Desa Bukit Mas Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian

Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di desa ini adalah tanaman karet Transmigrasi Umum Pola Perkebunan. Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di desanya. Desa Rimbo Mulyo berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1981. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 6080 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 1660 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang lebih dari tiga kali lipat 3,32 kali dibandingkan dengan jumlah KK penempatan. Di bidang pendidikan, di daerah ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SLTP, sedangkan untuk SLTA terdekat berjarak sekitar 6 km dari desa. Selanjutnya, di bidang kesehatan, di daerah ini terdapat sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan posyandu. Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi pertanian, kelompok pertokoan, koperasi, dan warungtoko di sekitar permukiman penduduk. Di desa ini belum tersedia pasar permanen ataupun non-permanen. 7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 7.2.1 Karakteristik Kepala Keluarga Perilaku dan keputusan-keputusan yang diambil keluarga pada dasarnya merupakan hasil interaksi pribadi-pribadi yang ada dalam keluarga. Meskipun demikian, dalam satu keluarga, peranan kepala keluarga sangat besar dalam menentukan perilaku dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Karenanya dapat dipahami bahwa karakteristik kepala keluarga dapat mempengaruhi pola hidup keluarganya, yang kemudian juga dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka. Berdasarkan hal tersebut, untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi sosial ekonomi penduduk pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, berikut ini diberikan karakteristik kepala keluarga sebagai berikut: Daerah Asal Menurut daerah asal, sebagian besar kepala keluarga berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Dari total sampel, 61,48 persen adalah kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY, diikuti oleh kepala keluarga yang berasal dari Provinsi Jambi 22,54 persen. Sisanya adalah mereka yang berasal dari Jawa Barat 6,56 persen, Jawa Timur 5,33 persen dan daerah-daerah lainnya 4,10 persen seperti Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Dominasi kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY ini pada dasarnya sesuai dengan karakteristik awal daerah asal penempatan transmigran di Provinsi Jambi umumnya dan khususnya pada keenam desa sampel penelitian. Selanjutnya, secara terperinci gambaran daerah asal kepala keluarga pada masing-masing desa diberikan pada Tabel 66 berikut: Tabel 66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Provinsi asal Stadia rendah Stadia I Stadia tinggi Stadia III dan IV Rata- rata Mekar Sari Bukit Mas Sungkai Rata- rata Rasau Bandar Jaya Rimbo Mulyo Rata- rata Jawa Barat 10.53 10.53 0.00 8.45 15.79 7.69 0.00 5.78 6.56 Jawa Tengah 47.37 36.84 64.29 47.89 60.53 55.77 77.11 67.05 61.48 Jawa Timur 0.00 10.53 14.29 5.63 0.00 9.62 4.82 5.20 5.33 Jambi 42.11 26.32 21.43 33.80 15.79 23.08 15.66 17.92 22.54 Lainnya 0.00 15.79 0.00 4.23 7.89 3.85 2.41 4.05 4.10 N sampel 38 52 19 71 38 14 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Dikaitkan dengan pencapaian stadia dapat dikemukakan bahwa desa-desa dengan stadia tinggi Bandar Jaya, Rasau dan Rimbo Mulyo cenderung memiliki transmigran lokal asal Jambi yang lebih sedikit dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah Mekar Sari, Bukit Mas dan Sungkai. Secara total ketiga desa stadia tinggi tersebut memiliki proporsi transmigran lokal hanya 17,92 persen sedangkan pada desa stadia rendah mencapai 33,81 persen. Ini menunjukkan bahwa proses transfer teknologi dan budaya kerja dari transmigran asal Jawa pada transmigran lokal transmigran asal Jambi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga desa-desa dengan lebih banyak transmigran asal Jambi cenderung tertahan pada stadia yang rendah. Selain itu, penelitian lapangan menunjukkan bahwa banyak transmigran lokal transmigran asal Jambi ketika sudah mulai berhasil, tidak lagi bertempat tinggal di lokasi transmigran Umumnya mereka pindah ke ibukota kabupatenprovinsi dan menyerahkan pengelolaan lahannya pada buruh tani. Status Ketransmigrasian Berdasarkan status ketransmigrasian kepala keluarga yang dibedakan atas generasi pertama transmigran awal dengan generasi kedua anak-anak transmigran ataupun penduduk pendatang non transmigran, dapat dikemukakan bahwa hanya kurang separuh 40,16 persen dari kepala keluarga pada desa-desa eks-transmigrasi yang merupakan generasi pertama. Sebagian besar lainnya 59,89 persen merupakan generasi kedua atau penduduk non-transmigran. Kondisi ini disebabkan sudah relatif lamanya penempatan transmigran pada desa-desa sampel yang mencapai rata-rata 30 Tahun, sehingga banyak transmigran awal yang sudah meninggal. Selain itu, terdapat juga transmigran awal yang kembali ke daerah asal baik karena ketidakmampuan menghadapi kondisi di daerah transmigrasi maupun mereka yang berhasil dan kemudian kembali ke daerah asal untuk berinvestasi. Status ketransmigrasian kepala keluarga di desa-desa eks transmigrasi diberikan pada Tabel 67 berikut: Tabel 67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Status transmigrasi Stadia rendah Stadia I Stadia tinggi Stadia III dan IV Rata- rata Mekar Sari Bukit Mas Sungkai Rata- rata Rasau Bandar Jaya Rimbo Mulyo Rata- rata Generasi Pertama 57.89 68.42 57.14 60.56 31.58 34.62 30.12 31.79 40.16 Generasi Kedua 42.11 31.58 42.86 39.44 68.42 65.38 69.88 68.21 59.84 N sampel 38 19 14 71 38 52 83 173 244 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Selanjutnya, jika dilihat secara lebih terperinci, desa-desa dengan stadia tinggi umumnya ditempati oleh generasi keduapendatang non-transmigran, dengan proporsi mencapai 68,21 persen. Ketiga desa yang tergolong stadia tinggi ini memang merupakan desa dengan penempatan yang paling lama dibandingkan desa-desa sampel lainnya. Penempatan transmigran di Bandar Jaya dimulai pada Tahun 1970, di Rimbo Mulyo Tahun 1976 dan Desa Rasau Tahun 1979.