Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi

terlokalisasikan localized poles of development, teori ekonomi geografi baru dan teori simpul-simpul jasa distribusi. Teori tempat sentral diturunkan dari karya Christaller pada Tahun 1933 Rustiadi et al. 2009. Menurut teori tempat sentral, distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat hierarki dan kaitan-kaitan fungsional ini. Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hierarki tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya industri dan bahan baku. Tempat sentral merupakan pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Komponen dasar dari sistem tempat sentral adalah hierarki, penduduk ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang adalah jumlah minimum penduduk yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Lingkup pasar dari suatu kegiatan jasa adalah kesediaan orang untuk menempuh jarak tertentu untuk mencapai tempat penjualan jasa tersebut. Tingkat tempat sentral tergantung pada jasa yang tersedia di lokasi tersebut sehingga membentuk tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Selanjutnya teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh Fancois Perroux pada Tahun 1949 Mercado 2002. Kutub pertumbuhan didefinisikan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Salah satu unsur fundamental dalam pengembangan wilayah adalah keberadaan pusat. Dalam konteks ini, konsep titik pertumbuhan growth point concept merupakan mata rantai antara struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Selanjutnya menurut Haruo 2000, dalam rangka mendorong pertumbuhan di negara-negara berkembang, maka disarankan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang terbatas. Terkait dengan titik pertumbuhan ini, Friedman dan Alonso 1964 diacu dalam Stimson et al. 2002 melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan interaksi antara inti dan tepi core and periphery interaction. Pembangunan berawal dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan centre of change yang terletak di titik-titik interaksi yang berpotensi tinggi dalam batas atau bidang jangkauan komunikasi. Daerah-daerah inti core regions tersebut merupakan pusat-pusat utama dari pembaharuan. Sementara wilayah-wilayah teritorial lainnya merupakan daerah-daerah tepipinggiran periphery regions yang berada jauh dari pusat perubahan, yang tergantung kepada daerah-daerah inti. Dengan demikian konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Akan tetapi, kutub pertumbuhan tidak hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan karenanya efek polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitan- perkaitan antarindustri. Pendapatan di daerah pertumbuhan secara keseluruhan akan mencapai maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan dibandingkan jika terpencar di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara masing-masing titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah unsur yang panting dalam teori ini. Interaksi ini mempunyai beberapa aspek sebagai berikut: Pertama , interaksi ini akan menimbulkan ketidak seimbangan struktural di daerah yang bersangkutan. Jika suatu titik pertumbuhan digandengkan dengan pembangunan suatu kompleks industri baru, maka kompleks tersebut akan ditempatkan di sekitar titik pertumbuhan. Memang harus diakui industri-industri penyuplai di daerah pengaruh tentu akan ikut terdorong berkembang, tetapi perbedaan yang besar dalam kemakmuran antara titik pertumbuhan dan daerah yang mengitarinya akan tetap terdapat. Selanjutnya di luar perbatasan daerah pengaruh, tingkat pendapatan dapat mengalami stagnasi dan daerah mengalami kemunduran. Kedua , industri-industri penggerak propulsive industries di kutub pertumbuhan adalah industri-industri ekspor yang melayani pasar-pasar ekstra regional. Teori titik pertumbuhan secara implisit bersumber pada konsep basis ekspor tetapi dengan memberinya dimensi ruang, karena industri-industri inti key industries berlokasi pada titik pertumbuhan sedangkan industri-industri suplai, tenaga kerja, bahan-bahan mentah dan pelayanan-pelayanan dapat terpencar- pencar di seluruh daerah pengaruh. Pendapatan yang terima di daerah pengaruh bersal dari penerimaan faktor terutama upah yang diperoleh para pekerja yang