanpa teknik penyimpanan dibantu dengan menggunakan media atau alat peraga. Dalam penelitian ini menggunakan media gambar Upin Ipin dan operasi penjumlahan menggunakan bahasa simbol Matematika berupa kartu bilangan.

C. Kajian Tentang Media Pembelajaran

1. Pengertian Media Pembelajaran

Media pembelajaran memiliki beberapa pengertian dilihat dari sudut pandang para ahli. Banyak para pakar media pendidikan yang telah mendefinisikan pengertian media pembelajaran. Dari berbagai pendapat tersebut dapat dijelaskan seperti berikut.

Menurut Oemar Hamalik (1994:12) “media pembelajaran adalah metode dan teknik yang digunakan untuk mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran.” Menurut Association for Educational Communications Technology (AECT) di


(51)

35

Amerika yang dikutip oleh Azhar Arsyad (2002:3) “media pendidikan ialah segala bentuk saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi.” Sementara itu Gagne yang dikutip Arief S. Sadiman, dkk. (2009:6) menyebutkan bahwa “media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan anak yang dapat merangsangnya untuk belajar.”

Dari ketiga pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari guru ke siswa. Tujuannya agar dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran terjadi dan berlangsung lebih efisien. Dalam penelitian ini diharapkan media pembelajaran yang digunakan dalam mengajar subjek dapat berpengaruh positif artinya media tersebut akan lebih tepat guna dan bermanfaat sesuai yang diharapkan dibandingkan dengan mengajar tanpa menggunakan media.


(52)

36

2. Fungsi Media Pembelajaran

Media pembelajaran memiliki beberapa fungsi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Arief S. Sadiman dkk (2009:17-18) mengemukakan bahwa secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan sebagai berikut:

“a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).

b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra seperti misalnya:

1) Obyek terlalu besar – bisa digantikan dengan realitas gambar, film bingkai, film dan model.

2) Obyek yang kecil – dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film dan gambar.

3) Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat dibantu high speed photography atau low speed photography.

c. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik sehingga dalam hal ini media berguna untuk:

1) Menimbulkan kegairahan belajar.

2) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan.

3) Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

4) Dengan sifat yang unik pada setiap subjek ditambah lagi dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum, dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap subjek, maka guru akan banyak mengalami kesulitan bilamana latar belakang guru dan subjek sangat berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media pendidikan”.

Dari uraian tersebut di atas media dapat membantu untuk mengatasi berbagai macam hambatan diantaranya mengurangi sifat verbalisme, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan tipe belajar siswa karena kelemahan di salah satu indra, mengatasi sifat anak pasif menjadi aktif, membantu mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar kepada siswa dan mempermudah belajar siswa atau subjek.


(53)

37

3. Jenis Media Pembelajaran Matematika

Media sangat penting bagi proses pembelajaran. Media pembelajaran banyak macamnya seperti yang telah dijabarkan di atas, fungsi media tidak hanya membantu dalam memberikan penjelasan mengenai informasi yang dibicarakan, tetapi juga dapat menarik perhatian subjek, memberikan motivasi belajar, dan dapat memudahkan subjek dalam mengorganisasikan informasi yang diperoleh. Pemilihan media harus disesuaikan dengan teknik yang digunakan guru dan karakteristik subjek. Pemilihan media yang kurang tepat tidak akan bermakna pada subjek.

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2000:7) mengklasifikasikan media sebagai berikut: “Beberapa jenis media yang biasa digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran, dapat digolongkan menjadi media gambar atau grafis, media fotografis, media tiga dimensi, media proyeksi, media audio dan lingkungan sebagai media pengajaran.”

Berikut ini adalah jenis-jenis media menurut para ahli. Jenis media menurut Gagne dalam Arief S. Sadiman (2006: 23) mengelompokkan media menjadi 7 golongan yaitu: benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, media gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin belajar.

