Indikator Perkembangan Desa Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di Provinsi Jambi)

skor total peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. Berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, beberapa upaya telah dilakukan oleh BPS di antaranya melakukan penghitungan desa tertinggal. Dalam menentukan desa tertinggal pada tahun 1993, BPS menggunakan 33 peubah. Sementara pada tahun 1994 untuk pelaksanaan proram Inpres Desa Tertinggal IDT tahun 19951996, BPS menggunakan 17 peubah untuk perkotaan dan 18 peubah untuk perdesaan. Indikator tersebut disusun berdasarkan metode skor. Pada tahun 2005, BPS kembali melakukan penentuan desa-desa tertinggal dengan membuat indeks komposit ketertinggalan desa berdasarkan pada data Potensi Desa Sensus Pertanian Podes-ST 2003. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada tahun 2005 BPS menggunakan dua sumber data yaitu Podes- ST 2003 dan Survai Sosial Ekonomi Nasional Susenas 2002, dengan menggunakan 45 peubah. Penentuan desa tertinggal tahun 2005 menggunakan indikator pengeluaran per kapita penduduk desa yaitu pengeluaran per kapita penduduk desa yang berada di bawah garis kemiskinan. Namun, ukuran kemiskinan yang didasarkan pada indikator moneter pendapatanpengeluaran tidak menggambarkan kemiskinan sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi moneter dapat dikategorikan miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antardaerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia. Desa tertinggal berkaitan dengan beberapa faktor di antaranya: faktor alam, faktor saranaprasarana dan akses, dan faktor sosial-ekonomi BPS 2005. Di antara faktor satu dengan faktor lainnya saling berhubungan. Disamping itu faktor-faktor tersebut seringkali tidak dapat diukur secara langsung, sehingga dibutuhkan metode yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal diberikan pada Tabel 7 berikut: Tabel 7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal No Indikator Satuan Ekonomi 1 Jumlah penduduk pertengahan tahun Orang 2 Jumlah keluarga KK 3 Jumlah keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I KK 4 Jumlah penduduk miskin Ribu org 5 PDRB Milyar Rp 6 Persentase penduduk miskin 7 Persentase ke dalaman kemiskinan 8 IKK indeks Sumber daya Manusia 9 Jumlah Angkatan Kerja Orang 10 Jumlah penduduk menganggur Orang 11 Persentase jumlah penduduk menganggur 12 Jumlah desa desa 13 Angka Harapan Hidup indeks 14 Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan km 15 Jumlah puskesmas Buah 16 Jumlah puskesmas pembantu Buah 17 Jumlah poliklinik desa Buah 18 Jumlah desa yang jarak fasilitas kesehatan 5 km Desa 19 Jumlah desa yang jarak fasilitas pendidikan 3 km Desa 20 Angka melek huruf 21 Angka melek huruf 15 - 24 22 Angka melek huruf 15 - 55 Infrastruktur Sosial Dasar, Transportasi dan Ekonomi 23 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan aspalbeton desa 24 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan diperkeras desa 25 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan tanah desa 26 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan lainnya desa 27 Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan yang dapat dilalui mobil desa 28 Persentase keluarga pengguna listrik 29 Persentase keluarga pengguna telepon 30 