tinggal di daerah pengaruh tetapi bekerja di titik pertumbuhan. Salah satu perbedaan antara titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah bahwa titik pertumbuhan dapat dianggap sebagai pasar tenaga kerja sentral dan daerah pengaruhnya sebagai daerah sumber tenaga kerja. Ketiga , fungsi tempat sentral dari titik pertumbuhan dapat memperjelas hubungan antartitik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya. Tersedianya pelayanan sentral adalah salah satu keuntungan aglomerasi yang penting pada titik pertumbuhan. Tetapi, secara konsepsional, titik pertumbuhan dan tempat sentral tidaklah identik. Tempat-tempat sentral banyak sekali dan tersusun dalam suatu hierarki, sedangkan titik pertumbuhan hanya sedikit dan dalam beberapa hal hanya satu di suatu daerah. Konsep kutub pertumbuhan pada dasarnya mempunyai pengertian tata ruang secara abstrak. Suatu kutub berarti suatu pengelompokan atau konsentrasi unsur- unsur dan Perroux menganggap tata ruang secara abstrak yang menekankan karakteristik regional tata ruang ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, Boudeville 1961 diacu dalam Adisasmita 2008 mengemukakan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan localized poles of development. Menurut Boudeville tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis. Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis. Ia mendefinisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya. Teori Boudeville ini juga dianggap mampu menjembatani teori-teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan. Teori tempat sentral hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu pada tata ruang geografis dan tidak membahas adanya perubahan pola-pola tersebut. Teori kutub pertumbuhan lebih menjelaskan pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri. Dengan kata lain lebih melihaat perubahan-perubahan struktural tetapi kurang menjelaskan pengelompokan pada tata ruang geografis. Dalam konteks ini, teori Boudeville menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata tetapi juga peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan diantara pengelompokan-pengelompokan tersebut. Hal ini berkaitan dengan hirarkie wilayah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya. Pengkonsentrasian investasi pada sejumlah titik pertumbuhan yang terbatas, pada dasarnya mengacu pada konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi industri pertama kali dibahas secara eksplisit oleh Alfred Weber pada tahun 1909 dalam analisis teori lokasi industri. Weber berusaha menetapkan lokasi industri yang optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal. Lokasi dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga kerja atau transportasi ataupun ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan oleh aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal Adisasmita 2008. Malmberg dan Maskell 1997 mengemukakan aglomerasi berkaitan dengan konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Montgomery 1988 bahwa aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan economies of proximity yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen. Keuntungan-keuntungan konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi skala disebut dengan ekonomi aglomerasi agglomeration economies Mills Hamilton 1989. Ekonomi aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas kedekatan geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan ekonomi aglomerasi merupakan suatu bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota Bradley Gans 1998. Ekonomi aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena kegiatan-kegiatan ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Alfred Marshall menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti istilah ekonomi aglomerasi. Hoover juga membuat klasifikasi ekonomi aglomerasi menjadi 3 jenis yaitu large scale economies merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan karena membesarnya skala produksi perusahaan tersebut pada suatu lokasi, localization economies merupakan keuntungan yang diperoleh bagi semua perusahaan dalam industri yang sama dalam suatu lokasi dan urbanization economies merupakan keuntungan bagi semua industri pada suatu lokasi yang sama sebagai konsekuensi membesarnya