Jenis media yang lebih terinci dikemukakan oleh Seels & Glasgow (1990) dalam Azhar Arsyad (2006: 33-35) membagi media dilihat dari perkembangan teknologi menjadi dua kategori luas:


(54)

38

“ a. Pilihan media tradisional yang terdiri dari : 1) Visual diam yang diproyeksikan: proyeksi apaque (proyeksi tak tembus pandang), proyeksi overhead, slides, filmstrips. 2) Visual yang tak diproyeksikan: gambar/poster, foto, charts, grafik, diagram, pameran, papan info, papan-bulu. 3) Audio: rekaman piringan, pita kaset, reel, cartridge. 4) Penyajian multi media: slides plus suara, multiimages. 5) Visual dinamis yang diproyeksikan: film, televisi, video. 6) Cetak: buku teks, modul, teks terprogram, workbook, majalah ilmiah, lembaran lepas. 7) Permainan: teka-teki, simulasi, permainan papan. 8) Realia: model, specimen, manipulative.

b. Pilihan media teknologi mutakhir yang terdiri dari : 1) Media berbasis telekomunikasi: telekonferen, kuliah jarak jauh. 2) Media berbasis mikroprosesor: computer-assistedinstructional, permainan komputer, sistem tutorintelegen, interaktif, hypermedia, compack disc.”

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas media gambar Upin Ipin termasuk dalam golongan media tradisional visual yang tidak diproyeksikan dan termasuk media gambar diam. Media gambar Upin Ipin ini digunakan sesuai karakteristik subjek Cerebral Palsy yang lebih mengoptimalkan fungsi penglihatan dan motorik. Penggunaan media gambar Upin Ipin bersifat fleksibel dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan.

4. Kriteria Memilih Media

Ada berbagai jenis media pengajaran yang biasa digunakan dalam proses pengajaran, misalnya media grafis seperti gambar, foto, grafik, diagram, poster kartun, komik, model susun, model kerja, diorama, dll. Penggunaan media tidak dilihat berdasarkan kecanggihan medianya melainkan dilihat berdasarkan fungsi dan peranannya dalam membantu pengajaran. Penggunaan media sangat bergantung kepada tujuan pengajaran, bahan pengajaran, kemudahan memperoleh media yang diperlukan serta kemampuan guru dalam menggunakannya.


(55)

39

Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002: 4-5) dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria yaitu: “a) ketepatannya dengan tujuan pengajaran, b) dukungan terhadap isi bahan pengajaran, c) kemudahan memperoleh media, d) keterampilan guru dalam menggunakannya, e) tersedia waktu untuk menggunakannya, f) sesuai dengan taraf berfikir anak ”.

Penggunaan media sebaiknya disesuaikan dengan usia, tingkat perkembangan dan taraf berfikir anak sehingga media tersebut dapat mengakomodasi kemampuan dan materi yang seharusnya dikuasai. Media pengajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional baik dalam kurikulum maupun indikator-indikator yang telah ditetapkan. Penggunaan media yang diperlukan mudah diperoleh setidaknya dapat dibuat oleh guru sehingga tidak perlu harus membeli dan guru dapat menggunakannya kapanpun dibutuhkan dalam proses pengajaran. Apapun media yang digunakan guru harus mampu menggunakannya. Dengan kriteria pemilihan media diatas, guru dapat lebih mudah menggunakan media mana yang dianggap tepat untuk membantu mempermudah tugas-tugasnya sebagai pengajar.

D. Kajian Tentang Media Gambar Upin Ipin

1. Pengertian Media Gambar Upin Ipin

Gambar menurut Benny Agus Pribadi dan Dewi Padmo Putri (2001: 09) didefinisikan sebagai representasi visual dari orang, tempat ataupun benda yang diwujudkan atas kanvas, kertas atau bahan lain, baik dengan cara


(56)

40

lukisan, gambar atau foto. Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2001: 70) “media gambar adalah gambar mati yang sederhana digunakan oleh guru secara efektif dalam kegiatan belajar mengajar yang mempunyai makna tertentu, menarik anak, dan mudah dipahami dari maksud gambar tersebut”. Menurut Sri Anitah (2010:7), “media gambar (gambar mati) adalah gambar yang dibuat pada kertas karton atau sejenisnya yang tak tembus cahaya yang mengandung arti dan mudah dipahami oleh siswa saat melihat gambar tersebut.”

Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa media gambar (gambar mati) yang sederhana dibuat pada kertas karton atau sejenisnya yang tak tembus cahaya digunakan oleh guru secara efektif dalam kegiatan belajar mengajar yang mempunyai makna tertentu, menarik siswa, dan mudah dipahami saat melihat maksud gambar tersebut. Menurut Bruner (Sugihartono dkk, 2007: 112) menjelaskan bahwa salah satu tahap perkembangan anak adalah dengan ikonik yaitu dimana anak menyadari sesuatu secara mandiri melalui imej atau gambar yang konkret atau semi konkret bukan abstrak. Media gambar Upin Ipin adalah gambar cetak tokoh kartun yang bernama Upin dan Ipin.Upin menggunakan baju kuning dengan lambang huruf U. Sedangkan Ipin menggunakan baju berwarna biru dengan lambang hufur I. Gambar kedua tokoh kartun tersebut dilapisi dengan plastik laminating agar lebih tebal dan mudah diambil.


