Era Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang

menjadi 31 juta jiwa dari kondisi pada Tahun 1952 yang sebanyak 54 juta jiwa Heeren 1979. Namun demikian, mengingat sulitnya pencapaian target tersebut, maka dilakukan revisi target transmigran secara lebih realistis. Selama lima tahun, antara Tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara Tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun. Menurut Wijst 1985, target-target ambisius tersebut tidak mampu dicapai karena meningkatnya anggaran untuk memberangkatkan transmigran. Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya Baru. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada zaman Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar. Pada zaman orde lama, transmigrasi dikategorikan dalam sistem transmigrasi umum, transmigrasi khusus, transmigrasi sedaerah, dan transmigrasi spontan. Transmigrasi Umum adalah transmigrasi dari daerah-daerah tingkat I yang padat ke daerah tingkat I yang lain dan diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam sistem ini segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian. Transmigrasi khusus adalah transmigrasi dari daerah tingkat I ke daerah tingkat I yang lain, yang diselenggarakan oleh Daerah Otonom yang bersangkutan. Transmigrasi sedaerah adalah transmigrasi dalam wilayah satu daerah tingkat I yang diselenggarakan oleh daerah tersebut. Transmigrasi spontan adalah transmigrasi atas usaha dan biaya sendiri dari yang bersangkutan. Selain jenis-jenis transmigrasi sebagaimana yang diatur dalam perundang- undangan tersebut, dalam pelaksanaannya pada orde lama ini juga terdapat jenis transmigrasi lainnya sebagaimana yang dikemukakan Handayani 1994 yaitu transmigrasi keluarga dan transmigrasi biaya sendiri. Transmigrasi Keluarga merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di Pulau Jawa bertransmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak berjalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi Biaya Sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri. Di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Transmigrasi biaya sendiri ini sedikit berbeda dengan transmigrasi spontan, karena mereka tidak harus mengurus sendiri keberangkatannya tetapi diatur oleh pemerintah. Selama periode orde lama telah diberangkatkan sebanyak 98.631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 234.802 orang. Penempatan transmigran pada periode ini dilakukan pada 176 UPT Kemenakertrans 2012.

2.6.3 Masa Orde Baru

Penyelenggaraan transmigrasi pada masa orde baru diatur melalui Undang- Undang No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut tujuan transmigrasi adalah untuk: a peningkatan taraf hidup; b pembangunan daerah; c keseimbangan penyebaran penduduk; d pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; e pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; f kesatuan dan persatuan bangsa; dan g memperkuat pertahanan dan keamanan nasional. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Daerah transmigran lama seperti Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali menerima transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar 25 persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua. Pada periode ini dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi spontan. Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos-ongkos semua ditanggung peserta. Sementara pada transmigrasi umum, semua ongkos ditanggung pemerintah, dan di lokasi memperoleh lahan seluas dua hektar, rumah, dan alat- alat pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk daerah tegalan, dan 8 bulan pertama untuk daerah pesawahan. Jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan pada orde baru sebanyak 6.708.526 orang atau sekitar 1.827.099 keluarga Kemenakertrans 2012.

2.6.4 Masa Reformasi atau Otonomi Daerah

Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi, terus meningkat, namun tetap tidak bisa mengimbangi pertambahan jumlah penduduk di Pulau Jawa. Ini disebabkan fertilitas di Pulau Jawa jauh melebihi angka penduduk yang dapat dipindahkan ke luar Pulau Jawa Setiawan 1997. Hal tersebut kemudian memunculkan paradigma baru transmigrasi seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dengan perubahannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk: 1 meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; 2 peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah; dan 3 memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun sasarannya adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian, dan mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Dengan ketiga tujuan tersebut, transmigrasi diharapkan dapat memecahkan permasalahan demografi dan sosial, ekonomi, serta politik sekaligus Soegiharto 2008. Program transmigrasi tidak semata-mata ditujukan pada penyeimbangan persebaran penduduk. Program ini juga diselenggarakan sebagai pendekatan untuk pencapaian tujuan sosial. Transmigrasi diarahkan untuk membagikan lahan kepada para petani tunakisma, meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Transmigrasi juga diarahkan pada tujuan pembangunan daerah baik daerah asal maupun daerah tujuan. Di daerah asal, penyelenggaraan transmigrasi