jalan,  komoditas  utama  transmigrasi,  karakteristik  transmigran  dari  proses seleksi  transmigran,  lamanya  penempatan  transmigran,  serta  faktor-faktor
kinerja makro wilayah kabupaten. Desa-desa  yang  berjarak  relatif  jauh  dari  pusat kegiatan  ekonomi  dalam  hal
ini  ibu  kota  kabupaten  serta  memiliki  kualitas  jalan  yang  kurang  memadai cenderung  memiliki  perkembangan  yang  lebih  lambat  berada  pada  stadia
rendah.  Ini  menunjukkan  bahwa  lokasi-lokasi  transmigrasi  dengan  tingkat keterkaitan yang kuat dengan pusat pertumbuhankegiatan yang secara umum
digambarkan  oleh  jarak  yang  relatif  dekat  dan  memiliki  tingkat  kemudahan aksesibilitas  tinggi  menuju  lokasi  desa  akan  memiliki  peluang  yang  lebih
besar untuk mencapai perkembangan yang tinggi. Komoditi  tanaman  utama  yang  dikembangkan  di  desa  juga  menunjukkan
pengaruh  terhadap  perkembangan  desa.  Desa  dengan  komoditi  tanaman pangan  cenderung  memiliki  perkembangan  yang  lambat  dibandingkan
tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit. Dibandingkan  dengan  tanaman  perkebunan,  hasil-hasil  pertanian  tanaman
pangan  memiliki  nilai  jual  produk  yang  relatif  kurang  menguntungkan dibandingkan tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit. Ini menyebabkan
tingkat  kesejahteraan  masyarakat  di  desa-desa  dengan  komoditi  tanaman pangan  juga  relatif  lebih  rendah  dibandingkan    dengan  desa-desa  dengan
komoditi  tanaman  perkebunan.  Kondisi  ini  juga  diperburuk  oleh  kenyataaan tingkat  perawatan  sistem  pengairan  khususnya  pada  tanaman  padi  serta
banyaknya  lokasi  desa-desa  tanaman  pangan  yang  dilanda  banjir  sebagian desa-desa ini berada di dataran rendah.
Desa-desa dengan penempatan  yang  lebih  lama  memiliki peluang  yang  lebih besar  untuk  mencapai  stadia  tertinggi.  Lama  penempatan  ini  terkait  dengan
proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi  lingkungan  sekitarnya serta kemampuan  untuk  menemukan  peluang  untuk  peningkatan  kesejahteraan.
Semakin lama transmigrasn di lokasi, maka semakin besar proses penyesuaian diri yang dilakukannya.
Berdasarkan daerah asal terlihat bahwa kinerja transmigran dari Jawa Tengah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Hal ini terlihat dari kenyataan
bahwa desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik.
Selanjutnya,  kinerja  makro  wilayah  juga  menjadi  faktor  penentu perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaanusaha
yang  berkembang  di  kabupaten  lokasi  desa  eks  transmigrasi  meningkatkan peluang  desa-desa  tersebut  untuk  mencapai  perkembangan  yang  lebih  baik.
Keberadaan  perusahaanusaha  di  suatu  daerah  pada  dasarnya  terkait  dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin
banyak  perusahaanusaha  pada  semakin  besar  peluang  penduduk  untuk mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka.
3.   Pada tingkat individukeluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada transmigran  dipengaruhi  oleh  budaya  etos  kerja,  pendidikan,  beban
tanggungan  keluarga  dan  kemampuan  mempertahankan  kepemilikan  lahan. Etos kerja yang lebih tinggi pada transmigran asal Jawa menyebabkan mereka
lebih sejahtera dibandingkan transmigran lokal asal Jambi. Bersamaan dengan etos kerja ini, pendidikan transmigran juga mempengaruhi
pencapaian perkembangan stadia tertinggi. Desa-desa stadia tinggi cenderung memiliki  kepala  keluarga  dengan  pendidikan  yang  lebih  baik  dibandingkan
desa-desa stadia rendah. Dari  struktur  keluarga  menunjukkan  adanya  pengaruh  beban  tanggungan
keluarga terhadap kesejahteraan transmigran sekaligus pencapaian stadia desa. Hal  ini  ditunjukkan  oleh  kenyataan  bahwa  desa-desa  stadia  tinggi  umumnya
memiliki  angka  beban  tanggungan  keluarga  yang  lebih  rendah  dibandingkan desa-desa stadia rendah.