(57)

41

2. Kelebihan Media Gambar Upin Ipin

Arief S. Sadiman (2006: 29) menyatakan tentang kelebihan media gambar yang dapat penulis kemukakan:

“a) Gambar merupakan media pembelajaran yang dapat mengatasi batasan ruang dan waktu. Gambar dapat dibawa di manapun dan kapanpun. b) Media gambar dapat membantu keterbatasan pengamatan siswa. c) Gambar dapat membantu memperjelas suatu masalah. d) Gambar dapat dipakai dalam segala bidang dan dapat digunakan oleh berbagai usia serta kalangan. e) Gambar relatif terjangkau dan mudah didapatkan”.

Selain itu menurut Hackbarth dalam Benny Agus Pribadi dan Dewi Padmo Putri (2001: 10) menyatakan kelebihan media gambar adalah:

“a) Menarik perhatian pada umumnya semua orang melihat gambar/foto. b) Menyediakan gambaran nyata dari suatu objek yang karena suatu hal tidak mudah diamati. c) Unik. d) Memperjelas hal-hal yang abstrak. e) Mampu mengilustrasikan suatu proses.”

Berdasarkan kajian pustaka menganai kelebihan media gambar di atas, dapat digunakan penulis sebagai landasan kelebihan media gambar secara umun yang dapat dikaitkan dengan kelebihan media gambar Upin Ipin. Penulis memaparkan kelebihan media gambar Upin Ipin dalam menyelesaikan masalah pembelajaran matematika:

a. Media gambar Upin Ipin bersifat semi konkret yang mewakili lambang bilangan. Selain itu, media ini dapat dilihat secara langsung tanpa harus membayangkan dan dapat dipegang.

b. Media gambar Upin Ipin dapat digunakan untuk membantu memperjelas informasi yang bersifat abstrak.

c. Media gambar Upin Ipin dapat menarik perhatian subjek karena tokoh Upin Ipin adalah tokoh favorit subjek.


(58)

42

d. Gambar ini berwarna kuning dan biru yang mencolok dan berbentuk layaknya anak- anak.

e. Pengadaan media gambar ini mudah dan terjangkau.

3. Kekurangan Media Gambar Upin Ipin

Semua media mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut pendapat Arief S. Sadiman (2006: 29) media gambar memiliki tiga kekurangan yaitu : “a) Gambar hanya menekan pada persepsi indera mata. b) Gambar benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan pembelajaran. c) Ukurannya sangat terbatas untuk kelompok besar”.Berdasarkan pendapat ahli di atas penulis mengemukakan gagasan dalam mengatasi kekurangan media gambar. Kekurangan media gambar Upin Ipin dalam pembelajaran matematika dapat diatasi dengan cara sebagai berikut:

a. Kekurangan: media gambar memang menekankan persepsi indera mata. Anak Cerebral Palsy yang merupakan subjek dalam penelitian juga memiliki hambatan intelektual. Namun anak tidak memiliki hambatan sensori sehingga dalam proses pembelajaran dan perolehan informasi masih dapat memanfaakan indera lain yang masih berfungsi. Misalnya seperti penglihatan, perabaan, penciuman dan pengecapan. Kaitannya dengan media gambar Upin Ipin, penggunaan media ini menekankan pada perolehan informasi melalui indera penglihatan. Pada pembelajaran subjek mengambil gambar Upin Ipin sesuai dengan permintaan guru. Subjek melakukan gerakan memindah gambar Upin Ipin dari tempat satu


(59)

43

ke tempat yang lain. Dapat dikatakan media gambar Upin Ipin ini juga menekankan pada indera perabaan.

b. Kekurangan: gambar benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan pembelajaran.