Jumlah Bank Umum Buah 31 Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Buah 32 Jumlah desa yang mempunyai pasar dengan bangunan permanen desa 33 Jumlah desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan permanen desa 34 Jumlah desa yang jarak fasilitas pasar 3 km desa 35 Jumlah prasarana kesehatan per 1000 penduduk buah 36 Jumlah dokter per 1000 penduduk orang 37 Jumlah SD dan SMP per 1000 penduduk buah Keuangan Daerah 38 Celah fiskal Juta Rp 39 Pendapatan Asli Daerah Juta Rp Tabel 7 Lanjutan No Indikator Satuan Aksesibilitas 40 Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan km 41 Rata-rata jarak bagi desakelurahan tanpa SD dan SMP km 42 Rata-rata jarak dari kantor desakelurahan ke kantor kabupaten yg membawahi km 43 Waktu tempuh ke pusat pelayanan pemerintah menit Karakteristik Daerah 44 Persentase Desa Gempa Bumi 45 Persentase Desa Tanah Longsor 46 Persentase desa banjir 47 Persentase desa di kawasan lindung 48 Persentase desa berlahan kritis 49 Persentase desa konflik dalam satu tahun terakhir 50 Daerah pesisir Sumber: BPS 2005 Terkait dengan daerah perkotaan, secara eksplisit BPS telah menetapkan tiga kriteria utama dalam menetapkan suatu daerah sebagai daerah perkotaan yaitu Tribudhi dan Said 2001 : 1. Kegiatan utama bukan pertanian, rumah tangga pertanian 25 2. Kepadatan penduduk 5000 jiwakm 2 3. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas, yaitu: a. SD dan sederajat b. SLTP dan sederajat c. SLTA dan sederajat d. Gedung Bioskop e. Rumah Sakit f. Rumah Sakit Bersalin g. PuskesmasKlinikBalai Pengobatan h. Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat i. Pesawat telponKantor PosKantor Pos Pembantu j. Pasar dengan bangunan k. Kelompok pertokoan pusat perdagangan l. Bank m. Pabrik n. RestoranRumah Makan o. Listrik Umum PLNNon PLN p. Usaha penyewaan alat-alat keperluan pesta dll Selanjutnya, dalam konteks menggambarkan potensi desa, BPS juga telah melaksanakan pendataan desa-desa di Indonesia. Berdasarkan pendataan potensi desakelurahan pada Tahun 2008, indikator-indikator yang digunakan adalah sebagai berikut: I. Penduduk dan Ketenagakerjaan 1. Penduduk dan Keluarga a. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin b. Jumlah keluarga c. Persentase keluarga pertanian d. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani 2. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk 3. Jumlah penduduk yang sedang bekerja sebagai TKI di luar negeri II. Perumahan dan Lingkungan Hidup 1. Jumlah keluarga pengguna listrik 2. Penerangan jalan utama desakelurahan 3. Bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar keluarga untuk memasak 4. Tempat membuang sampah penduduk 5. Tempat buang air besar keluarga 6. Penggunaan air sungai 7. Jumlah keluarga yang tinggal di bantaran sungai 8. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi 9. Jumlah pemukiman kumuh 10. Pencemaran lingkungan hidup setahun terakhir 11. Pembakaran ladangkebun setahun terakhir 12. Adatidaknya lokasi penggalian golongan C di desakelurahan III. Bencana Alama dan Penanganan Bencana 1. Bencana alam dalam tiga tahun terakhir yang menyebabkan kerugiankerusakan 2. Asal dan jenis bantuan penanganan bencana 3. Upaya yang dilakukantelah tersedia di desakelurahan untuk mengantisipasi bencana alam 4. Sumber bantuan untuk mengantisipasi bencana alam IV. Pendidikan dan Kesehatan 1. Jumlah lembaga pendidikan menurut jenjang 2. Jumlah lembaga pendidikan keterampilan menurut jenis 3. Pemberantasan buta aksara fungsional dalam tiga tahun terakhir 4. Jumlah sarana kesehatan menurut jenis 5. Kegiatan posyandu setahun terakhir 6. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desakelurahan 7. Wabah penyakit selama setahun terakhir 8. Jumlah penderita gizi buruk dalam tiga tahun terakhir 9. Jumlah keluarga menerima kartu ASKESKIN dalam setahun terakhir 10. Jumlah surat miskinSKTM yang dikeluarkan desa dalam setahun terakhir 11. Pengetahuan tentang desa siaga 12. Sumber air minummasak V. Sosial Budaya 1. Agamakepercayaan yang dianut oleh penduduk desakelurahan 2. Mayoritas pemeluk agamakepercayaan di desakelurahan 3. Jumlah tempat ibadah menurut jenis 4. Jenis lembagaorganisasi kemasyarakat yang ada di desakelurahan 5. Jumlah penyandang cacat menurut jenis 6. Ada atau tidaknya penduduk desakelurahan yang berjudi 7. Sukuetnis mayoritas penduduk desakelurahan VI. Hiburan dan Olahraga 1. Adatidak gedung bioskop dan jarak terdekatnya 2. Adatidaknya pubdiskotiktempat karaoker dan jarak terdekatnya 3. Ada atau tidaknya lapangan olahraga serta kelompok kegiatannya menurut jenis VII. Angkutan, Komunikasi dan Informasi 1. Sarana dan prasarana transportasi antar desakelurahan 2. Jarak, waktu tempuh dan jenis angkutan umum yang digunakan penduduk untuk mencapai ibukota kecamatan, ibukota kabupatenkota dan ibukota kabupatenkota lain terdekat 3. Jumlah keluarga yang berlangganan telepon kabel 4. Adatidaknya telepon umum koinkartu yang masih aktif 5. Adatidaknya wartelkiosponwarpostelwarparpostel 6. Adatidaknya warung internet 7. Adatidaknya kantor pos dan jarak terdekat 8. Adatidaknya pos keliling 9. Jenis program TV yang dapat diterima di desakelurahan 10. Adatidaklemahkuatnya sinyal telepon genggam di desakelurahan VIII. Penggunaan Lahan 1. Struktur penggunaan lahan 2. Perubahankonversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dalam tiga tahun terakhir IX. Ekonomi 1. Jumlah kios sarana produksi pertanian 2. Jumlah industri kecil menurut jenis 3. Adatidaknya kelompok pertokoan dan jarak terdekat 4. Adatidaknya pasar dengan bangunan permanensemi permanen dan jarak terdekat 5. Jumlah unit pasar tanpa bangunan 6. Jumlah unit mini market 7. Jumlah unit restoranrumah makan 8. Jumlah unit warungkedai makananminuman 9. Jumlah unit tokowarung kelontong 10. Jumlah unit hotel 11. Jumlah unit penginapan 12. Jumlah koperasi menurut jenisnya 13. Jumlah fasilitas perkreditan yang diterima penduduk setahun terakhir menurut jenisnya X. Keamanan 1. Jumlah dan jenis perkelahian massal yang terjadi selama setahun terakhir 2. Penyelesaian dan inisiator penyelesaian perkelahian massal tersebut 3. Jenis kejahatan yang terjadi setahun terakhir 4. Adatidaknya agen yang beroperasi mencari TKS 5. Adatidaknya lokalisasi prostitusi 6. Jenis upaya warga menjaga keamanan selama setahun terakhir 7. Jenis sarana keamanan, jarak terdekat dan kemudahan akses mencapainya 8. Jumlah anggota hansiplinmas, Babinsa dan Polisi Pelayanan Masyarakat XI. Otonomi Desa dan Program Pengentasan Kemiskinan 1. Sumber keuangan desa dan penggunaannya 2. Jenis programkegiatan penanggulangan kemiskinan dalam tiga tahun terakhir