Faktor  lainnya  yang  terkait  dengan  kesejahteraan  transmigran  adalah kemampuan  dalam  mempertahankan  kepemilikan  lahan.  Desa-desa  stadia
tinggi cenderung memiliki proporsi keluarga dengan  kepemilikan lahan  yang lebih besar dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah.
4.   Hasil  penelitian  menemukan  rendahnya  interaksi  desa-desa  eks  transmigrasi dengan  desa  non-transmigrasi.  Rendahnya  interaksi  ini  disebabkan  tidak
terbangunnya  berbagai  fasilitas  dan  tidak  tumbuhnya  aktivitas  produksi  di desa-desa  sekitar  permukiman  transmigrasi  yang  terkait  secara  fungsional
dalam  bentuk  supply-demand  dengan  desa-desa  transmigrasi.  Di  sisi  lain, relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem
transportasi  yang  menghubungkan  desa  transmigrasi  dengan  desa  sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi.
Selain  faktor  tersebut,  rendahnya  interaksi  antara  desa-desa  eks  transmigrasi dengan  desa  sekitarnya  juga  disebabkan  masih  lemahnya  upaya-upaya
pengembangan  modal  sosial  pada  tingkat  komunitas,  dimana  salah  satu  ciri pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan
Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks bridging social  capital
terlihat  dari  fakta  di  desa  penelitian  tidak  terdapatnya  forum- forum  ataupun  lembagaperkumpulanorganisasi  yang  dikembangkan  yang
melibatkan  secara  bersama-sama  masyarakat  di  desa  transmigrasi  dan masyarakat  di  sekitar  desa  transmigrasi.  Selain  itu,  pada  tahap  pembinaan
sub-tahap penyesuaian, perlakuan hanya diberikan kepada transmigran untuk bisa  beradaptasi  dengan  lingkungannya  baik  secara  sosial  ekonomi,  budaya
dan  fisik,  dan  tidak  ada  perlakuan  yang  sama  kepada  masyarakat  di  sekitar desa  transmigrasi.  Ini  menyebabkan  rendahnya  proses  penyesuaian
masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru dari pendatang dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya antar penduduk
setempat dengan transmigran pendatang.
9.2  Saran Kebijakan
Dari  kesimpulan  yang  diberikan,  terdapat  dua  saran  kebijakan  yang  dapat dikembangkan  dalam  pembangunan  perdesaan  secara  umum  dan  pengembangan
transmigrasi ke depan yaitu: 1. Pentingnya industri perdesaan dalam meningkatkan aktivitas dan produktivitas
pertanian  serta  keberlangsungan  kesejahteraan  masyarakat  perdesaan menunjukkan  indikasi  perlunya  intervensi  faktor  eksternal  baik  dari  pihak
pemerintah  maupun  pihak  swasta  dalam  mengembangkan  industri  perdesaan. Intervensi  tersebut  dapat  berupa  pengembangan  keterampilan,  bantuan
permodalan, maupun  penciptaan  iklim  investasi  agar  industri perdesaan  dapat berkembang  dengan  baik.  Selain  itu,  perlu  dikembangkan  kebijakan  dalam
pengintegrasian  industri  perdesaan  dengan  industri  perkotaan  dalam  bentuk penyusunan jalur kesinambungan atau processing berkesinambungan.
2.  Dalam  pengembangan  transmigrasi  sebagai  program  pembangunan  perdesaan dan  pembangunan  daerah,  penelitian  ini  menyarankan  pola  pembangunan
kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara  sosial-fungsional-spasial.  Pengembangan  interaksi  secara  sosial
dilakukan  melalui  pendekatan  pengembangan  modal  sosial  dalam  masyarakat khususnya  dalam  konteks  bridging  social  capital.  Pengembangan  interaksi
fungsional  dilakukan  melalui  pembangunan  infrastruktur,  fasilitas  dan kelembagaan yang terkait secara fungsional antardesa. Pengembangan interaksi
spasial dilakukan melalui pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa. Kerangka  perencanaan  dan  penetapan  kawasan  transmigrasi  harus  diletakkan
dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh.  Oleh karenanya pembangunan  transmigrasi  dalam  konsep  menjadi  satu  bagian  yang  tidak
ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah. Untuk itu  diperlukan  perkuatan  koordinasi  antarinstansi  terkait  dalam  perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi tersebut.