skala ekonomi dari lokasi tersebut. Berbeda dengan pendapat para ahli ekonomi yang lain, O’Sullivan 2009 membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat. Dalam konteks teori ekonomi geografi baru, dapat dikemukakan bahwa dalam jangka waktu yang lama, para ekonom telah mengabaikan konsep semacam jarak, ruang dan biaya transportasi dalam analisis-analisisnya terhadap ketidakmerataan pembangunan secara regional. Pada Tahun 1950an dan 1960an, Myrdal, Hirschman, Kaldor dan lainnya menjelaskan mengenai pembangunan spasial yang tidak merata melalui konsep cumulative causation O‘Hara 2002; Mac.Kinnon 2008. Ekonomi geografi Marxist pada 1980-an mengemukakan ketidakmerataan pembangunan regional sebagai proses historis. Massey 1984 mengemukakan pembagian tenaga kerja secara spasial terutama disebabkan adanya transformasi dan perebutan dalam politik, lebih dari sekedar faktor perekonomian. Ketidakmerataan pembangunan secara regional ini menurut model ekonomi geografi baru memiliki elemen-elemen berikut. Pertama, penekanan penyebab konsentrasi yang tidak berhubungan dengan sumber daya alam bawaan natural endowment . Kedua, penekanan interaksi antara pasar yang berbeda, antara perusahaan, supplier dan konsumennya, dan peranan ganda dari pekerja sebagai faktor produksi dan konsumen. Ketiga, kekuatan sentripetal yang mendorong konsentrasi geografis lebih lemah dibandingkan kekuatan sentrifugal. Keempat, pentingnya fondasi mikro. Khususnya, ekternalitas positif tidak diasumsikan, tetapi diturunkan dari saling mempengaruhi antara biaya transportasi, peningkatan skala pengembalian dan mobilitas faktor. Dalam teori ekonomi geografi baru, terdapat dua kekuatan utama penyebab aktivitas ekonomi terkonsentrasi secara geografis, yaitu kekuatan sentripetal dan sentrifugal Krugman 1998. Menurut Belke dan Heine 2004 kekuatan ini memiliki dampak signifikan terhadap keputusan faktor produksi yang begerak mobil untuk beraglomerasi atau deglomerasi secara geografi. Kekuatan sentripetal atau sentrifugal ini ditentukan oleh derajat integrasi, atau lebih tepatnya oleh besarnya biaya transportasi. Sumber kekuatan sentripetal adalah efek ukuran pasar keterkaitan atau linkages , pasar kerja yang besar dan ekonomi eksternal murni pure external economies . Pasar lokal yang besar menciptakan backward linkages pasar yang besar adalah tempat yang lebih disukai untuk produksi barang karena skala ekonomi dan forward linkages pasar yang besar mendukung produksi lokal untuk barang-barang antara intermediate goods, menurunkan biaya untuk industri hilir. Konsentrasi industri didukung oleh pasar kerja yang besar, terutama untuk keahlian khusus, sehingga tenaga kerja lebih mudah menemukan pekerjaan dan sebaliknya. Konsentrasi aktivitas ekonomi ini akan menciptakan lebih banyak atau lebih sedikit ekonomi eksternal murni melalui ketersediaan informasi. Selanjutnya, sumber kekuatan sentrifugal adalah faktor-faktor yang tidak bergerak immobile factors, hargasewa lahan land rents dan ekonomi dis-eksternal murni pure external diseconomies. Faktor-faktor yang tidak bergerak tanah dan sumber daya alam, dan dalam konteks internasional adalah penduduk menghalangi konsentrasi produksi, baik dari sisi penawaran beberapa produksi harus berlokasi di tempat pekerjanya dan dari sisi permintaan faktor yang terpisah-pisah menciptakan suatu pasar yang terpisah-pisah, dan beberapa produksi memiliki insentif untuk berlokasi dekat konsumen. Konsentrasi aktivitas ekonomi menciptakan peningkatan permintaan lahan, meningkatkan harga lahan dan dengan demikian menyebabkan suatu disinsentif untuk konsentrasi ke depan. Konsentrasi aktivitas ekonomi dapat menyebabkan lebih banyak atau lebih sedikit ekonomi dis-eksternal murni seperti kemacetan congestion. Selanjutnya, dalam konteks perekonomian dan perdagangan internasional, teori ekonomi geografi baru mengemukakan bahwa perbedaan antara negara industri dan non-industri, dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses penurunan biaya perdagangan. Suatu konsep dasar diperkenalkan oleh Krugman dan Venables 1995. Keduanya berasumsi bahwa semua faktor adalah bersifat tidak dapat bergerak antarnegara. Proses akumulasi terjadi melalui perbedaan antara pengembalian hasil tetap constant-return sektor pertanian dengan