Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa

dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1 migrasi ke daerah baru; 2 pembangunan pertanian; 3 industrialisasi perdesaan; 4 pendekatan kebutuhan dasar; 5 pembangunan perdesaan terpadu; 6 strategi pusat pertumbuhan dan 7 pendekatan agropolitan. Selanjutnya menurut Jamal 2009 secara sederhana terdapat tiga kutub pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pendekatan pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan trans- formasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masya- rakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap- menyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan industri. Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis, serta menjadi alat pemerintah dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan. Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari masyarakat. Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1 pendekatan kawasan perdesaan yang mempunyai komoditas unggulan dalam satuan wilayah ekonomi; 2 mengintervensi desa melalui pengembangan infrastruktur pertanian secara terpadu penyediaan saprotan, kelembagaan ekonomi, pendampingan; 3 kegiatan membangun kawasan perdesaan menjadi kota-kota pertanian Wibowo et al. 2006. Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut beberapa program pembangunan yang telah dilaksanakan di antaranya adalah: a. Program Bimas dan Inmas, Insus, Supra Insus dan Kredit Usaha Tani KUT. Merupakan program yang dirancang dalam konteks percepatan pemenuhan kebutuhan pokok swasembada pangan sekaligus membangun infrastruktur pertanian sebagai titik awal modernisasi pertanian dan kawasan perdesaan. b. Program Unit Desa Karya Pembangunan UDKP. Dalam sistem ini, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan dilaksanakan di wilayah kecamatan. c. Program Inpres Desa Tertinggal IDT. Suatu program yang dirancang untuk mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan yang sekaligus sebagai upaya mengembangkan modal sosial melalui kelompok-kelompok usaha sebagai pilar utama kemajuan desa. d. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dalam kerangka mewujudkan keterkaitan desa-kota telah dikembangkan berbagai program dengan mengintroduksi sistem agribisnis dan rancang wilayah perdesaan menjadi pusat kegiatankawasan produksi yang bernuansa perkotaan melalui pengembangan Kawasan Sentra Produksi KSP dan Kawasan Agropolitan. e. Program Pengembangan Kecamatan PPK. Merupakan kelanjutan program IDT untuk menanggulangi kemiskinan. Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek. Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial. Menurut Esman dan Uphoff 1988, terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1 yang berbasis pertanian; 2 yang berbasis multisektor; 3 yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4 yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Mosher 1974 mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1 desa harus mempunyai kota-kota pasar market town; 2 perlu dibangun jalan-jalan perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran informasi dan jasa; 3 di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal local verification trials untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan keadaan setempat; 4 harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru tersebut; dan 5 tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan pemasaran hasil. Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi 1976 mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1 mengembangkan kelembagaan- kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa dalam sistem perekonomiannya, 2 mendorong perkembangan sektor-sektor non- pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Siagian 1995 mengemukakan untuk mengembangkan masyarakat desa harus dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu 1 memenuhi kebutuhan dasar basic need approach; 2 mengembangkan inspirasi dan partisipasi masyarakat bottom up approach; 3 menggerakkan dan menghidupkan aktivitas ekonomi rakyat property approach; 4 membangun organisasi dan kelembagaan yang dikelola oleh masyarakat sendiri participation approach; 5 menyediakan teknologi tepat guna appropriate approach serta 6 membangun integrasi desa- kota rural-urban linkage community development. Sejalan dengan hal tersebut, Sumodiningrat 1996 menyatakan paling tidak harus terdapat tiga aspek yang perlu mendapat perhatian dalam membangun