2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia

Sejarah transmigrasi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa masa pemerintahan dan kekuasaan, mulai dari masa pemerintah kolonial Belanda sampai pada era reformasi atau otonomi daerah. Masing-masingnya memiliki tujuan, arah kebijakan dan paradigma ketransmigrasian yang berbeda.

2.6.1 Era Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang

Pada era pemerintah kolonial Belanda, transmigrasi dikenal dengan istilah kolonisasi. Diawali pada Tahun 1905 dengan dipindahkannya penduduk dari Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung Ramadhan et al. 1993. Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh: 1 Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah; 2 Pemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun; dan 3 Kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa. Penyelenggaraan kolonisasi dapat dibagi atas tiga periode Yudohusodo 1997. Pertama, periode kolonisasi dengan bantuan pemerintah 1905 – 1911. Pada periode ini, setiap kepala keluarga mendapatkan uang premi sebesar 20 Gulden, biaya transportasi ditanggung pemerintah diperkirakan sebesar 50 Gulden per keluarga dan sumbangan biaya hidup sebesar 0,4 Gulden per hari selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung diperkirakan 300 gulden per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, pembelian alat-alat 13,5 gulden, ditambah 0,7 hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan Dixon 1980 Kedua , periode Bank Rakyat Lampung, The Lampongsche Volksbank 1911–1928. Pada periode ini Pemerintah Hindia Belanda hanya mensubsidi biaya transportasi sebesar 22,5 Gulden. Selanjutnya untuk kebutuhan hidup dan modal usaha tani, kolonis mendapat pinzaman dari Bank Rakyat Lampung sebesar 200 Gulden dengan bunga 9 persen per tahun, dengan cicilan selama 10 tahun dan grace period 3 tahun. Pada tahun 1927, Bank Rakyat Lampung mengalami kebangkrutan, sehingga tidak mampu membiayai pinzaman para kolonis. Bank tersebut dilikuidasi dan program kolonisasi dengan kredit bank dihentikan. Ketiga , periode bawon 1923–1942. Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia, sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya mengubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan sistem bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran daerah kolonisasi baru tidak jauh dari kolonisasi lama. Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemu- kiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu sistem bawon di Pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10. Pada ketiga periode tersebut, Pemerintah kolonial Belanda hanya mampu memindahkan penduduk Pulau Jawa sebanyak 60.155 KK atau 232.802 jiwa Kemenakertrans 2012. Namun demikian, jika dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan peserta kolonisasi, tingkat kehidupannya lebih baik dibandingkan saat berada di daerah asal Dixon 1980. Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang 1942 – 1945 pemindahan penduduk dari Pulau Jawa bertujuan hanya untuk kepentingan pembangunan prasarana militer secara kerja paksa dengan istilah Romusha Keyfiz dan Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh 1982. Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk Pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang.

2.6.2 Masa Orde Lama

Setelah kemerdekaan, istilah kolonisasi kemudian diubah menjadi transmigrasi Djojoprapto 1995. Pelaksanaan transmigrasi pada masa orde lama diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaran Transmigrasi dan perubahannya melalui PP No. 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Tujuan transmigrasi pada masa orde lama adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah padat penduduk, membuka sumber-sumber alam, meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, serta meningkatkan keamanan dan ketahanan bangsa. Pelaksanaan transmigrasi pada orde lama dimulai Tahun 1948 ketika pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi. Namun pemberangkatan transmigran baru dilaksanakan bulan Desember 1950. Pelaksanaannya ditangani Jawatan Transmigrasi di bawah Kementerian Sosial. Baru Tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Departemen Transmigrasi dan Koperasi Heeren 1979. Pada zaman orde lama Pra Pelita Tahun 1950 – 1968 ditetapkan target pemindahan penduduk yang dikenal dengan “Rencana 35 Tahun Tambunan”. Targetnya adalah pada Tahun 1987 jumlah penduduk Pulau Jawa berkurang menjadi 31 juta jiwa dari kondisi pada Tahun 1952 yang sebanyak 54 juta jiwa Heeren 1979. Namun demikian, mengingat sulitnya pencapaian target tersebut, maka dilakukan revisi target transmigran secara lebih realistis. Selama lima tahun, antara Tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara Tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun. Menurut Wijst 1985, target-target ambisius tersebut tidak mampu dicapai karena meningkatnya anggaran untuk memberangkatkan transmigran. Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya Baru. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada zaman Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar. Pada zaman orde lama, transmigrasi dikategorikan dalam sistem transmigrasi umum, transmigrasi khusus, transmigrasi sedaerah, dan transmigrasi spontan. Transmigrasi Umum adalah transmigrasi dari daerah-daerah tingkat I yang padat ke daerah tingkat I yang lain dan diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam sistem ini segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian. Transmigrasi khusus adalah transmigrasi dari daerah tingkat I ke daerah tingkat I yang lain, yang diselenggarakan oleh Daerah Otonom yang bersangkutan. Transmigrasi sedaerah adalah transmigrasi dalam wilayah satu daerah tingkat I yang diselenggarakan oleh daerah tersebut. Transmigrasi spontan adalah transmigrasi atas usaha dan biaya sendiri dari yang bersangkutan. Selain jenis-jenis transmigrasi sebagaimana yang diatur dalam perundang- undangan tersebut, dalam pelaksanaannya pada orde lama ini juga terdapat jenis transmigrasi lainnya sebagaimana yang dikemukakan Handayani 1994 yaitu transmigrasi keluarga dan transmigrasi biaya sendiri. Transmigrasi Keluarga