Analisis Faktor Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa Non- Transmigrasi

Tabel 42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Peubah Komponen 1 2 3 BIDAN -.682 -.268 .079 SD -.709 -.028 -.349 RUMAH .730 .160 -.006 BABINSA .599 .179 .310 LAHAN .203 .195 .915 IP .043 .777 .242 INP .379 .755 .034 PD .159 .733 .014 Pemilihan Surrogate Variable Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah pengganti ini adalah peubah asli. Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi dengan jumlah peubah yang lebih sedikit. Selanjutnya, berdasarkan hasil dari structure matrix sebelumnya, maka terpilih surrogate variable yaitu persentase rumah permanen sebagai wakil dari indikator kesejahteraan, industri pertanian sebagai wakil dari aktivitas non-pertanian dan persentase lahan tani sebagai wakil dari indikator aktivitas pertanian. Penyeragaman Dimensi Peubah yang digunakan dalam hal ini surrogate variable hasil analisis sebelumnya, adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda. Untuk menyeragamkan dimensi pengukuran dilakukan dengan Min-Max Method, dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Pembobotan dan Agregasi Pembobotan dilakukan dalam rangka mendapatkan besaran proporsi untuk masing-masing peubah dalam penetapan indikator komposit. Pembobotan masing- masing peubah dengan membagi Explained Variance dari factor loading masing- masing faktor peubah dengan Total Explained Variance Pembobotan untuk masing-masing peubah diberikan sebagai berikut: Tabel 43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi Indikator Explained Variance Bobot Indikator Rumah 30.714 0.519 IP 16.899 0.286 Lahan 11.553 0.195 Total Explained Variance 59.166 Pembobotan terbesar adalah untuk indikator rumah yaitu sebesar 0,519 persen, diikuti oleh IP sebesar 0,286 persen dan lahan sebesar 0,195 persen. Berdasarkan pembobotan tersebut, selanjutnya didapatkan indeks komposit untuk masing-masing desa dapat dilihat pada Lampiran 8. Indeks komposit yang terbentuk memiliki nilai maksimum 0,86 dari nilai tertinggi 1 dan nilai minimum 0,05 dari nilai terendah 0. Rentang antara nilai maksimum dengan minimum adalah sebesar 0,81 dengan rata-rata indeks sebesar 0,42 dan standar deviasi 0,18. Relatif jauhnya jarak antara nilai maksimum dan minimum menunjukkan terdapatnya perbedaan yang sangat mencolok dalam hal perkembangan antardesa eks transmigrasi di Provinsi Jambi. Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa, selanjutnya dilakukan diseminasi dalam kerangka mengelompokkan desa atas stadia perkembangannya. Perkembangan desa dikelompokkan atas empat hierarki. Pengelompokan atas empat stadia ini menggunakan asumsi yang didasarkan hipotesis stadia pengembangan kawasan transmigrasi yang dikemukan Rustiadi 2009, khususnya pada stadia setelah masa pembinaan pemukiman transmigrasi. Pengelompokkan pada empat stadia menggunakan metode K-Mean Cluster. Hasil pengelompokkan tersebut diberikan pada Tabel 44 berikut. Tabel 44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi No Stadia Desa Indeks Komposit Jumlah Desa Persentase 1 Stadia I 0.05 – 0.29 54 31.40 2 Stadia II 0.30 – 0.45 51 29.65 3 Stadia III 0.46 – 0.63 44 25.58 4 Stadia IV 0.64 – 0.86 23 13.37 Total 172 100.00 Dari Tabel 44 terlihat bahwa 31,40 persen desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi berada pada stadia I, 29,65 persen pada stadia II, 25,58 persen pada stadia III dan 13,37 persen pada stadia IV. Selanjutnya, stadia desa-desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten penempatan diberikan pada Tabel 45 berikut. Tabel 45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten Kabupaten Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Jumlah Batanghari 5 6 1 1 13 38.46 46.15 7.69 7.69 100.00 Bungo 1 8 11 4 24 4.17 33.33 45.83 16.67 100.00 Merangin 1 8 12 7 28 3.57 28.57 42.86 25.00 100.00 Muaro Jambi 18 6 2 26 69.23 23.08 7.69 0.00 100.00 Sarolangun 3 9 4 1 17 17.65 52.94 23.53 5.88 100.00 Tanjung Jabung Barat 13 4 1 1 19 68.42 21.05 5.26 5.26 100.00 Tanjung Jabung Timur 8 8 4 20 40.00 40.00 20.00 0.00 100.00 Tebo 5 2 9 9 25 20.00 8.00 36.00 36.00 100.00 Provinsi Jambi 54 51 44 23 172 31.40 29.65 25.58 13.37 100.00 Pencapaian stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi relatif beragam antarkabupaten dalam Provinsi Jambi. Dari delapan kabupaten, enam diantaranya memiliki desa-desa eks transmigrasi dengan capaian stadia IV yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Merangin, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Sebaliknya tidak satupun desa-desa eks transmigrasi di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur yang mencapai stadia IV.

