Gambar 30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-
spasial. .
Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada eks unit permukiman transmigrasi; PDS =
Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS; WPD = Wilayah Pengembangan Desa
= Desa utama atau Pusat kawasan satu dalam satu kawasan
Unit-unit desa pada masing-masing SKP saling berinteraksi secara sosial- fungsional-spasial. Pengembangan interaksi secara sosial dilakukan melalui
pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat khususnya dalam konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi fungsional dilakukan
melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terkait secara fungsional antardesa. Pengembangan interaksi spasial dilakukan melalui
pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa. SKP
SKP
PDS 300-500 KK
PDS 300-500 KK
PDS 300-500 KK
SKP
SPPTB 300-500 KK
SPPTB 300-500 KK
SPPTB 300-500 KK
WPD
9000 KK 36000 jiwa
PTA 300-500KK
Sisipan 300-500KK
PDS 300-500KK
SPPTB 300-500KK
SPPTB 300-500KK
PDS 300-500KK
Pentingnya pengembangan
modal sosial,
infrastruktur, fasilitas,
kelembagaan dan keterkaitan fisik ini menjadi penting dalam kerangka peningkatan interaksi antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnnya. Hal ini
didasarkan dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa keseluruhan faktor tersebut di atas menjadi faktor penyebab utama rendahnya interaksi penduduk di
desa transmigrasi dengan desa sekitarnya. Selanjutnya pada masing-masing SKP terdapat satu lokasi yang menjadi
desa utama atau pusat kawasan. Pusat kawasan dapat dirancang untuk ditempatkan pada desa-desa setempat, desa eks transmigrasi, desa sisipan maupun
permukiman transmigrasi baru PTB. Dengan kata lain, pusat kawasan tidak hanya harus ditempatkan pada desa-desa transmigrasi.
Pusat kawasan yang ada pada suatu SKP juga memiliki keterkaitan dengan pusat kawasan pada SKP yang lain baik secara sosial-fungsional-spasial.
Gabungan dari beberapa SKP membentuk Wilayah Pengembangan Desa WPD dan gabungan dari beberapa WPD akan membentuk Wilayah Pengembangan
Parsial WPP. Kerangka perencanaan dan penetapan WPD dan WPP harus diletakkan dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh
karenanya pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang tidak ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang sudah ada.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas pertanian.
Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa- desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan
perkembangan desa secara umum. Perkembangan aktivitas non pertanian, baik pada sektor sekunder industri
maupun sektor tersier jasa tidak identik dengan kemunduran aktivitas pertanian. Fakta dari penelitian ini menemukan bahwa berkembangnya
aktivitas pertanian semakin mendorong berkembangnya aktivitas non pertanian, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan masyarakat
perdesaan. Berkembangnya industri-industri di perdesaan merupakan faktor penting
untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri perdesaan selain meningkatkan permintaan dan harga jual produk-produk
pertanian juga mampu meningkatkan produktivitas pertanian melalui penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Selanjutnya,
bersamaan dengan berkembangnya industri juga akan berkembang aktivitas- aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukung
tumbuhnya aktivitas industri. Terkait dengan aktivitas non-pertanian ini, selain peningkatan dalam jumlah
unit usaha industri, perdagangan dan jasa, bersamaan dengan peningkatan stadia perkembangan desa juga terjadi pergeseran dalam aktivitas non-
pertanian tersebut. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk. 2. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak lokasi
permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana-prasarana terutama sarana
jalan, komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran dari proses seleksi transmigran, lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor
kinerja makro wilayah kabupaten. Desa-desa yang berjarak relatif jauh dari pusat kegiatan ekonomi dalam hal
ini ibu kota kabupaten serta memiliki kualitas jalan yang kurang memadai cenderung memiliki perkembangan yang lebih lambat berada pada stadia
rendah. Ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi transmigrasi dengan tingkat keterkaitan yang kuat dengan pusat pertumbuhankegiatan yang secara umum
digambarkan oleh jarak yang relatif dekat dan memiliki tingkat kemudahan aksesibilitas tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang yang lebih
besar untuk mencapai perkembangan yang tinggi. Komoditi tanaman utama yang dikembangkan di desa juga menunjukkan
pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa dengan komoditi tanaman pangan cenderung memiliki perkembangan yang lambat dibandingkan
tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit. Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman
pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan dibandingkan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit. Ini menyebabkan
tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman pangan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan desa-desa dengan
komoditi tanaman perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan tingkat perawatan sistem pengairan khususnya pada tanaman padi serta
banyaknya lokasi desa-desa tanaman pangan yang dilanda banjir sebagian desa-desa ini berada di dataran rendah.
Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan
proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan.
Semakin lama transmigrasn di lokasi, maka semakin besar proses penyesuaian diri yang dilakukannya.
Berdasarkan daerah asal terlihat bahwa kinerja transmigran dari Jawa Tengah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Hal ini terlihat dari kenyataan