Latar Belakang Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di Provinsi Jambi)
Gambar 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia.
Sumber: Kemenakertrans 2012.
Selain akibat mulai terbatasnya ketersediaan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif
daerah dalam membangun transmigrasi dengan alasan biaya Anharudin et al. 2008
, penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan adanya berbagai stigma negatif yang mengiringi keberhasilan program ini. Di antara stigma negatif
tersebut menurut Manuwiyoto 2008 adalah transmigrasi dicap sebagai program sentralistik, pemindahan kemiskinan, deforestasi, jawanisasi, dan pelanggaran hak
asasi manusia HAM. Fearnside 1997 mengemukakan bahwa transmigrasi telah menjadi penyebab utama dari berkurangnya hutan-hutan di Indonesia dan
aktivitas-aktivitas penyelenggaraan transmigrasi juga cenderung berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia. Sehubungan dengan tujuan redistribusi penduduk,
Wijst 1985 melalui kajiannya juga mengemukakan transmigrasi selama ini hampir tidak mempengaruhi distribusi penduduk Indonesia dan hanya di daerah
penerima tertentu efek transmigrasi cukup signifikan. Selain itu, dia juga meragukan peran transmigrasi yang berorientasi pertanian dapat berdampak pada
proses pembangunan daerah. Terkait dengan stigma negatif ini, Siswono 2003 juga mengemukakan
beberapa aspek yang menyebabkan terpuruknya citra program transmigrasi yang menyebabkan penolakan transmigrasi d i beberapa daerah. Di antaranya adalah:
50 100
150 200
250 300
350 400
450
Kolonisasi 1905-1942
Pra Pelita 1950-1968
Pelita I 6970-7374
Pelita II 7475-7879
Pelita III 7980-8384
Pelita IV 8485-8889
Pelita V 8990-9394
Pelita VI 9495-9899
2000-2004 2005-2009 2010-2011
Periode Penempatan
K K
a ta
u j
iw a
p e
r ta
h u
n
KK Jiwa
a terlalu berpihaknya pemerintah kepada transmigran dalam pemberdayaan dan pembinaan masyarakat d i unit permukiman transmigrasi UPT dan kurang
memperhatikan penduduk sekitar. Perbedaan ini, mengakibatkan perkembangan UPT relatif lebih cepat ketimbang desa-desa sekitarnya sehingga menimbulkan
kecemburuan yang berdampak sangat rentan terhadap konflik; b Sistem pemberdayaan dan pembinaan masyarakat transmigrasi dilaksanakan dengan
pendekatan sentralistik, mengakibatkan budaya lokal nyaris tidak berkembang, sementara budaya pendatang lebih mendominasi; c Proses perencanaan
kawasan permukiman transmigrasi kurang dikomunikasikan dengan masyarakat sekitar. Akibatnya, masyarakat sekitar permukiman transmigrasi tidak merasa
terlibat, dan karenanya tidak ikut bertanggung jawab atas keberadaannya; d Adanya pembangunan permukiman transmigrasi yang eksklusif sehingga
dirasakan kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya; dan e Adanya permukiman transmigrasi yang tidak layak huni,
layak usaha, dan layak berkembang dan justru menjadi desa tertinggal. Anharudin et al. 2006 juga mengemukakan, meskipun program transmigrasi
telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian di antaranya belum sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu
menopang pengembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain yang sudah ada. Bahkan menurut Haryati et al. 2006 sebagian dari permukiman
transmigrasi tersebut direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak berkembang. Penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan tidak berjalannya struktur
kawasan transmigrasi yang berpola hierarkis. Pembangunan transmigrasi yang dilaksanakan sebelum otonomi yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1972, sebenarnya sudah dirancang atas dasar struktur kawasan yang berciri hierarkis, dari satuan terkecil yaitu Satuan Permukiman SP hingga terbesar yaitu
Satuan Wilayah Pengembangan SWP. Dalam struktur perwilayahan ini, pengembangan transmigrasi mengikuti mekanisme pasar dan berjenjang yaitu
pola aliran produksi yang dihasilkan adalah dari SP ke pusat SKP Satuan Kawasan Pengembangan, dan pusat-pusat SKP menuju pusat WPP Wilayah
Pengembangan Parsial dan selanjutnya dikumpulkan di pusat SWP yang merupakan pintu gerbang pemasaran ke arah luar wilayah. Selanjutnya, dalam
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat transmigran, pertama kali masuk ke wilayah adalah melalui pintu gerbang di pusat SWP, kemudian
didistribusikan ke pusat-pusat yang lebih rendah SKP sampai di pusat-pusat SP. Melalui pola ini, wilayah-wilayah sekitar permukiman transmigrasi akan
berkembang karena adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara kawasan permukiman dengan wilayah sekitar tersebut.
Namun demikian, menurut Yuniarti et al. 2008, dalam prakteknya hal tersebut tidak selalu berlangsung sesuai dengan konsep yang direncanakan. Ini
disebabkan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan sebagai pusat pelayanan proses produksi penyedia input, jasa keuangan,
pengolahan hasil dan pemasaran tidak dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya infrastruktur dan
kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi.