9.3  Saran Penelitian Lanjutan
1.  Model  pengukuran  perkembangan  desa  ini  dapat  diterapkan  untuk  melihat tahapan  perkembangan  desa  secara  umum. Oleh  karenanya, disarankan  untuk
penelitian lanjutan adalah menggunakan peubah-peubah  yang digunakan pada penelitian  ini  pada  desa-desa  non-transmigrasi  agar  dapat  dibandingkan
perbedaaanpersamaan proses yang terjadi dengan desa-desa eks transmigrasi. 2.  Perlu  dilakukan  penelitian  lanjutan  terkait dengan  unsur-unsur  potensial  yang
dapat  digunakan  untuk  mengembangkan  modal  sosial  antara  permukiman transmigrasi dengan desa sekitarnya, khususnya pada aspek interaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah  P,  Alisjahbana  A,  Effend  N,  Boediono.  2002.  Daya  Saing  Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia.
Yogyakarta: BPFE-UGM. Adiatmojo  GD.  2008.  Model  Kebijakan  Pengembangan  Kawasan  Transmigrasi
Berkelanjutan  di  Lahan  Kering  Studi  Kasus  di  Kawasan  Transmigrasi Kaliorang  Kabupaten  Kutai  Timur  [Disertasi].  Bogor:  Sekolah  Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor
Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Jakarta: Graha
Ilmu. Alkadri.  2001.  Manajemen  Teknologi  Untuk  Pengembangan  Wilayah.  Jakarta:
BPPT. Alkadri,  Muchdie,  Suhandojo.  2001.  Tiga  Pilar  Pengembangan  Wilayah:
Sumberdaya Alam, Sumber daya Manusia dan Teknologi. Jakarta: BPPT Ahmad R. et al. 1998. Membangun Desa-Desa Transmigrasi Membangun UPT
Model .  Jakarta:  Pusat  Penelitian  dan  Pengembangan  Departemen
Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan RI. Ananta A. 1986. Transmigrasi: Suatu Analisis Ekonomi. Di dalam: Swasono SE,
Singarimbun M, editor.  Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1904 – 1985
. Jakarta: UI-Press Anharudin, Dewi RN, Anggraini R. 2006 Membidik Arah Kebijakan Transmigrasi
Pasca Reformasi . Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans.
Anharudin,  Priyono,  Susilo  SRT.  2008.  Transmigrasi  di  Era  Kabinet  Indonesia Bersatu
. Jakarta: Bangkit Daya Insana Anwar  A.  2005.  Peranan  Perencanaan  Inter-Regional  yang  Mendukung
Pertumbuhan  Ekonomi.  Di  dalam  Ahmad  WM,  editor.  Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
. Bogor: P4W Press. [Bappenas]  Badan  Perencanaan  dan  Pembangunan  Nasional.  2003.  Model
Pengelolaan dan
Pengembangan Keterkaitan
Program Dalam
Pengembangan  Ekonomi  Daerah  Berbasis  Kawasan  Andalan .  Jakarta:
Bappenas. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2005. Laporan Hasil
Evaluasi  Program  Pengembangan  Wilayah  Strategis  dan  Cepat  Tumbuh Sub Program Transmigrasi
. Jakarta: Bappenas. [Bappenas]  Badan  Perencanaan  dan  Pembangunan Nasional.  2006.  Keterpaduan
Kebijakan Antar Sektor dan Antar Daerah dalam Peningkatan Daya Saing Kawasan  Andalan  dan  Percepatan  Pembangunan  Daerah  Tertinggal
. Jakarta: Bappenas.
Belke A, Heine J. 2004. Specialisation Pattern and the Synchronicity of Regional Employment  Cycles  in  Europe.  Discussion  Paper  No.1439:  Institute  for
the Study of Labor. IZA . Bonn: Institute for the Study of Labor. IZA
Bintarto.  1983.  Interaksi  Desa-Kota  dan  Permasalahannya.  Jakarta:  Ghalia Indonesia
Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics.  Boston: Richard D. Irwin, Inc. Boar  BH.  1993.  The  Art  of  Strategic  Planning  for  Information  Technology,
Crafting Strategy for The 90s . New York. John Wiley  Sons, Inc.
[BPS]  Badan  Pusat  Statistik.  2005.  Identifikasi  dan  Penentuan  Desa  Tertinggal Tahun 2002
. Jakarta: Badan Pusat Statistik [BPS]  Badan  Pusat  Statistik.  2010.  Perkembangan  Beberapa  Indikator  Utama
Sosial Ekonomi Indonesia . Jakarta: BPS.
[BPS  Jambi]  Badan  Pusat  Statistik  Provinsi  Jambi.  2011.  Jambi  dalam  Angka 2011
. Jambi: BPS Bradley  R,  Gans  JS.  1998.  Growth  in  Australian  Cities.  Economic  Record  74:
266-278 Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta: Pradnya Paramita. Collier  WL,  Santoso  K,  Soentoro,  Wibowo  R.  1996.  Pendekatan  Baru  dalam
Pembangunan Perdesaan di  Jawa: Kajian Perdesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun
. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Darnela,  L.  2007.  Sustainable  Development:  Paradigma  Baru  dalam  Kebijakan
Bank Dunia. SOSIO-RELIGIA 6 5: 1-21 Deni  R,  Djumantri  M.  2002.  Pergeseran  Pendekatan  dalam  Perencanaan
Pengembangan  WilayahKawasan  di  Indonesia.  Di  dalam:  Winarso  H  et al
. editor. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam era Transformasi di Indonesia
. Bandung. Departemen Teknik Planologi ITB. [Deptrans    PPH]  Departeman  Transmigrasi  dan  Pemukiman  Perambah  Hutan.
1999.  Visi,  Misi,  dan  Paradigma  Baru  Pembangunan  Transmigrasi. Seminar Ketransmigrasian.
Bandung. PPK-UNPAD. Direktorat  Pengembangan  Kawasan  Ditjen  Penataan  Ruang  Departemen
Pemukiman  dan  Prasarana  Wilayah.  2002.  Pendekatan  dan  Program Pengembangan Wilayah. Bulletin Kawasan 2.
[Disosnakertrans  Pemprov  Jambi]  Dinas  Sosial  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi Pemerintah
Provinsi Jambi.
2010. Buku
Selayang Pandang
Penyelenggaraan  Transmigrasi  Provinsi  Jambi .  Jambi:  Disosnakertans
Pemprov Jambi Dixon  JA.  1980.  Biaya-biaya  Pemukiman  Atas  Areal  Tanah  dan  Alternatif-
alternatifnya. Prisma 85: 68-83
Djojoprapto  T.  1995.  Perkembangan  penyelenggaraan  transmigrasi.  Di  dalam Utomo M, Ahmad R. editor. 90 tahun Kolonisasi, 45 tahun Transmigrasi:
Redistribusi penduduk di Indonesia . Jakarta: Penebar Swadaya.
Douglass  M.  1998.  A  Regional  Network  Strategy  for  Reciprocal  Rural-Urban Linkages:  An  Agenda  for  Policy  Research  with  Reference  to  Indonesia.
Third World Planning Review 201: 1-22
Downey  W,  Steven  PE.  1987.  Agribusiness  Management.  New  York.  Mc  Graw Hill Book Company.
Edillon RG. 2008. Social Protection to Secure the Right to Food of Everi Filipino. Manila: FAO Fiat Panis.
Esman  MJ,  Uphoff  NT.  1988.  Local  Organizations:  Intermediaries  in  Rural Development, Itacha dan London:
Cornell University Press Fearnside PM. 1997. Transmigration in Indonesia: Lesson from its Enviromental
and Social Impacts. Enviromental Management 214: 553-570 Fowler  A.  1992.  Prioritizing  Institutional  Development:  A  New  Role  for  NGO.
Centres  for  Study  and  Development.  Sustainable  Agriculture  Programe .
London:  International  Institute  for  Environment  Environment  and Development.