pengembalian hasil yang meningkat increasing-return sektor industri, baik yang menggunakan maupun menghasilkan input antara. Ide dasarnya adalah produsen barang-barang antara dalam suatu daerah dengan sektor industri yang besar akan memiliki akses yang besar ke pasar yang besar yang diberikan oleh industri hilir backward linkage , sementara produsen ini industri hilir sebaliknya akan memiliki keuntungan akses yang lebih baik ke barang-barang antara yang dihasilkan di negara mereka sendiri forward linkage. Dalam contoh kasus, misalnya di dunia hanya ada dua negara yang identik dalam hal biaya transportasi barang-barang industri antarnegara tersebut. Jika biaya transportasi tinggi, masing-masing negara akan mencukupi dirinya sendiri. Tetapi jika terjadi penurunan biaya transportasi, akan meningkatkan kemungkinan perusahaan untuk mengekspor ke negara lain. Karenanya, negara yang memiliki sektor manufaktur yang lebih besar, akan mendapatkan keuntungan akses lebih baik, baik ke pasar maupun supplier. Jadi ketika biaya transpor turun, akan terjadi proses diferensiasi antara negara, dengan negara yang memiliki konsentrasi industi akan menjadi inti core, sedangkan negara dengan produksi primer akan terdegradasi menjadi pinggiran periphery. Model yang sama memprediksi penurunan yang berlanjut dalam biaya transpor akan menghasilkan pembalikan nasib. Alasannya, daerah periphery memiliki keuntungan kompetitif dalam bentuk upah murah. Keuntungan ini lebih diimbangi oleh akses yang kuat dari negara maju terhadap pasar backward linkage dan input forward linkages. Namun, penurunan biaya transportasi menyebabkan penurunan juga dari pentingnya keterkaitan ini. Jadi, terdapat titik kritis kedua di mana industri menemukan keuntungan untuk bergerak ke lokasi upah yang lebih murah. Untuk menjelaskan ketidakseimbangan regional pada negara-negara berkembang, model ini juga dapat digunakan. Dalam mengkonversi analisis core- periphery dalam perbedaan regional, maka pekerja diasumsikan sebagai faktor yang bisa berpindah-pindah seperti kapital dan tenaga kerja trampil, dan mengasumsikan bahwa pekerja tidak terampil adalah relatif faktor yang tidak bergerak. Dengan skala ekonomi yang besar dan biaya transpor yang tinggi, akan menghasilkan keseimbangan core-periphery yang dapat memiliki perbedaan yang besar dari upah faktor-faktor yang tidak bergerak. Melalui perspektif geografi ekonomi, Bank Dunia dalam laporan pembangunan dunia Tahun 2009 WB 2009 menyoroti ketimpangan melalui tiga dimensi yang dikenal dengan istilah 3D, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi density, aspek jarak distance dan pembagianpemisahan geografis sebagai faktor penghalang terjadinya integrasi ekonomi division. Kepadatan atau densitas menunjuk pada massa atau agregat ekonomi per unit lahan, atau kepadatan geografis ekonomi. Kepadatan adalah tingkat output yang diproduksi dan karenanya pendapatan yang diperoleh per unit lahan. Nilainya tertinggi di kota-kota besar di mana aktivitas ekonomi terkonsentrasi dan lebih rendah di lingkungan-lingkungan pedalaman. Mengingat kepadatan ekonomi yang tinggi membutuhkan konsentrasi tenaga kerja dan modal secara geografis, kepadatan ekonomi terkait erat dengan pekerjaan dan kepadatan penduduk. Oleh karenanya, kepadatan populasi kadang kala digunakan sebagai nilai pengganti dari kepadatan ekonomi ini. Jarak mengukur seberapa mudah modal mengalir, tenaga kerja berpindah, barang diangkut, dan layanan disediakan antara dua lokasi. Jarak dalam pengertian ini merupakan sebuah konsep ekonomi, bukan semata-mata fisik. Terkait dengan jarak ekonomi, maka jarak mengukur seberapa mudahnya menjangkau pasar. Ini menentukan akses terhadap kesempatan. Daerah yang jauh dari pusat-pusat yang ekonominya padat di suatu negara biasanya lebih tertinggal. Untuk perdagangan barang dan jasa, jarak mencakup waktu dan biaya moneter. Penempatan dan kualitas infrastruktur transportasi dapat mempengaruhi jarak ekonomi antara dua area, meskipun jarak euclidean garis-lurus antara area tersebut adalah sama. Selanjutnya untuk mobilitas tenaga kerja, jarak juga mencakup “biaya fisik” karena keterpisahan dari wilayah yang sudah dikenalnya. Seperti pada perdagangan, jarak ekonomi untuk migrasi terkait, tetapi tidak sama artinya, dengan jarak