6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa

Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia desa serta untuk mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah sebanyak delapan peubah yang lolos uji pada analisis faktor sebelumnya. Pemasukan peubah dalam fungsi diskriminan menggunakan metode stepwise. Mahalanobis distances yang digunakan dalam prosedur stepwise ditujukan untuk menentukan peubah yang memiliki kekuatan terbesar dalam mendiskriminasi. Prosedur stepwise dimulai dengan memasukkan peubah yang akan memaksimumkan Mahalanobis distance antarkelompok. Dalam hal ini minimum significant value sebesar 0,05 digunakan sebagai syarat memasukkan peubah dan Mahalanobis D2 digunakan untuk memilih peubah. Prosedur stepwise tersebut diberikan pada Tabel 46 berikut: Tabel 46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan Tahap Toleransi Sig. of F to Remove Min. D Squared Antar kelompok 1 Rumah 1.000 .000 2 Rumah .711 .000 .009 Stadia II dan Stadia III IP .711 .000 .845 Stadia III dan Stadia IV 3 Rumah .588 .000 .123 Stadia II dan Stadia III IP .599 .000 1.083 Stadia III dan Stadia IV Lahan .795 .000 2.491 Stadia III dan Stadia IV Dari Tabel 46 terlihat bahwa pada tahap pertama, nilai maksimum Mahalanobis D2 adalah pada peubah RUMAH, sedangkan pada tahap kedua pada peubah IP dan pada tahap ketiga pada peubah LAHAN. Dengan kata lain, hasil stepwise menunjukkan ada tiga peubah yang signifikan yang mampu membedakan stadia yaitu RUMAH, IP dan LAHAN. Ketiga peubah ini sesuai dengan surrogate variable yang terpilih pada tahapan analisis faktor sebelumnya. Berdasarkan angka Wilk’s Lambda, proses pemasukkan ketiga peubah tersebut diberikan pada Tabel 47. Wilk’s Lambda pada prinsipnya adalah varians total dalam diskriminan yang tidak bisa dijelaskan oleh perbedaan diantara kelompok yang ada. Pada tahap 1 dengan hanya menggunakan persentase rumah permanen, menghasilkan nilai Lambda sebesar 0,228. Ini berarti bahwa 22,8 persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar stadia. Pada tahap 2 dengan menambahkan peubah rasio industri pertanian, angka Wilks’ Lambda turun menjadi 0,146 dan pada tahap ketiga dengan memasukkan peubah persentase lahan pertanian, angka Wilks Lambda menjadi 0,120. Dengan kata lain, hanya 12,0 persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antarstadia. Dari kolom F dan signifikansinya terlihat bahwa baik pada pemasukan peubah Rumah, IP dan kemudian LAHAN, semuanya adalah signifikan secara statistik. Hal ini berarti ketiga peubah tersebut memang berbeda untuk keempat kategori stadia. Tabel 47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda Tahap Jumlah peubah Lambda df1 df2 df3 Exact F Approximate F Statistic df1 df2 Sig 1 1 .228 1 3 168 189.685 3 168 .000 2 2 .146 2 3 168 90.237 6 334 .000 3 3 .120 3 3 168 62.269 9 404 .000 Dengan menggunakan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriminan yang terbentuk adalah sebagai berikut: Tabel 48 Canonical discriminant function coefficients Peubah Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 3 RUMAH 1.038 -.094 -.071 LAHAN -.501 -.689 .822 IP 1.189 1.045 .626 Konstanta -5.762 .884 -2.229 Selanjutnya berdasarkan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriman memiliki tingkat kebenaran klasifikasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 90,1 persen. Stadia I mampu diklasifikasi secara benar sebesar 90,1 persen, stadia II sebesar 86,3 persen, stadia III sebesar 90,9 persen dan stadia IV sebesar 95,7 persen. Tabel 49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa Stadia Prediksi kelompok Total Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Frek. Stadia I 49 5 54 Stadia II 3 44 4 51 Stadia III 1 40 3 44 Stadia IV 1 22 23 Stadia I 90.7 9.3 .0 .0 100.0 Stadia II 5.9 86.3 7.8 .0 100.0 Stadia III .0 2.3 90.9 6.8 100.0 Stadia IV .0 .0 4.3 95.7 100.0 Keterangan: 90,1 kasus dikelompokkan secara tepat.

