Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi

VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI

6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa Non- Transmigrasi

Pada bagian ini akan dianalisis kinerja desa-desa eks transmigrasi dan perbandingannya dengan desa-desa non-transmigrasi desa penduduk setempat. Analisis kinerja didasarkan pada tiga kelompok indikator utama yaitu kesejahteraan penduduk, aktvitas pertanian dan aktivitas non-pertanian.

6.1.1 Kesejahteraan Penduduk

Analisis kelompok indikator kesejahteraan penduduk terbagi atas sub- kelompok kinerja kesehatan, pendidikan, keamanan dan pendapatan masyarakat. Kinerja Kesehatan Salah satu komponen pokok yang berkaitan langsung dengan kualitas sumber daya manusia sekaligus juga terkait dengan tingkat kesejahteraan adalah derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sehat akan memiliki kualitas sumber daya manusia yang lebih baik dan mampu hidup secara lebih produktif. Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan selalu diupayakan peningkatannya melalui peningkatan kesehatan penduduk. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia WHO tahun 1948 disepakati antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya. Dalam konteks penilaian terhadap kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi ini menggunakan dua indikator kesehatan. Pertama, rasio kepala keluarga terhadap Pos Pelayanan Keluarga Berencana–Kesehatan Terpadu Posyandu dan yang kedua adalah rasio bidan per 1000 penduduk. Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Posyandu merupakan kegiatan swadaya dari masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab kepala desa. Pelayanan kesehatan terpadu yandu adalah bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan, RW, dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu Posyandu. Persyaratan pembentukan Posyandu 1. Penduduk RW tersebut paling sedikit terdapat 100 orang balita 2. Terdiri dari 120 kepala keluarga 3. Disesuaikan dengan kemampuan petugas bidan desa 4. Jarak antara kelompok rumah, jumlah KK dalam satu tempat atau kelompok tidak terlalu jauh 5. Pembentukan Posyandu sebaiknya tidak terlalu dekat dengan Puskesmas agar pendekatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lebih tercapai. Posyandu terutama untuk melayani balita imunisasi, timbang berat badan dan orang lanjut usia Posyandu Lansia, dan lahir melalui suatu Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI Mendagri, Menteri Kesehatan Menkes RI, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN dan Ketua Tim Penggerak TP Pembinaan Kesejahteraan Keluarga PKK dan dicanangkan pada sekitar tahun 1986. Legitimasi keberadaan Posyandu ini diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya kembali Kelompok Kerja Operasional POKJANAL Posyandu di semua tingkatan administrasi pemerintahan. Rata-rata rasio KK per Posyandu di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi adalah 254, sedangkan pada desa-desa non transmigrasi adalah sebesar 305. Angka yang lebih rendah menunjukkan jumlah Posyandu di desa-desa eks transmigrasi lebih banyak dibandingkan desa-desa non-transmigrasi berdasarkan rasionya terhadap jumlah KK. Hal ini terutama terlihat pada Kabupaten Batanghari, Bungo, Merangin, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Barat. Dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peranan tenaga kesehatan di tingkat desa utamanya bidan sangat penting pada daerah-daerah yang sulit mengakses fasilitas kesehatan maupun sebagai penolong pertama dalam penanganan kesehatan sebelum pemberian penanganan pada tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Selain itu, keberadaan bidan juga menjadi penting sebagai upaya peningkatan pola hidup sehat dalam masyarakat di perdesaan. Terkait dengan tenaga bidan ini dapat dikemukakan bahwa rata-rata rasio bidan per 1000 penduduk di desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 0,61, dalam artian untuk setiap 1000 penduduk terdapat 0,61 bidan. Secara umum, jumlah bidan ini juga relatif lebih banyak pada desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi. Rasio bidan per 1000 penduduk pada desa-desa non-transmigrasi adalah sebesar 0,59. Tabel 25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 No KabupatenKota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi Posyandu Bidan Posyandu Bidan 1 Batanghari 249 0.84 259 0.64 2 Bungo 250 0.44 350 0.58 3 Merangin 224 0.54 281 0.81 4 Muaro Jambi 230 0.69 316 0.76 5 Sarolangun 272 0.38 232 0.66 6 Tanjung Jabung Barat 235 0.79 339 0.39 7 Tanjung Jabung Timur 255 0.75 248 0.76 8 Tebo 326 0.64 292 0.58 9 Kerinci - - 364 0.38 10 Kota Jambi - - 264 0.49 Provinsi Jambi 254 0.61 305 0.59 Sumber: PODES 2008 Fasilitas dan tenaga kesehatan merupakan faktor input yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menilai derajat kesehatan penduduk di suatu daerah. Dengan kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih pada desa-desa eks transmigrasi maka dapat dikemukakan bahwa derajat kesehatan penduduk di desa-desa eks transmigrasi juga relatif lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi. Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan sumber daya manusia dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, kualitas pendidikan yang lebih baik memiliki keterkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dalam jumlah yang relatif cukup dan memadai. Terkait dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa 84,36 persen desa-desa eks transmigrasi telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Taman Kanak-Kanak TK, seluruh desa telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah Dasar SD, dan 67,04 persen telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP. Kondisi ketersediaan fasilitas pendidikan di desa-desa eks transmigrasi relatif lebih baik terutama jika dibandingkan dengan desa-desa non-transmigrasi. Di desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi, hanya kurang separuh 48,84 persen desa-desa yang memiliki fasilitas pendidikan TK, masih terdapat desa yang belum memiliki fasilitas SD 96,26 persen yang memiliki SD, dan hanya 38,61 persen yang memiliki SLTP. Lebih baiknya kondisi ketersediaan fasilitas pada semua jenjang pendidikan di desa-desa eks transmigrasi ini juga terlihat sama jika diperinci lebih lanjut berdasarkan kabupaten penempatan transmigran. Tidak satupun kabupaten penempatan di mana desa-desa non-transmigrasi yang menunjukkan kondisi keberadaan fasilitas pendidikan yang lebih baik jika dibandingkan dengan desa- desa eks transmigrasi baik pada jenjang pendidikan TK, SD maupun SLTP. Dengan kata lain, kondisi ini paling tidak juga sekaligus mencerminkan relatif lebih rendahnya kualitas sumber daya manusia sekaligus kesejahteraan masyarakat di desa-desa non- transmigrasi dibandingkan desa-desa eks transmigrasi. Secara terperinci gambaran keberadaan fasilitas pendidikan ini diberikan pada Tabel 26 dan Gambar 11 berikut: Tabel 26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 No KabupatenKota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi TK SD SLTP TK SD SLTP 1 Batanghari 92.31 100.00 76.92 42.00 100.00 40.00 2 Bungo 81.48 100.00 55.56 30.77 98.29 35.04 3 Merangin 93.10 100.00 75.86 57.82 97.96 36.05 4 Muaro Jambi 89.29 100.00 64.29 51.43 99.05 44.76 5 Sarolangun 94.12 100.00 82.35 70.18 99.12 41.23 6 Tanjung Jabung Barat 73.68 100.00 47.37 42.86 100.00 67.35 7 Tanjung Jabung Timur 47.62 100.00 57.14 30.56 100.00 47.22 8 Tebo 100.00 100.00 80.00 43.75 100.00 45.00 9 Kerinci - - - 44.96 87.77 22.66 10 Kota Jambi - - - 79.03 98.39 64.52 Provinsi Jambi 84.36 100.00 67.04 48.84 96.26 38.61 Sumber: PODES 2008 Gambar 12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 TK SD SLTP Sarana Pendidikan P e r se n ta se D e sa Eks transmigrasi Non transmigrasi Kualitas Perumahan Berdasarkan indikator kualitas perumahan, terlihat bahwa kondisi desa-desa eks transmigrasi secara umum lebih baik dibandingkan desa non- transmigrasi. Rata-rata persentase rumah permanen pada desa eks transmigrasi sebesar 34,93 persen sedangkan pada desa-desa non- transmigrasi adalah sebesar 32,56 persen. Selain itu, jika diamati berdasarkan daerah penempatan transmigran, dari delapan daerah hanya pada tiga daerah kondisi perumahan desa-desa non- transmigrasi relatif lebih baik yaitu di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat. Tabel 27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 No KabupatenKota Desa eks transmigrasi Desa non-transmigrasi 1 Batanghari 23.44 24.59 2 Bungo 51.15 47.67 3 Merangin 49.74 31.54 4 Muaro Jambi 16.91 17.01 5 Sarolangun 33.86 29.83 6 Tanjung Jabung Barat 18.01 30.35 7 Tanjung Jabung Timur 16.48 15.88 8 Tebo 55.43 38.12 9 Kerinci - 38.09 10 Kota Jambi - 67.48 Provinsi Jambi 34.93 32.56 Sumber: PODES 2008 Pendapatan Masyarakat Dalam pengukuran kinerja pendapatan masyarakat digunakan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial PPLS yang dilaksanakan oleh BPS. Pendataan tersebut dilaksanakan dalam rangka penyusunan database untuk semua program anti kemiskinan dengan menggunakan satuan rumah tangga sebagai basis pengukuran. Adapun kriteria rumah tangga sasaran yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal, kurang dari 8 M 2 . 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanahbamburumbia kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bamburumbiakayu berkualitas rendah. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besarbersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumurmata air tidak terlindungisungai air tanah. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakararangminyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi dagingsusuayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu pasang pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan satudua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmaspoliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 100.000,- perbulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolahtidak tamat SDhanya SD. 14. Tidak memiliki tabunganbarang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti : sepeda motor kreditnon kredit, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Rumah tangga sasaran dalam PPLS dikategorikan atas tiga kelompok yaitu hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Terkait dengan hal tersebut, untuk penyusunan indikator kinerja desa-desa eks transmigrasi hanya digunakan rumah tangga dengan kriteria miskin dan sangat miskin. Berdasarkan PPLS tersebut, rata-rata persentase rumah tangga miskin di desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 6,55 persen. Angka ini jauh lebih kecil hampir separuh jika dibandingkan dengan rata-rata persentase rumah tangga miskin desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi yang mencapai 12,08 persen.