fisik. Hambatan-hambatan yang dibuat manusia, termasuk kebijakan, juga dapat meningkatkan jarak, seperti pungutan liar dan “uang keamanan”. Wilayah yang maju memiliki kepadatan ekonomi tinggi, sementara daerah yang tertinggal mempunyai jarak yang jauh ke kepadatan. Suatu area punya kemungkinan lebih besar untuk menjadi daerah tertinggal jika ia semakin jauh dari wilayah maju, karena jarak yang semakin jauh dari kepadatan mengimplikasikan kurangnya integrasi ke dalam ekonomi wilayah maju. Selanjutnya pembagianpemisahan division antarnegara-bangsa membuat proses geografi ekonomi terpecah-pecah menjadi skala nasional dan regional. Laporan Bank Dunia tersebut menunjukkan bagaimana pembagian semacam ini mempengaruhi pembangunan ekonomi, bagaimana geografi dan sejarah budaya menyumbang pada pembagian ini dan bagaimana negara membangun penghalang bagi terjadinya interaksi yang produktif dengan negara-negara tetangga dan warga dunia lainnya. Sementara kepadatan dan jarak berkaitan erat dengan geografi manusia dan geografi fisik, pembagian lebih mengacu pada geografi sosiopolitik. Perbedaan antara jarak dan pembagian ini adalah bahwa jarak mengatur akses pada peluang ekonomi dan suatu cara yang lebih kontinu – suatu jarak pasti akan berkurang seiring dengan waktu. Ini dapat dilihat sebagai jarak ekonomi atau waktu tempuh yang makin meningkat untuk satu satuan jarak fisik atau jarak Euclidian . Sebaliknya, pembagian menghadirkan hambatan-hambatan yang berlainan terhadap akses dan integrasi ekonomi. Seperti teori tempat sentral Christaller, kutub pertumbuhan Perroux, teori daerah inti Friedmann dan Alonso, kutub pembangunan Boudeville, aglomerasi Weber, dan ekonomi geografi baru, Hadjisarosa 1982 menekankan pula pentingnya peranan pusat-pusat pengembangan. Pusat-pusat pengembangan ini selanjutnya diidentifikasikan sebagai simpul-simpul jasa distribusi. Menurut Hadjisarosa, pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan modal, yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Pengembangan kedua jenis sumber daya tersebut berlangsung sedemikian sehingga menimbulkan arus barang. Bahan mentah diangkut dari daerah penghasil ke lokasi pabrik dan barang hasilnya diangkut dari produsen ke konsumen. Arus barang dianggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol. Arus barang merupakan wujud fisik perdagangan antardaerah, antarpulau, ataupun antarnegara. Arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan serta distribusi. Dengan demikian jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik, terutama jika ditinjau pengaruhnya dalam penentuan lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahan- kemudahan, demikian pula fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah. Di simpul-simpul terdapat berbagai kemudahan, yang diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Di antara kemudahan- kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat penting. Pusat kegiatan usaha distribusi ini selanjutnya oleh Hadjisarosa disebut simpul jasa distribusi. Ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hierarki simpul dalam sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah pengembangannya, sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan bersifat ke dalam. Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hierarki dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang. Pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antarsimpul yang mempunyai tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antarsimpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan. Menurut Adisasmita 2008 terdapat perbedaan yang mendasar antara teori simpul-simpul jasa distribusi dengan teori aglomerasi Weber, teori tempat sentral Cristaller dan Losch, kutub pertumbuhan Perroux. Perbedaan tersebut mencakup sebaran dari unit produksi dan unit pasar. Dalam konsep simpul jasa distribusi, bahan-bahan mentah tersebar tempatnya dan setelah mengalami proses pemurnian, pengolahan, perakitan ataupun pembungkusan, barang-barang hasil produksi tersebut dipasarkan kepada para konsumen akhir yang tempatnya tersebar juga. Terkait dengan konsep dan strategi pembangunan transmigrasi pada dasarnya mengacu pada konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan. Konsep ini mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang dan jasa. Hadjisarosa 1988 mengemukakan bahwa konsep pembangunan transmigrasi dalam bentuk outputnya dengan hierarki-hierarki mulai dari hierarki terkecil yaitu Satuan Permukiman SP sampai sampai hirarkie terbesar yaitu Wilayah Pengembangan Parsial WPP hanya dapat dideteksi melalui aplikasi teori Simpul Jasa Distribusi. Dalam konsep pembangunan transmigrasi, unit produksi berasal dari berbagai Satuan Permukiman SP yang kemudian berkumpul pada Satuan Kawasan Permukiman SKP ataupun Wilayah Pengembangan Parsial WPP yang berperan sebagai simpul jasa distribusi perdagangan ke luar kawasan. Sebaliknya SKP ataupun WPP juga berperan sebagai simpul jasa distribusi perdagangan aliran barang dari luar kawasan untuk kemudian didistribusikan ke hierarki-hierarki di bawahnya. Selanjutnya, dalam konteks transmigrasi sebagai suatu bentuk pengembangan wilayah, pada dasarnya terdapat dua strategi yang dapat digunakan yaitu supply side strategy dan demand side strategy Rustiadi et al. 2009. Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi ke luar. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang akan meningkatan pendapatan lokal. Selanjutnya, hal ini akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut. Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduknya. Tarigan dan Ariningsih 2007 juga mengemukakan bahwa pengembangan subsistem pengolahan dalam hal ini agroindustri yang merupakan kelanjutan dari subsistem produksi juga dapat berperan sebagai bagian dari strategi sisi permintaan ini. Bentuk lain dari demand side strategy ini dikembangkan oleh pemerintah Philipina dalam rangka mengatasi kelaparan dan meningkatkan keamanan pangan. Melalui Accelerated Hunger Mitigation Program AHMP pemerintah Philipina menggunakan tiga komponen kebijakan yaitu: 1 memberikan bantuan kepada penduduk miskin pelatihan, kredit mikro, distribusi lahan; 2 meningkatkan gizi melalui pemahaman penduduk tentang jenis-jenis makanan sehat dan 3 pengaturan populasi Edillon 2008. Lebih lanjut Anwar 2005 mengemukakan bahwa ketidakseimbangan pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional menjadi suboptimal, dan juga pada gilirannya sering menurunkan sampai meniadakan sumber-sumber pertumbuhan pembangunan agregat makro. Oleh karena itu interaksi pembangunan inter-regional memerlukan kinerja yang komplementer dan mengurangi sejauh mungkin terjadinya persaingan competitive diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga akan menimbulkan kondisi wilayah-wilayah yang sinergis saling memperkuat dan diharapkan dapat menimbulkan sumbangan kepada ekonomi makro yang positif dan berkelanjutan. Untuk itu perlu adanya strategi pembangunan wilayah dari sisi pendekatan produksi supply yang dihasilkan oleh suatu wilayah pada akhirnya harus dapat mengatasi dampak terjadinya keterbatasan demand trap dari sisi permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Untuk mencapai maksud tersebut, strategi pembangunan wilayah juga harus dikembangkan atas dasar strategi pengembangan sisi permintaan demand side strategy. Strategi ini dapat dikembangkan melalui upaya-upaya yang mendorong tumbuhnya permintaan akan barang dan jasa secara domestik melalui peningkatan kesejahteraan, khususnya yang menyangkut peningkatan tingkat pendapatan, pendidikan, sosial budaya dan lain-lain masyarakat wilayah. Program transmigrasi selain didasarkan pada lima teori utama tersebut, dari sisi strategi didekati melalui demand side strategy, dengan tujuan utama meningkatkan taraf hidup penduduk melalui kegiatan produksi lokal. Rustiadi et al. 2009 menghipotesiskan stadia pengembangan kawasan transmigrasi atas enam stadia: 1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk kebutuhan hidup jadup dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga membangun berbagai fasilitas infrastruktur dasar dan pertanian. 2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran diharapkan dapat berproduksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri subsisten. 3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus hasil usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya terutama setelah dapat diusahakannya Lahan Usaha II. 4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh menjual ke kota. 5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian. Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil. 6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota KecilMenengah. Pada tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum. Stadia-stadia tersebut secara diagramatis diberikan sebagai berikut: Gambar 6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi. Sumber: Rustiadi et al. 2009 Mengacu pada stadia-stadia ini terlihat pada dasarnya daerah perdesaan umumnya dan kawasan transmigrasi khususnya tidak hanya tergantung sektor pertanian saja. Namun demikian, dalam kenyataannya, situasi perkembangan pembangunan kawasan transmigrasi yang tidak berkembang tertahan sampai pada stadia II dan III. Strategi demand side membutuhkan waktu yang lama karena berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusiperombakan cara berpikir. Meskipun demikian, keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap. Stadia Industrialisasi Perdesaan Urbanisasi Kota Kecil Menengah Stadia Industri Non-Pertanian Stadia Industri Pertanian Stadia Marketable Surplus Demand luxurious goods Investasi pemerintah fasilitas2 urban Ekspor Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi Investasi pemerintah untuk prasarana sistem industri  Berkembangnya sektor non-pertanian  Diversifikasi usaha Stadia Subsisten Stadia Sub-Subsisten Surplus Produksi Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi sektor non pertanian Subsidi pemerintah untuk kebutuhan hidup dan produksi Investasi fasilitasinfrastruktur dasar dan pertanian

2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi

Usaha-usaha untuk menentukan indikator pengembangan kawasan transmigrasi telah pernah ditetapkan baik melalui berbagai keputusan maupun melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Ketransmigrasian. Menurut Tjiptoherijanto 1984,2005 diacu dalam Soegiharto 2008, program transmigrasi harus selalu dikaitkan dengan pembangunan daerah, dan menjadi bagian integral dari pola pembangunan daerah serta terkait dengan kegiatan ekonomi. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka tolok ukur utama keberhasilan transmigrasi adalah pencapaian dalam hal: 1. Keseimbangan penyebaran penduduk, dengan tolok ukur: a keberhasilan program keluarga berencana yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kelahiran penduduk tempat transmigran berdiam; b menurunnya tingkat kematian anak balita. 2. Pengembangan sumber daya manusia, dengan tolok ukur: a kesempatan kerja tersedia dengan cukup; b tingkat perkembangan AKAD di daerah transmigrasi atau provinsi yang menampung para transmigran. 3. Untuk memanfaatkan sumber alam dan tenaga manusia perlu ditumbuhkan transmigran yang produktif, yang hanya bisa dihasilkan oleh tenaga kerja yang berpendidikan. Tolok ukurnya yaitu: a rasio jumlah tenaga pengajar terhadap murid khususnya tingkat SD dan SLTP; b pengembangan pendidikan diarahkan pada keahlian kejuruan yang akan menghasilkan tenaga-tenaga siap pakai. 4. Perdagangan regional, dengan tolok ukur: a meningkatnya volume perdagangan antar daerah khususnya di provinsi-provinsi daerah transmigrasi, secara tidak langsung memberikan indikasi sarana komunikasi dan transportasi di daerah tersebut semakin membaik, sehingga kelancaran pelayanan pengangkutan akan mempermudah hubungan antar daerah 5. Sosial, dengan tolok ukur: a Tingkat kriminalitas sebelum dan sesudah adanya transmigrasi di suatu daerah; b Tingkat perselisihan dan ketegangan sosial, baik antar suku, agama dan lokasi Pada tahun 1984 melalui Keputusan Menteri Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP.269MEN1984 tentang Kriteria Tingkat Perkembangan Minimal Unit Permukiman Transmigrasi dalam garis besarnya menggunakan sembilan kriteria pokok untuk menilai tingkat perkembangan suatu permukiman, yaitu 1 pendapatan per kapita; 2 koperasiKUD; 3 prasaranaaksesibilitas; 4 komunikasi dan daya tarik; 5 pendidikan; 6 kesehatan dan keluarga berencana; 7 agamamental spiritual; 8 latihan keterampilan; dan 9 perangkat pemerintah desa. Mengingat kriteria tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan transmigrasi, maka dikeluarkan yaitu Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia Nomor: KEP.06MEN 1999 tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan Transmigrasi. Dalam