masyarakat perdesaan yaitu 1 menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang; 2 memperkuat potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat pendidikan, modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar serta 3 pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat. Selanjutnya Prabowo 1995 mengemukakan bahwa diperlukan adanya diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat perdesaan yang dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan yang berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch 2000 juga mengemukakan bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian produksi tetapi juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan. Sebagai suatu proses untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa depan yang lebih baik, pembangunan meliputi upaya untuk memperbaiki keberdayaan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan. Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek untuk mengenali permasalahan dan ikut dalam perencanaan program akan menghasilkan kemandirian yang tinggi Sajogyo 1982. Menurut Surjadi 1995, pembangunan masyarakat desa adalah sebagai suatu proses di mana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental, fisik, intelegensia kecerdasan dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Dalam perspektif tersebut, Horton dan Hunt 1982 mengemukakan pembangunan masyarakat perdesaan diartikan sebagai pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern. Terkait dengan pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa ini, Jamal 2009 mengemukakan seharusnya pendekatan yang digunakan tergantung pada homogenitas kebutuhan individu serta ragam keperluan bagi kebersamaan masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang dige- rakkan. Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Pendekatan-pendekatan tersebut diberikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas Keperluan kebersamaan Tingkat perkembangan kebutuhan Individu Homogen Mulai heterogen Sangat heterogen Kebersamaan masyarakat untuk mendukung inisiatif pemerintah Kebersamaan masyarakat sebagai partner pemerintah dalam pembangunan Kebersamaan masyarakat sebagai penggerak utama pembangunan perdesaan Pendekatan komando Pendekatan komando Pendekatan semi partisipatif Pendekatan komando Pendekatan semi partisipatif Pendekatan semi partisipatif Pendekatan semi partisipatif Pendekatan partisipatif Pendekatan partisipatif Sumber: Jamal 2009 Dari berbagai perspektif pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa dan masyarakat perdesaan tidak hanya semata-mata pada produksi atau usaha taninya saja. Pertanian harus dikembangkan dalam konteks pengembangan agribisnis secara utuh yang melibatkan berbagai infrastruktur penunjang, sistem ekonomi, sosial dan kelembagaan serta memiliki keterkaitan secara sektoral maupun regional. Didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi agroindustri, pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian Downey Steven 1987; Saragih 2010. Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: 1 subsistem produksi on-farm; 2 subsistem pengolahan agroindustri hulu dan hilir off-farm; 3 subsistem pemasaranperdagangan off-fram; dan 4 subsistem lembaga penunjang off-farm. Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis. Subsistem usahatani atau produksi adalah penggerak utama agribisnis. Jika subsistem produksi usahatani dikembangkan atau dimodernisasi, maka akan timbul kaitan ke belakang backward linkages berupa peningkatan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang pelaku lainnya perorangan atau perusahaan untuk menangani pemasaranperdagangan input produksi usahatani. Keberhasilan dalam menangani pemasaranperdagangan input produksi ini, akan sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku. Produk pertanian tergantung pada musim, menyita banyak ruangan untuk menyimpannya dan tidak tahan lama. Oleh karenanya perlu diolah menjadi produk yang dapat disimpan. Pengolahan produk disebabkan juga oleh permintaan konsumen yang semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan bila pendapatan mereka meningkat. Jadi modernisasi sektor produksi usahatani akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian. Berpijak dari pemahaman bahwa pembangunan perdesaan dilakukan melalui pengembangan sistem agribisnis, maka dapat digeneralisir faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis sekaligus sebagai faktor yang mempengaruhi pembangunan perdesaan dan masyarakat desa berikut: Kelembagaan Secara definisi, Uphoff 1992 dan Fowler 1992 mengartikan kelembagaan sebagai “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some socially valued purpose ”. Makna kelembagaan lebih mengandung aspek “isi”, tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya Lauer 1982, diacu dalam Pranadji 2002. Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat Pranoto 2005. Dalam konteks yang berbeda, Saptana et al. 2004 mengemukakan penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara. Kelembagaan lokal dapat dirinci dalam enam kategori, yaitu: administrasi lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas setempat, organisasi kerja sama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis swasta Uphoff 1986. Senada dengan hal tersebut, Saptana et al. 2004 mengemukakan dalam kehidupan masyarakat perdesaan, terdapat tiga lembaga penopang, yaitu kelembagaan komunitas lokal communal institutions atau tradisional, kelembagaan pasar private sector karena keterbukaan dengan ekonomi luar, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik public sector. Dalam konteks kelembagaan ini, telah dikembangkan pemikiran yang terkenal dengan istilah Induced Innovation Model Ruttan Hayami 1984; Hayami dan Kikuchi 1986. Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan antara empat faktor , yaitu: 1 resource endowment, 2 cultural endowment, 3 technology , dan 4 institutions. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan pencapaian pertumbuhan produktivitas secara kontinu merupakan suatu dinamika proses adjustment kepada kekayaan sumber daya alam dan kepada akumulasi sumber daya. Proses tersebut juga melibatkan respon adaptif sebagai bagian dari respon sosial, politik, kelembagaan ekonomi dalam upaya untuk merealisasikan potensi pertumbuhan yang dibuka oleh inovasi teknologi baru. Selain itu, terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-bentuk yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan pada dasarnya didorong oleh faktor-faktor ekonomi termasuk di dalamnya yang dimiliki masyarakat perdesaan seperti penyediaan dalam teknologi dan sumber daya. Oleh karenanya, mengacu pada hal tersebut maka dalam pengembangan kelembagaan di perdesaan haruslah mempertimbangkan keterkaitan ke empat hal pokok di atas. Infrastruktur Pengertian infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Infrastruktur memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Berbagai studi telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan infrastruktur dengan pengembangan wilayah. Peran penting infrastruktur tersebut dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai input dalam proses produksi. Khususnya infrastruktur jaringan jalan, dalam pembangunan perdesaan dikembangkan keluar dalam fungsinya sebagai penghubung ke pusat kegiatan yang lebih tinggi forward linkage untuk keperluan pemasaran maupun akses terhadap sumber daya eksternal serta pemenuhan kebutuhan kawasan. Sedangkan jaringan di dalam kawasan harus dapat memfasilitasi kebutuhan pergerakan antar sub-kawasan untuk kebutuhan pengumpulan dan penyaluran produksi hasil pertanian dan perkebunan yang ada backward linkage. Kualitas Sumber daya Manusia Akselerasi pembangunan desa adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan di desa lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat segera dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di desa. Salah satu unsur penting dalam suksesnya suatu pembangunan adalah adanya kualitas sumber daya manusia yang berkompeten. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat desa dalam pembangunan filosofinya adalah masyarakat desa menjadi subjek pembangunan dan bukan menjadi obyek pembangunan itu sendiri. Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan. Dalam Human Capital Theory dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia memegang peranan penting dalam sukses atau tidaknya suatu pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, juga berfungsi untuk menyiapkan masyarakat desa dalam menghadapi perubahan yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pembangunan di desa tersebut. Hal ini sangat penting, mengingat adanya pembangunan akan berpotensi atau dapat menyebabkan terjadinya perombakan sosial-kultural dalam masyarakat. Jika masyarakat tidak siap, pembangunan justru dapat menyebabkan terjadinya proses yang tidak terkendali, misalnya meningkatnya budaya konsumtif di masyarakat.