Untuk menghindari hal tersebut penulis membatasi gambar yang digunakan. Media gambar Upin Ipin bukanlah media gambar yang memiliki alur cerita. Media gambar ini tidak menggambarkan tentang kehidupan tokoh Upin Ipin bersama teman-temannya. Tetapi media gambar ini hanya menggunakan dua karakter yaitu Upin dan Ipin. Gambar Upin dan Ipin ini dibuat dengan jumlah yang banyak, jadi dapat dipakai sebagai media hitung dalam Pembelajaran Matematika

c. Kekurangan: ukurannya sangat terbatas untuk kelompok besar.

Subjek dalam penelitian ini menggunakan subjek tunggal. Subjek yang dimaksudkan adalah siswa tunadaksa kelas III di SLB N 1 Bantul. Media gambar Upin Ipin dapat digunakan oleh subjek karena jumlahnya yang sedikit yaitu hanya satu siswa, sehingga kekurangan media ini tidak menjadi kendala dalam Pembelajaran Matematika.

4. Alasan Pemilihan Media Gambar Upin Ipin

Gambar adalah salah satu media pembelajaran yang amat dikenal di dalam setiap kegiatan pembelajaran, karena media gambar memberikan manfaat dalam pembelajaran. Menurut Azhar Arsyad (2002:43), media gambar memberikan manfaat sebagai berikut:


(60)

44

“a. Menimbulkan daya tarik pada anak. Gambar dengan berbagai warna akan lebih menarik dan membangkitkan minat dan perhatian anak. b. Mempermudah pengertian anak. Suatu penjelasan yang abstrak akan lebih mudah dipahami bila dibantu gambar. c. Memperjelas bagian-bagian yang penting. d. Menyingkat suatu uraian”.

Selain penjelasan di atas adapun alasan memilih media gambar Upin Ipin adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik subjek Cerebral Palsy

Adapun karakteristik Cerebral Palsy (CP) yaitu (1) subjek CP mengalami hambatan fisik sehingga motoriknya terganggu selain itu subjek juga mengalami hambatan intelektual. (2) Subjek mengalami hambatan persepsi dan berbicara karena syarafnya mengalami kerusakan yang mengakibatkan kemampuan bahasa terbatas, miskin kosakata serta daya abstrak serta kemampuan simbolisasi rendah sehingga subjek mengalami kesulitan dalam mempelajari suatu hal yang abstrak. Subjek membutuhkan media yang bersifat konkret atau semi konkret karena digunakan untuk mewakili simbol bilangan dan juga dalam artian media tersebut dapat dilihat dan dipegang.

b. Kegemaran subjek

Upin Ipin adalah tokoh kartun kegemaran subjek dan kekinian karena saat ini banyak anak yang menyukainya. Secara psikologis subjek lebih tertarik dan termotivasi untuk mempelajari kegemarannya. Mereka melakukan pembelajaran seperti bermain. Peneliti berasumsi bahwa sesuatu kegemaran subjek dapat digunakan untuk pembelajaran.


(61)

45 c. Tahap perkembangan anak

Subjek berada dalam tahap perkembangan operasional konkret yaitu berkisar antara usia 7-11 tahun. Tahap perkembangan operasional konkret adalah tahap berpikir di mana subjek dapat membandingkan, mencocokkan dan berpikir logis dengan bantuan media yang bersifat konkret maupun semi konkret. Dengan media yang bersifat konkret maupun semi konkret tersebut diharapkan subjek dapat memahami materi yang akan diberikan oleh peneliti.

d. Karakteristik Matematika adalah abstrak.

Dalam mempelajari Matematika tidak akan jauh dari bahasa simbol. Mempelajari Matematika tentu akan bertemu dengan bahasa simbol Matematika. Matematika merupakan mata pelajaran unik karena memiliki bahasa khusus dan dapat diterima oleh semua orang. Bahasa khusus yang dimaksud adalah bahasa simbol. Misal pada angka 3. Simbol ”3” merupakan simbol abstrak yang tanpa makna, akan tetapi pada pelajaran Matematika secara universal sepakat bahwa untuk menulis simbol bilangan tiga dapat dikonversikan menggunakan angka 3. Karena karakteristik yang abstrak ini, akan sangat sulit untuk mengajarkan pada subjek tingkat dasar. Untuk itu dibutuhkan media yang bersifat konkret maupun semi konkret untuk membantu memperjelas makna bahasa simbol Matematika tersebut.

Berdasarkan uraian alasan di atas, peneliti merekomendasikan media gambar merupakan media semi konkret yang mewakili simbol angka dan


(62)

46

media Upin Ipin relevan dipergunakan sebagai alat bantu untuk memperjelas materi tentang konsep bilangan dan konsep penjumlahan dalam Pembelajaran Matematika.

E. Hasil Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kelas II SDLB Negeri Jepon Blora dengan Pembelajaran Matematika yang menggunakan media gambar yang dilakukan oleh Sri Indayatni (2010) dapat diketahui bahwa setelah mengikuti Pembelajaran Matematika dengan menggunakan media gambar ini prestasi belajar anak tunagrahita dapat dikatakan meningkat.

Hasil penelitian ini bila dikaitkan dengan teori masih relevan, karena gambar merupakan salah satu media pembelajaran yang amat dikenal di dalam setiap kegiatan pembelajaran. Pembelajaran dengan menerapkan media gambar dapat meningkatkan penalaran, karena melalui gambar subjek dapat ditunjukkan sesuatu yang jauh dari jangkauan pengalaman subjek, selain itu juga dapat memberikan gambaran tentang peristiwa yang telah berlalu maupun gambaran masa yang akan datang. Melalui gambar, guru dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebih konkret untuk subjek SDLB tunagrahita.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media gambar dapat meningkatkan operasional penjumlahan pada subjek tunagrahita kelas II SDLB Negeri Jepon blora, media gambar dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap peningkatan kemampuan operasional penjumlahan pada bidang studi matematika.


(63)

47

F. Kerangka Pikir

Cerebral Palsymerupakan suatu kondisi yang ditandai dengan kelumpuhan, kelemahan, kurangnya koordinasi, dan atau disfungsi motorik lainnya yang disebabkan oleh kerusakan otak (Hallahan, Daniel P; Kauffman, James M; Pullen, Paige C, 2009: 498). Cerebral palsy disebabkan oleh kerusakan bagian otak yang relatif kecil yang mengakibatkan masalah pada tonus otot dan gerakan otot (Taylor; Ronald; at all, 2009: 327). Jadi Cerebral Palsy adalah suatu kondisi kerusakan otak sehingga tonus otot bermasalah dan mengakibatkan kelumpuhan, kelemahan, kekakuan, kurang koordinasi bahkan disfungsi motorik.

Cerebral Palsy tipe spastik merupakan tipe anak CP yang mengalami kerusakan pada Pyramidal Tract atau Extrapyramidal. Anak tersebut akan mengalami hambatan dalam sistem motorik karena kedua syaraf tersebut berfungsi untuk mengatur sistem motorik. Gangguan motorik dapat berupa kekakuan dan kelumpuhan. Anak CP yang mengalami kelainan motorik juga akan mengalami kelainan persepsi. Karena persepsi yang diterima seseorang harus melewati berbagai macam tahap. Tahapannya adalah melalui stimulus merangsang alat indera, diteruskan ke otak oleh syaraf sensori dan pada akhirnya diterima oleh otak. Tugas otak untuk menerima, menafsirkan dan menganalisis rangsang yang kemudian terjadi persepsi. Namun, bagi anak CP yang syaraf penghubung dan jaringan otak mengalami gangguan atau kerusakan maka proses tersebut tidak berjalan dengan lancar. Akibatnya kemampuan persepsi anak CP mengalami hambatan. Selain itu, anak juga


(64)

48

mengalami gangguan dalam berbicara. Gangguan berbicara disebabkan karena kelainan motorik otot- otot bicara, karena kurang atau tidak terjadinya proses interaksi dengan lingkungan sehingga anak kurang mampu dalam berbicara. Gangguan bicara yang lain dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan anak dalam menirukan orang lain ketika berbicara. Kerusakan pada area tertentu dibagian otak juga dapat menyebabkan anak mengalami hambatan ketika berbicara.

Subjek tunadaksa kategori Cerebral Palsy kelas III SLB N 1 Bantul memasuki usia berkisar 7- 11 tahun. Berdasarkan teori Piaget dalam Sugihartono dkk (2007: 109) mengenai tahap perkembangan kognitif anak, maka subjek Cerebral Palsy ini berada pada tahap perkembangan operasional konkret. Subjek dapat diajak berpikir logis dengan cara membandingkan, mencocokkan, menghubungkan fakta, akan tetapi membutuhkan media yang bersifat konkretdalam pembelajaran.

Berdasarkan hasil observasi di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul, dapat diketahui bahwa salah satu siswa kelas III belum menguasai kemampuan penjumlahan. Siswa tersebut adalah kategori anak Cerebral Palsy tipe spastik yang disertai dengan hambatan intelektual. Hal tersebut dibuktikan dari tes IQ serta kemampuan subjek yang berada di bawah usia subjek. Usia subjek 12 tahun seharusnya sudah duduk di kelas IV atau V SD. Namun, kemampuan subjek masih setara dengan anak kelas I sehingga materi yang diberikan ketika pembelajaran adalah materi kelas I. Subjek sudah mampu mengenal konsep angka 1-20. Akan tetapi, subjek mengalami


(65)

49

hambatan dalam konsep penjumlahan dikarenakan subjek belum memahami konsep nilai tempat bilangan. Selain itu teknik penjumlahan yang digunakan subjek tidak efektif untuk penjumlahan lebih dari angka 20. Untuk menjawab soal penjumlahan subjek harus membuat turus sebanyak angka yang akan dijumlah. Teknik ini menghabiskan waktu lama dan hasil penjumlahan sering keliru sebab terlalu banyak turus yang harus dihitung oleh subjek.

Pembelajaran Matematika materi penjumlahan merupakan materi yang bersifat abstrak karena pada pelaksanaannya menggunakan konversi simbol-simbol yang bersifat abstrak seperti angka, dan simbol-simbol operasi (+ dan =). Penjumlahan adalah aturan yang mengkaitkan bilangan cacah dengan suatu bilangan cacah yang lain. Sebagai contoh:jika a dan b bilangan cacah. Kedua bilangan tersebut dikaitkan, maka dapat dilambangkan „a + b‟ yang dibaca „a ditambah b‟. Hasil dari penjumlahan kedua bilangan cacah tersebut merupakan penjumlahan himpunan anggota a dan himpunan anggota b.

Kemampuan penjumlahan merupakan suatu proses penggabungan atau penyatuan dua buah bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan yang disebut dijumlah. Kemampuan penjumlahan bilangan yang dimaksud disini adalah kemampuan anak Cerebral Palsy yang disertai hambatan intelektual untuk menghitung atau menggabungkan dua buah bilangan atau lebih menjadi sebuah bilangan, sehingga diharapkan anak benar- benar dapat menghitung hasil penggabungan dua bilangan tersebut dan mendapatkan hasil yang benar. Penjumlahan dua bilangan cacah dilakukan dengan menggunakan simbol bilangan (0,1,2,3,4…) dan simbol operasi penjumlahan (+).


(1)

171

Surat

Keterangan Dan


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH TERAPI MUROTTAL TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI (SLBN) 1 BANTUL YOGYAKARTA

14 75 122

PENGARUH NEURO DEVELOPMENTAL TREATMENT TERHADAP KEMAMPUAN GROSS MOTOR BERDIRI ANAK CEREBRAL PALSY Pengaruh Neuro Developmental Treatment Terhadap Kemampuan Gross Motor Berdiri Anak Cerebral Palsy Spastik Diplegi.

0 4 12

PENGARUH AKTIVITAS KOLASE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS PADA SISWA CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK.

15 88 40

PENGARUH PERMAINAN ALAT MUSIK DRUM UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK ANAK CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK DI SLB AZ-ZAKIYAH.

0 1 39

KEMAMPUAN PENYESUAIAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY DI SDN TUNAS HARAPAN :Studi Kasus Pada DV Anak Cerebral Palsy Spastik di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif.

0 0 52

KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA BENDA KONKRET TERHADAP KEMAMPUAN MENGENAL HURUF PADA SISWA CEREBRAL PALSY KELAS III DI SLB NEGERI 1 BANTUL.

0 0 138

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPAKAIAN MELALUI METODE DRILL PADA ANAK CEREBRAL PALSY DI SEKOLAH LUAR BIASA DAYA ANANDA.

1 6 222

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PERMULAAN MELALUI TEKNIK LATIHAN GRAPHOMOTOR PADA ANAK CEREBRAL PALSY DI SEKOLAH LUAR BIASA DAYA ANANDA.

12 56 187

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA BUKU KOMUNIKASI BERBASIS AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE COMMUNICATION (AAC) DALAM KEMAMPUAN BAHASA EKSPRESIF PADA ANAK AUTIS KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI 1 BANTUL.

0 14 161

KEEFEKTIFAN MEDIA FLASH CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA CEREBRAL PALSY TIPE SPASTIK KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI I BANTUL.

52 396 253