keputusan ini dinyatakan bahwa tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran meliputi tingkat penyesuaian, pemantapan dan pengembangan Pasal 2 Ayat 1. Tingkat Penyesuaian adalah kondisi perkembangan permukiman di mana trasmigrannya sedang beradaptasi di lingkungan baru sosial ekonomi, budaya dan fisik untuk mampu melaksanakan kehidupan di lokasi baru. Tingkat Pemantapan adalah kondisi perkembangan permukiman di mana transmigrannya telah berkemampuan mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat Pengembangan adalah kondisi perkembangan permukiman di mana transmigrannya telah mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan kehidupannya secara berkelanjutan Pasal 1. Perhitungan tingkat perkembangan ini menggunakan indikator ekonomi, sosial dan budaya, integrasional serta keaktifan dan pelayanan lembaga sosial Pasal 2 Ayat 3. Keputusan menteri tersebut kemudian diperbaharui lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25MENIX2009 tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan Transmigran. Dalam peraturan menteri ini, perkembangan permukiman transmigrasi juga dibagi tiga yaitu tingkat penyesuaian, tingkat pemantapan dan tingkat pengembangan dengan pengertian yang sama dengan Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia Nomor: KEP.06MEN 1999. 98 Tabel 11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran No Parameter Indikator Satuan Standar Tingkat penyesuaian Tingkat pemantapan Tingkat pengembangan A EKONOMI a. Pendapatan 1. Pendapatan per KK per tahun Kg setara beras 1600 2400 3000 b. Pemerataan 2. Gini Ratio - 0.25 0.25 c. Ketenagakerjaan 3. Rasio setengah pengangguran - 10 10 d. Kontribusi permukiman transmigrasi 4. Rasio pendapatan per kapita terhadap pendapatan per kapita kabupatenkota 0.75 1.00 1.10 e. Keberhasilan Koperasi Unit Desa Tempat Pelayanan Koperasi 5. Rentabilitas 6. Tingkat pelayanan - 30 0.5 50 0.5 80 B SOSIAL DAN BUDAYA a. Kebetahan 1. Transmigran meninggalkan lokasi 8 3 2 b. Keamanan 2. Perbuatan tindak kejahatanpelanggaran Kalitahun - 3 2 c. Pendidikan 3. Angka Partisipasi Pendidikan 4. Angka Melek Huruf 40 40 50 50 80 80 d. Kesehatan dan Keluarga Berencana 5. Prevalensi penyakit 6. Rasio kematian balita 7. Rasio anak balita dengan wanita 000 000 200 0.5 900 150 0.3 875 100 0.1 850 e. Partisipasi masyarakat 8. Gotong royong perbaikan fasilitas lingkungan 9. Kerjasama kelompok taniKUB 4 40 4 65 4 90 C INTEGRASIONAL 1. Tingkat konflik suku, agama, ras, golongan kali 5 3 2 2. Rasio pedagang penduduk lokal dengan pedagang transmigran di pasar - 10 20 D KEAKTIFAN DAN PELAYANAN LEMBAGA SOSIAL a. Keaktifan lembaga sosial 1. Tingkat keaktifan perangkat pemerintah desa 2. Kemampuan pelayanan aparat permukiman transmigrasi - 20 80 10 80 5 Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25MENIX2009 Pada tahun 2004, Puslitbang Ketransmigrasian juga telah menyusun Indeks Pembangunan Transmigrasi IPT yang dapat mencerminkan pencapaian tujuan transmigrasi yaitu kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, pemerataan pembangunan dan persatuan kesatuan. Penghitungan IPT dilakukan melalui tiga tahap yaitu penghitungan indeks masing-masing indikator, penentuan goalpost, dan penentuan indeks komposit Najiyati 2008. 1. Penghitungan Indeks masing-masing Indikator a. Rumus berikut digunakan untuk menghitung : 1 Indeks Angka Melek Huruf atau disebut Indeks Pendidikan Transmigran. 2 Indeks UPT Lepas Bina atau disebut Indeks Pemerataan Pembangunan. Apabila indikator UPT lepas bina lebih dari 20 persen, tetap dihitung 20 persen. 3 Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat disebut Indeks Persatuan dan Kesatuan dengan nilai indikator kurang atau sama dengan 50 persen. min min 1 n n n n X maks X X X I     Keterangan I = Indeks ke n X n =: Nilai riil indikator ke- n X n min = Nilai minimum Goalpost indikator ke- n X n maks = Nilai maksimum Goalpost indikator ke- n b. Rumus berikut digunakan untuk menghitung: 1 Indeks Transmigran tanpa Akses Sarana Kesehatan atau disebut Indeks Kesehatan Transmigran 2 Indeks Transmigran Miskin disebut Indeks Perekonomian Transmigran 3 Indeks Penduduk Kecamatan tanpa Akses Sarana Kesehatan atau disebut Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar min min 1 n n n n X maks X X X I    