Setelah otonomi daerah, pada dasarnya sudah ada pergeseran paradigma transmigrasi yang ekslusif ke paradigma inklusif, atau secara konseptual
melibatkan masyarakat desa-desa sekitar sebagai bagian dari kawasan transmigrasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009, lingkup geografis kawasan transmigrasi terdiri atas
permukiman baru transmigrasi, desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa setempat. Namun menurut Najiyati 2008 secara praktis masih ada keterpisahan
antara masyarakat transmigrasi yang berada di dalam unit permukiman yang dibangun secara terkonsentrasi, dengan masyarakat sekitar atau setempat yang
berada di luar unit. Keterpisahan bukan saja secara konseptual, tetapi juga terwujud dalam bentuk-bentuk perlakuan, program, dan input pemberian, yang
bias ke warga yang di dalam unit permukiman transmigrasi. Sementara itu, penduduk desa sekitar masih terabaikan. Penelitian yang dilakukan Najiyati
2008 di tujuh provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat
menemukan bahwa masih banyak masyarakat miskin dan menganggur di desa
sekitar permukiman transmigrasi yang belum tersentuh oleh program transmigrasi.
Tidak sejalannya dan adanya keterpisahan pelaksanaan pembangunan wilayah transmigrasi dengan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi
pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarlembaga terkait dalam pelaksanaan ketransmigrasian dengan pengembangan wilayah di daerah.
Lemahnya koordinasi ini terlihat baik pada tingkat lembaga di pusat maupun daerah dan juga dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun
pelaksanaan pembangunannya. Fakta-fakta ini merupakan faktor utama yang menjadi dasar menurunnya
kinerja transmigrasi sejak era otonomi daerah. Sebagian daerah tidak lagi menempatkan program transmigrasi sebagai kebijakan prioritas disebabkan
program transmigrasi hanya berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan transmigran dan cenderung tumbuh sebagai kawasan enclave, dengan kontribusi
yang rendah terhadap pengembangan wilayah sekitarnya. Penelitian Anharudin et al
. 2008 pada tujuh provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Maluku Utara menemukan
bahwa tiga provinsi sama sekali tidak mencantumkan klausul transmigrasi dalam Rencana Strategis Renstra daerahnya. Selain itu, meskipun semua provinsi
memiliki dinas yang mengurusi transmigrasi, namun demikian hanya tiga dinas yang memiliki Renstra mengenai transmigrasi. Hal ini menunjukkan transmigrasi
masih sangat tergantung ke program pusat, yang diberikan kepada daerah, yang tercermin dalam seberapa anggaran yang dialokasikan kepada daerah tersebut.
Salah satu daerah penempatan transmigrasi di Indonesia adalah Provinsi Jambi. Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah dimulai dari Tahun 1940
dan terus berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data Tahun 2011, transmigran yang telah ditempatkan mencapai 100.260 KK Kemenakertrans 2012. Jumlah
tersebut telah menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama penempatan transmigran.
Meskipun demikian, fenomena penurunan kinerja transmigrasi setelah otonomi daerah ini juga terjadi di Provinsi Jambi. Pada orde baru Pelita I – VI,
rata-rata penempatan transmigrasi mencapai 3568 KK per tahunnya, menurun
pada era otonomi daerah 2000 – 2011, menjadi rata-rata penempatan hanya 682 KK per tahunnya Kemenakertrans 2012. Penurunan ini juga tidak terlepas dari
berbagai permasalahan
penyelenggaraan transmigrasi
secara nasional
sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya. Pembangunan transmigrasi masih memiliki potensi dan peluang untuk
mendorong pengembangan wilayah di Provinsi Jambi. Kepadatan penduduknya masih relatif rendah. Data tahun 2010 menunjukkan sebesar 64 jiwa per km2,
yaitu kurang dari separuh tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara keseluruhan yang sebesar 126 jiwakm
2
menempati urutan ke 12 kepadatan penduduk terendah dari 33 provinsi di Indonesia BPS 2010. Meskipun secara
umum tidak terdapat lahan dalam hamparan yang relatif luas untuk mengembangkan permukiman transmigrasi seperti pola periode Orde Lama atau
awalpertengahan periode Orde Baru, tetapi masih memungkinkan pembangunan transmigrasi yang dilaksanakan secara tersebar pada lahan-lahan yang belum
termanfaatkan atau pada wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang masih sangat rendah.
Dari sisi peluang usaha, Provinsi Jambi juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan terutama di bidang pertanian khususnya tanaman bahan
makanan dan perkebunan. Hal ini terlihat dari fakta kontribusi sektor pertanian yang mencapai 30,46 persen dari total PDRB, dan kontribusi dari subsektor
tanaman bahan makanan serta perkebunan mencapai 83,03 persen dari total PDRB sektor pertanian.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian terkait dengan pengembangan transmigrasi di daerah ini. Hasil pembelajaran lesson learned
dari pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai referensi pembangunan perdesaan secara umum dan mengembangkan kebijakan penyelenggaraan
transmigrasi dalam kerangka percepatan pembangunan daerah melalui pengembangan desa-desa.