Kegunaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Tujuan dari prinsip pertama yaitu siswa perlu dibiasakan untuk dapat mengakses informasi dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, koran,
pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan internet. Sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa, mereka perlu belajar bagaimana
memproses informasi seperti menganalisis informasi, sejauh mana kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana
mengklasifikasikan informasi tersebut, dan menyederhanakan informasi yang banyak.
Maksud dari prinsip kedua yaitu selama kegiatan belajar mengajar akan muncul pendapat, pandangan, dan pengalaman yang beragam. Dalam
menjelaskan suatu fenomena, di antara siswa pun akan terjadi perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya dan struktur berpikir
yang dimiliki. Student center artinya siswa aktif dalam kegiatan belajar bersama supaya
ia paham dengan pengetahuan yang didapatnya. Siswa perlu terlatih untuk mendengarkan dan mencerna dengan baik pendapat siswa lain dan guru.
Sesuai dengan tahap perkembangan emosi dan berpikirnya, dia perlu dapat menganalisis pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Scaffolding adalah proses memberikan bimbingan kepada siswa untuk
mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui siswa. Siswa dilatih secara perlahan dengan intensitas bimbingan yang
semakin berkurang. Dengan cara ini, kemampuan berpikir siswa akan semakin berkembang.
Peranan pendidikguru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa. Halini
menandai telah terjadi perubahan paradigmdari pembelajaran berorientasi gurumenjadi pembelajaran berorientasi siswa. Siswa diharapkan mampu
secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri. Kegiatan belajar yang otentik yaitu seberapa dekat kegiatan belajar yang
dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata yang terjadi dalam
masyarakat yang dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan
tertentu. c.
Ciri-Ciri Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme
Menurut Driver dan Oldham dalam Siregar dan Nara, ada lima ciri-ciri pembelajaran berbasis konstruktivis. Lima ciri tersebut antara lain orientasi,
elisitasi, restrukturisasi ide, penggunaan ide dalam berbagai situasi, dan review.
32
Orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi ketika mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan
melakukan observasi. Motivasi penting untuk dibentuk supaya siswa tidak bosa denga pembelajaran. Kegiatan observasi bertujuan supaya siswa aktif
menggunaka seluruh panca inderanya dalam kegiatan pembelajaran. Elisitasi, yaitu siswa mengembangkan idenya dengan kegiatan diskusi,
menulis, membuat poster dan lain-lain. Semakin sering ia mengembangkan idenya maka semakin banyak pengalaman yang ia dapat.
Restrukturisasi ide, yaitu setiap siswa saling mengklarifikasi, membangun, dan mengevaluasi ide baru. Tujuannya supaya siswa dapat
saling bertukar pikiran dan membangun rasa toleransi. Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi, yaitu ide yang telah
terbentuk perlu diaplikasikan pada berbagai macam situasi. Maksudnya supaya siswa dapat berpikir kreatif.
Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, ide yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah. Kegiatan review membentuk
siswa menjadi seorang yang mempunyai sifat berpikir fleksibel. Ada beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar
konstruktivisme diantaranya
pembelajaran berbasis
masalah dan
pembelajaran berbasis proyek. Dari segi pedagogis, pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada teori konstruktivis dengan ciri pemahaman yang
diperoleh berasal dari interaksi antara skenario permasalahan dengan lingkungan belajar; pergulatan masalah dan proses inquiry masalah
32
Eveline Siregar dan Hartini Nara, op. cit., h. 39