2.5 Indikator Perkembangan Desa

Dalam rangka mengetahui gambaran potensi dan tingkat perkembangan desa dan kelurahan, Kementerian Dalam Negeri telah menyusun data profil desa dan kelurahan, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan. Dalam peraturan menteri tersebut dinyatakan bahwa tingkat perkembangan desa dan kelurahan yang mencerminkan keberhasilan pembangunan desa dan kelurahan setiap tahun dan setiap lima tahun diukur dari laju kecepatan perkembangan: a ekonomi masyarakat; b pendidikan masyarakat; c kesehatan masyarakat; d keamanan dan ketertiban; e kedaulatan politik masyarakat; f peranserta masyarakat dalam pembangunan; g lembaga kemasyarakatan; h kinerja pemerintahan desa dan kelurahan; dan i pembinaan dan pengawasan. Hasil evaluasi keberhasilan kegiatan pembangunan setiap tahun akan menentukan laju perkembangan desa dan kelurahan dalam kategori cepat berkembang, berkembang, lamban berkembang, dan kurang berkembang. 1 Kategori Cepat Berkembang, jika perolehan total skor pengukuran mencapai lebih dari 90 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. 2 Kategori Berkembang, jika total skor mencapai 60 persen sampai 90 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. 3 Kategori Lamban Berkembang, jika total skor mencapai 30 persen sampai 60 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. 4 Kategori Kurang Berkembang, jika total skor mencapai kurang dari 30 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. Hasil analisis laju perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap lima tahun dalam klasifikasi desa dan kelurahan swasembada, swakarya, dan swadaya. 1 Tingkat Perkembangan Swasembada, jika nilai total skor yang diperoleh mencapai lebih dari 80 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan setiap lima tahun. 2 Tingkat Perkembangan Swakarya, jika nilai total skor yang diperoleh mencapai 60 persen sampai 80 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan setiap lima tahun. 3 Tingkat Perkembangan Swadaya, jika nilai total skor yang diperoleh mencapai kurang dari 60 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan setiap lima tahun. Analisis terhadap klasifikasi tingkat perkembangan desa dan kelurahan swasembada, swakarya dan swadaya, menghasilkan klasifikasi status kemajuan desa dan kelurahan dalam kategori mula, madya dan lanjut. 1 Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Mula, apabila perolehan total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat kurang dari 90 persen dari total skor maksimal ketiga peubah selama lima tahun. 2 Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Madya sebagaimana, jika perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedalulatan politik masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun. 3 Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Lanjut apabila perolehan total skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. 4 Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Mula apabila perolehan total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat kurang dari 70 persen dari total skor maksimal ketiga peubah selama lima tahun. 5 Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Madya sebagaimana jika perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun. 6 Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Lanjut apabila perolehan total skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. 7 Klasifikasi status kemajuan Swadaya Kategori Mula apabila perolehan total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat kurang dari 50 persen dari skor maksimal ketiga peubah selama lima tahun. 8 Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Madya jika perolehan skor total keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik masyarakat, peranserta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun. 9 Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Lanjut apabila perolehan skor total peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. Berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, beberapa upaya telah dilakukan oleh BPS di antaranya melakukan penghitungan desa tertinggal. Dalam menentukan desa tertinggal pada tahun 1993, BPS menggunakan 33 peubah. Sementara pada tahun 1994 untuk pelaksanaan proram Inpres Desa Tertinggal IDT tahun 19951996, BPS menggunakan 17 peubah untuk perkotaan dan 18 peubah untuk perdesaan. Indikator tersebut disusun berdasarkan metode skor. Pada tahun 2005, BPS kembali melakukan penentuan desa-desa tertinggal dengan membuat indeks komposit ketertinggalan desa berdasarkan pada data Potensi Desa Sensus Pertanian Podes-ST 2003. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada tahun 2005 BPS menggunakan dua sumber data yaitu Podes- ST 2003 dan Survai Sosial Ekonomi Nasional Susenas 2002, dengan menggunakan 45 peubah. Penentuan desa tertinggal tahun 2005 menggunakan indikator pengeluaran per kapita penduduk desa yaitu pengeluaran per kapita penduduk desa yang berada di bawah garis kemiskinan. Namun, ukuran kemiskinan yang didasarkan pada indikator moneter pendapatanpengeluaran tidak menggambarkan kemiskinan sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi moneter dapat dikategorikan miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antardaerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia. Desa tertinggal berkaitan dengan beberapa faktor di antaranya: faktor alam, faktor saranaprasarana dan akses, dan faktor sosial-ekonomi BPS 2005. Di antara faktor satu dengan faktor lainnya saling berhubungan. Disamping itu faktor-faktor tersebut seringkali tidak dapat diukur secara langsung, sehingga dibutuhkan metode yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal diberikan pada Tabel 7 berikut: