Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa
dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1 migrasi ke
daerah baru; 2 pembangunan pertanian; 3 industrialisasi perdesaan; 4 pendekatan kebutuhan dasar; 5 pembangunan perdesaan terpadu; 6 strategi pusat
pertumbuhan dan 7 pendekatan agropolitan. Selanjutnya menurut Jamal 2009 secara sederhana terdapat tiga kutub
pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pendekatan pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan
masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan
sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan trans- formasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masya-
rakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali
struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap- menyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan
berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan
industri. Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang
homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan
perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis,
serta menjadi alat pemerintah dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba
menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan.
Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari
masyarakat. Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk
mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1 pendekatan kawasan perdesaan
yang mempunyai komoditas unggulan dalam satuan wilayah ekonomi; 2 mengintervensi desa melalui pengembangan infrastruktur pertanian secara terpadu
penyediaan saprotan, kelembagaan ekonomi, pendampingan; 3 kegiatan membangun kawasan perdesaan menjadi kota-kota pertanian Wibowo et al. 2006.
Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut beberapa program pembangunan yang telah dilaksanakan di antaranya adalah:
a. Program Bimas dan Inmas, Insus, Supra Insus dan Kredit Usaha Tani KUT. Merupakan program yang dirancang dalam konteks percepatan pemenuhan
kebutuhan pokok swasembada pangan sekaligus membangun infrastruktur pertanian sebagai titik awal modernisasi pertanian dan kawasan perdesaan.
b. Program Unit Desa Karya Pembangunan UDKP. Dalam sistem ini, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan
dilaksanakan di wilayah kecamatan. c. Program Inpres Desa Tertinggal IDT. Suatu program yang dirancang untuk
mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan yang sekaligus sebagai upaya mengembangkan modal sosial melalui kelompok-kelompok usaha sebagai pilar
utama kemajuan desa. d. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dalam kerangka mewujudkan
keterkaitan desa-kota telah dikembangkan berbagai program dengan mengintroduksi sistem agribisnis dan rancang wilayah perdesaan menjadi pusat
kegiatankawasan produksi yang bernuansa perkotaan melalui pengembangan Kawasan Sentra Produksi KSP dan Kawasan Agropolitan.
e. Program Pengembangan Kecamatan PPK. Merupakan kelanjutan program IDT untuk menanggulangi kemiskinan.
Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek.
Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan fisik dan non fisik, ekonomi dan non
ekonomi, sosbud dan non spasial. Menurut Esman dan Uphoff 1988, terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1 yang berbasis pertanian; 2 yang
berbasis multisektor; 3 yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4
yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Mosher 1974 mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1 desa harus
mempunyai kota-kota pasar market town; 2 perlu dibangun jalan-jalan perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran
informasi dan jasa; 3 di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal local verification trials untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan
keadaan setempat; 4 harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru
tersebut; dan 5 tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan pemasaran hasil.
Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi 1976
mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1 mengembangkan kelembagaan-
kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa
dalam sistem perekonomiannya, 2 mendorong perkembangan sektor-sektor non- pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian.
Siagian 1995 mengemukakan untuk mengembangkan masyarakat desa harus dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu 1 memenuhi kebutuhan dasar
basic need approach; 2 mengembangkan inspirasi dan partisipasi masyarakat bottom up approach; 3 menggerakkan dan menghidupkan aktivitas ekonomi
rakyat property approach; 4 membangun organisasi dan kelembagaan yang dikelola oleh masyarakat sendiri participation approach; 5 menyediakan
teknologi tepat guna appropriate approach serta 6 membangun integrasi desa- kota rural-urban linkage community development. Sejalan dengan hal tersebut,
Sumodiningrat 1996 menyatakan paling tidak harus terdapat tiga aspek yang perlu mendapat perhatian dalam membangun masyarakat perdesaan yaitu 1
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang; 2 memperkuat potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki
oleh masyarakat pendidikan, modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar serta 3 pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat.
Selanjutnya Prabowo 1995 mengemukakan bahwa diperlukan adanya diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian
tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat perdesaan
yang dapat
menjadi landasan
bagi pertumbuhan
yang berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch 2000 juga mengemukakan bahwa
dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat
produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal
ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian produksi tetapi juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan.
Sebagai suatu proses untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa depan yang lebih baik, pembangunan meliputi upaya untuk memperbaiki
keberdayaan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek untuk mengenali permasalahan dan ikut dalam perencanaan program akan menghasilkan kemandirian yang tinggi
Sajogyo 1982. Menurut Surjadi 1995, pembangunan masyarakat desa adalah sebagai
suatu proses di mana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan
mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan
pertumbuhan dan peningkatan jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat
mempengaruhi perkembangan aspek mental, fisik, intelegensia kecerdasan dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Dalam perspektif tersebut, Horton dan
Hunt 1982 mengemukakan pembangunan masyarakat perdesaan diartikan sebagai pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern.
Terkait dengan pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa ini, Jamal 2009 mengemukakan seharusnya pendekatan yang digunakan tergantung pada
homogenitas kebutuhan individu serta ragam keperluan bagi kebersamaan masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan
komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang dige-
rakkan. Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan
partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Pendekatan-pendekatan tersebut diberikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas
Keperluan kebersamaan
Tingkat perkembangan kebutuhan Individu Homogen
Mulai heterogen
Sangat heterogen
Kebersamaan masyarakat untuk mendukung inisiatif pemerintah
Kebersamaan masyarakat sebagai partner pemerintah dalam pembangunan
Kebersamaan masyarakat sebagai penggerak utama pembangunan
perdesaan Pendekatan
komando Pendekatan
komando Pendekatan semi
partisipatif Pendekatan
komando Pendekatan
semi partisipatif Pendekatan
semi partisipatif Pendekatan
semi partisipatif
Pendekatan partisipatif
Pendekatan partisipatif
Sumber: Jamal 2009
Dari berbagai perspektif pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa dan masyarakat perdesaan tidak hanya semata-mata pada
produksi atau usaha taninya saja. Pertanian harus dikembangkan dalam konteks pengembangan agribisnis secara utuh yang melibatkan berbagai infrastruktur
penunjang, sistem ekonomi, sosial dan kelembagaan serta memiliki keterkaitan secara sektoral maupun regional.
Didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu
atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi agroindustri, pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan
penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha
yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian Downey Steven 1987; Saragih 2010.
Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: 1 subsistem produksi on-farm; 2 subsistem pengolahan agroindustri hulu dan
hilir off-farm; 3 subsistem pemasaranperdagangan off-fram; dan 4 subsistem lembaga penunjang off-farm. Keempat subsistem ini mempunyai
kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis.
Subsistem usahatani atau produksi adalah penggerak utama agribisnis. Jika subsistem produksi usahatani dikembangkan atau dimodernisasi, maka akan
timbul kaitan ke belakang backward linkages berupa peningkatan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang
pelaku lainnya
perorangan atau
perusahaan untuk
menangani pemasaranperdagangan input produksi usahatani. Keberhasilan dalam
menangani pemasaranperdagangan input produksi ini, akan sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan
lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku. Produk pertanian tergantung pada musim, menyita banyak ruangan untuk
menyimpannya dan tidak tahan lama. Oleh karenanya perlu diolah menjadi produk yang dapat disimpan. Pengolahan produk disebabkan juga oleh permintaan
konsumen yang semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan bila pendapatan mereka meningkat. Jadi modernisasi sektor produksi
usahatani akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian. Berpijak dari pemahaman bahwa pembangunan perdesaan dilakukan
melalui pengembangan sistem agribisnis, maka dapat digeneralisir faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis sekaligus sebagai faktor
yang mempengaruhi pembangunan perdesaan dan masyarakat desa berikut:
Kelembagaan
Secara definisi, Uphoff 1992 dan Fowler 1992 mengartikan kelembagaan sebagai “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some
socially valued purpose ”. Makna kelembagaan lebih mengandung aspek “isi”,
tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya Lauer 1982, diacu dalam Pranadji 2002.
Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat Pranoto 2005.
Dalam konteks yang berbeda, Saptana et al. 2004 mengemukakan penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan
yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam
menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi
tekanan dari luar di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara.
Kelembagaan lokal dapat dirinci dalam enam kategori, yaitu: administrasi lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas
setempat, organisasi kerja sama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis swasta Uphoff 1986. Senada dengan hal tersebut, Saptana et al. 2004
mengemukakan dalam kehidupan masyarakat perdesaan, terdapat tiga lembaga penopang, yaitu kelembagaan komunitas lokal communal institutions atau
tradisional, kelembagaan pasar private sector karena keterbukaan dengan ekonomi luar, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan
di tingkat publik public sector. Dalam konteks kelembagaan ini, telah dikembangkan pemikiran yang
terkenal dengan istilah Induced Innovation Model Ruttan Hayami 1984; Hayami dan Kikuchi 1986. Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan
antara empat faktor , yaitu: 1 resource endowment, 2 cultural endowment, 3 technology
, dan 4 institutions. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan pencapaian pertumbuhan produktivitas secara kontinu merupakan suatu dinamika
proses adjustment kepada kekayaan sumber daya alam dan kepada akumulasi sumber daya. Proses tersebut juga melibatkan respon adaptif sebagai bagian dari
respon sosial, politik, kelembagaan ekonomi dalam upaya untuk merealisasikan potensi pertumbuhan yang dibuka oleh inovasi teknologi baru. Selain itu,
terjadinya
perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-bentuk
yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan pada dasarnya didorong oleh faktor-faktor ekonomi termasuk di dalamnya yang dimiliki masyarakat perdesaan
seperti penyediaan dalam teknologi dan sumber daya.
Oleh karenanya, mengacu pada hal tersebut maka dalam pengembangan kelembagaan di perdesaan haruslah
mempertimbangkan keterkaitan ke empat hal pokok di atas.
Infrastruktur
Pengertian infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup
seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Infrastruktur memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Berbagai studi
telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan infrastruktur dengan pengembangan wilayah. Peran penting infrastruktur tersebut
dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai input
dalam proses produksi. Khususnya infrastruktur jaringan jalan, dalam pembangunan perdesaan
dikembangkan keluar dalam fungsinya sebagai penghubung ke pusat kegiatan yang lebih tinggi forward linkage untuk keperluan pemasaran maupun akses
terhadap sumber daya eksternal serta pemenuhan kebutuhan kawasan. Sedangkan jaringan di dalam kawasan harus dapat memfasilitasi kebutuhan pergerakan antar
sub-kawasan untuk kebutuhan pengumpulan dan penyaluran produksi hasil pertanian dan perkebunan yang ada backward linkage.
Kualitas Sumber daya Manusia
Akselerasi pembangunan desa adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan di desa lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat
segera dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi
cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di desa. Salah satu unsur penting dalam suksesnya suatu pembangunan adalah adanya kualitas sumber daya
manusia yang berkompeten. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat desa dalam pembangunan filosofinya adalah masyarakat desa menjadi subjek
pembangunan dan bukan menjadi obyek pembangunan itu sendiri.
Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan. Dalam Human Capital Theory dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin
tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong
tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia memegang peranan penting dalam sukses atau tidaknya suatu
pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, juga berfungsi untuk menyiapkan masyarakat desa dalam menghadapi
perubahan yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pembangunan di desa tersebut. Hal ini sangat penting, mengingat adanya pembangunan akan
berpotensi atau dapat menyebabkan terjadinya perombakan sosial-kultural dalam masyarakat. Jika masyarakat tidak siap, pembangunan justru dapat menyebabkan
terjadinya proses yang tidak terkendali, misalnya meningkatnya budaya konsumtif di masyarakat.