6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya

Berdasarkan kelompok indikator-indikator kesejahteraan yang terdiri dari sub-indikator kesehatan, pendidikan, pendapatan, dan keamanan, aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian, secara umum dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi stadia desa maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan dan semakin tinggi aktivitas pertanian dan non-pertanian. Profil stadia yang dianalisis berdasarkan peubah-peubah dalam analisis faktor sebelumnya serta beberapa peubah pendukung lainnya diberikan pada Tabel 50. Mengacu pada peubah- peubah yang signifikan secara linear, terlihat bahwa peningkatan stadia diikuti dengan kecenderungan penurunan pelayanan kesehatan dasar tetapi diikuti oleh peningkatan pelayanan kesehatan menengah dan tinggi. Rasio bidan per 1000 penduduk menunjukkan penurunan dan rasio KK per Posyandu menunjukkan peningkatan yang berarti juga terdapat penurunan jumlah Posyandu per KK. Sebaliknya untuk pelayanan-pelayanan kesehatan tingkat menengah dan tinggi menunjukkan peningkatan. Persentase desa dengan ketersediaan praktek dokter mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, juga dapat dikemukakan bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung memiliki jarak ke fasilitas-fasilitas kesehatan rumah sakit, rumah sakit bersalin dan poliklinik yang relatif lebih dekat. Hal yang sama juga terlihat dari aspek pendidikan. dan persentase desa dengan ketersediaan fasilitas SLTA cenderung mengalami peningkatan ber- samaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, ketersediaan lembaga-lembaga pen- didikan keterampilan bahasa asing, komputer, montir, tata busana, kecantikan dan lainnya juga cenderung lebih banyak di desa dengan stadia yang lebih tinggi. Sebagai catatan, rasio SD per seribu penduduk cenderung menurun signifikan bersamaan dengan peningkatan stadia tetapi bukan menunjukkan kekurangan jumlah SD pada desa-desa stadia tinggi, tetapi lebih menunjukkan tingkat optimalisasi penggunaan sekolah. Selanjutnya untuk rasio SLTP per seribu penduduk tidak menunjukkan kecenderungan yang signifikan. Sebagai faktor input, tingkat ketersediaanaksesibilitas sarana kesehatan dan pendidikan menunjukkan derajat kesehatan dan pendidikan penduduk. Dengan kata lain, derajat kesehatan dan pendidikan penduduk di desa-desa stadia tinggi lebih baik dibandingkan stadia rendah. Tabel 50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi INDIKATOR Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV Sig. KESEJAHTERAAN Kesehatan Rasio bidan per 1000 penduduk 0.74 0.58 0.50 0.43 .000 a Rasio KK per posyandu 224.31 248.33 277.85 308.14 .002 a Persentase ketersediaan praktek dokter 9.26 11.76 22.73 30.43 .009 b Jarak terdekat ke Rumah Sakit Km 55.11 47.29 38.52 39.98 .002 a Jarak terdekat ke RS Bersalin Km 57.42 55.31 46.52 39.81 .009 a Jarak terdekat ke Poliklinik Km 49.36 47.50 41.56 28.68 .016 a Pendidikan Rasio SD per 1000 penduduk 1.31 1.15 1.01 0.77 .000 a Rasio SMP per 1000 penduduk 0.32 0.37 0.31 0.31 .707 a ketersediaan SLTA 14.81 39.22 36.36 60.87 .000 b ketersediaan lembaga keterampilan 1.89 13.73 15.00 26.67 .005 b Kualitas Perumahan Persentase Rumah Permanen 8.18 25.63 58.07 76.20 .000 a Pendapatan Persentase rumah tangga miskin 6.41 8.45 6.21 3.77 .140 a Keamanan Rasio hansip per 1000 penduduk 5.98 6.41 6.90 8.59 .014 a AKTIVITAS PERTANIAN Keluarga Pertanian 85.85 88.92 86.61 85.98 .993 a Persentase Lahan Pertanian 83.53 87.31 86.01 90.27 .041 a AKTIVITAS NON-PERTANIAN Rasio Industri Pertanian per 1000 Penduduk 1.10 2.29 1.97 3.15 .000 a Rasio Industri Non-pertanian per 1000 Penduduk 2.38 2.66 3.78 4.84 .001 a Rasio Perdagangan per 1000 Penduduk 20.39 21.05 23.56 27.84 .002 a Rasio Jasa per 1000 Penduduk 12.85 12.92 13.55 16.74 .150 a Sumber : PODES 2008 dan Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: a Uji Linearitas ANOVA b Uji Linearitas Chi-Square Dari sisi kualitas perumahan terlihat bahwa terdapat kecenderungan peningkatan persentase rumah permanen bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini berarti bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung memiliki kualitas perumahan yang lebih baik