Freshwater D. 2000. The Promotion of Employment and Economic Development. Makalah di presentasikan dalam  Rural21. Postdam, Germany: Juni 4 – 8,
2000 Fu  CL.  1981.  Rural-Urban  Relations  and  Regional  Development.  Singapore:
Huntsmen Offset Printing Pte Ltd. Ghozali I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
BP Undip. Hadjisarosa  P.  1988.  Regional  Development.  Di  dalam    Birowo  et  al.  editor.
Settlement  Concept  As  An  Integrated  Part  of  Regional  and  Rural Development
. Jakarta: Mercu Buana University. Hadjisarosa  P.  1982.  Konsepsi  Dasar  Pengembangan  Wilayah  di  Indonesia.
Jakarta: BP PU. Hafsah MJ. 2006. Pembangunan Perdesaan. Di dalam: Rustiadi E, Hadi S, Ahmad
WM,  editor.  Kawasan  Agropolitan,  Konsep  Pembangunan  Desa-Kota Berimbang
. Bogor: Crestpent Press. hlm. 68-72. Handayani  SA.  1994.  Transmigrasi  di  Indonesia  dalam  Perspektif  Sejarah.
Jember: Universitas Jember. Hansen  GE.  1981. Agricultural and  Rural  Development in  Indonesia.  Colorado:
Wetview Press. Harmantyo  D.  2007.  Pemekaran  Daerah  dan  Konflik  Keruangan:  Kebijakan
Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara Sains 11 1: 16-22
Haruo N. 2000. Regional Development in Third World Countries: Paradigms and Operational  Principles
.  Tokyo:  The  International  Development  Journal Co.Ltd.
Haryati,  Soegiharto  S,  Priyono,  Wibowo  DP,  Purbandini  L,  Warsono  SH. 2006. Studi  Pembangunan  Pusat  Pertumbuhan
.  Jakarta:  Pusat  Penelitian  dan Pengembangan  Ketransmigrasian  Departemen  Tenaga  Kerja  dan
Transmigrasi. Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi
terhadap  Perubahan  Kelembagaan  di  Asia.  Jakarta:  Yayasan  Obor Indonesia. Terjemahan dari: Asian Village Economy at the Crossroads: An
Economic Approach to Institutional Change
Heeren HJ. 1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hilhorst  JGM.  1971.  Regional  Planning:  A  System  Approach.  Rotterdam:
Rotterdam University Press. Horton PB, Hunt CL. 1982. Sociology. New York: Mc. Graw Hill
Jamal  E.  2009.  Membangun  Momentum  Baru  Pembangunan  Perdesaan  di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 281:7-13
Jayadinata  JT.  1986.  Tata  Guna  Tanah  dalam  Perencanaan  Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah
. Bandung: Penerbit ITB. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press.
Junaidi,  Hardiani.  2009.  Dasar-Dasar  Teori  Ekonomi  Kependudukan.  Bogor: Hamada Prima
Kemenakertrans. 2011.
UPT Menjadi
Pusat Pemerintahan
2010. http:www.depnakertrans.go.idpusdatin.html,110,16,ptrans  [5  Januari
2011] Kemenakertrans.  2012.  UPT  Penempatan  Transmigrasi  dari  Era  Kolonisasi  sd
Tahun  2011.  http:www.depnakertrans.go.idpusdatin.html,8,352,ptrans [24 Januari 2012]
[Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.  12  Tahun  2007  tentang  Pedoman  Penyusunan  dan  Pendayagunaan
Data Profil Desa dan Kelurahan. Jakarta: Kemendagri Koestoer,  Hendro  R,  Yanti.  1995.  Perspektif  Lingkungan  Desa  Kota:  Teori  dan
Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Krugman  P,  Venables  AJ.  1995.  Globalization  and  Ineequality  of  Nations. Quarterly Journal of Economics
60: 857-880 Krugman P. 1998. The Role of Geography  in Development.  Paper prepared for
the  Annual  World  Bank  Conference  on  Development  Economics .
Washington D.C. April 20-21 1998 Lee  ES. 1992. Teori Migrasi. Yogyakarta: PPK-UGM
Mac.Kinnon  D.  2008.  Evolution,  Path  Depedence  and  Economic  Geography. Geography Compass
2: 1449-1463