dibandingkan desa-desa stadia yang rendah. Dari sisi pendapatan yang dicerminkan oleh persentase rumah tangga miskin terlihat bahwa desa-desa stadia tertinggi stadia IV memiliki persentase rumah tangga miskin yang lebih kecil dibandingkan desa stadia di bawahnya. Meskipun demikian, pola linearitasnya tidak signifikan terutama terlihat antara desa stadia I sampai stadia III. Selanjutnya untuk indikator keamanan, terlihat bahwa rasio Hansip per 1000 penduduk cenderung mengalami peningkatan. Ketersediaan Hansip sebagai tenaga pengamanan umumnya berasal dari swadaya masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian masyarakat akan kebutuhan keamanan semakin tinggi bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu juga, ketersediaan tenaga hansip ini juga sekaligus dapat menjadi gambaran dari kondisi modal sosial dalam masyarakat. Dalam hal indikator aktivitas pertanian, meskipun persentase keluarga pertanian tidak menunjukkan pola linear yang signifikan, tetapi persentase lahan pertanian cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini menunjukkan juga bahwa aktivitas pertanian relatif tinggi pada stadia-stadia yang lebih tinggi. Untuk aktivitas non-pertanian dapat dikemukakan bahwa terlihat kecenderungan peningkatan rasio industri pertanian dan industri non-pertanian, perdagangan bersamaan dengan peningkatan stadia meskipun rasio jasa menunjukkan pola linear yang sama tetapi secara statistik tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa desa-desa dengan stadia yang lebih tinggi selain memiliki aktivitas pertanian tinggi juga memiliki aktivitas non-pertanian yang semakin tinggi. Dengan kata lain, untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat perdesaan, peningkatan aktivitas non-pertanian harus diikuti juga dengan peningkatan aktivitas pertanian. Hasil penelitian ini juga mempertegas pernyataan Rustiadi 2011 bahwa struktur perekonomian perdesaan secara perlahan namun pasti akan terus bergeser ke sektor-sektor hilir sekunder dan tersier dicirikan semakin dominannya pekerja perdesaan yang pekerjaan utamanya di sektor off-farm dan semakin banyaknya petani yang juga memiliki pekerjaan off-farm. Tetapi, meskipun terus terjadi diversifikasi hulu-hilir, sistem ekonomi perdesaan akan tetap dicirikan oleh sistem produksi atau industri yang berbasis sumber daya lokal agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam. Hasil ini juga menunjukkan bahwa meskipun asumsi awal menyatakan bahwa perkembangan aktivitas non pertanian tumbuh sebagai akibat berkembangnya aktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi proses ini juga dapat dilakukan arah yang berlawanan yaitu dengan mendorong perkembangan aktivitas non-pertanian, yang diharapkan akan dapat mendorong berkembangnya aktivitas pertanian, dan sekaligus pendapatan masyarakat. Selain itu, berkembangnya aktivitas non-pertanian diharapkan juga dapat menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian sehingga dapat meningkatkan produktivitas per tenaga kerja di bidang pertanian yang pada tahap selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk. Senada dengan hal tersebut, Utomo 2005 mengemukakan agar kawasan transmigrasi mampu berkembang dengan baik serta sekaligus mampu memacu pertumbuhan wilayah, selain meningkatkan produktivitas pertanian juga perlu dikembangkan pusat-pusat agroindustriindustri perdesaan. Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam kerangka penciptaan kesempatan kerja dan menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian merupakan kondisi yang diperlukan necessary condition untuk terjadinya pembangunan ekonomi. Menurut Freshwater 2000 pembangunan ekonomi berkelanjutan tidak akan mungkin tanpa tersedianya peluang kerja yang memadai. Derajat kohesi sosial masyarakat mungkin meningkat. Mereka mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan lokalnya dan mereka mungkin mampu mengembangkan infrastruktur fisik dan tingkat sumber daya manusianya, tetapi jika tidak terdapat peluang kerja, maka masyarakat tidak akan mampu bertahan. Dalam jangka pendek, transfer payment dari pemerintah kepada pendapatan masyarakat akan dapat membantu keberadaan ekonomi lokal, tetapi tanpa adanya basis ekonomi yang kuat dalam