Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Pemukiman Kawasan Transmigrasi

6 kemitraan usaha dengan investorbadan usaha dapat meningkatkan perkembangan sentra produksi pangan. Belajar dari berbagai kisah sukses transmigasi, Soegiharto 2008 membagi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transmigrasi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkatan individu transmigran, unit permukiman transmigrasi UPT dan kawasan. Ketiga tingkatan ini saling saling mengkait dan memperkuat untuk terwujudnya keberhasilan transmigrasi. Pada tingkatan individu faktor keberhasilan terdiri atas 1 motivasi, 2 modal dan 3 pendidikan dan keterampilan. Ketiga faktor tersebut mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya dalam mewujudkan transmigran sukses. Berdasarkan hal tersebut, untuk mendukung keberhasilan transmigran terlihat adanya suatu pola yang perlu mendapat perhatian. Transmigran sebaiknya adalah orang-orang yang memiliki semangat keja dan modal. Calon transmigran sebaiknya juga memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, minimal SMP atau sederajat. Mereka juga perlu dibekali keterampilan berusaha mandiri disamping pengetahuan tentang pertanian. Transmigran yang telah menunjukkan kemampuan mengembangkan usaha produktif, perlu segera mendapat dukungan permodalan untuk mempercepat perkembangan usahanya. Dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi yang ada di lokasi transmigrasi, diperlukan tenaga pendamping guna memotivasi dan membantu masyarakat. Pada tingkatan UPT, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transmigrasi adalah 1 kesuburan tanah, 2 infrastruktur pertanian, 3 aksesibilitas akses ke pusat ekonomi, 4 kelembagaan sosial, 5 kelembagaan ekonomi, 6 investor, pendamping dan penggerak swadaya masyarakat. Selanjutnya pada skala kawasan, berkembangnya kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan dipengaruhi oleh: 1 luas wilayah kawasan skala ekonomi, 2 dikembangkan berdasarkan perencanaan yang berbasis feasibility study, 3 kegiatan pengembangan bersifat multi years dan dalam jangka panjang 15–20 tahun, 4 terdapat tenaga pendamping yang terjamin keberadaannya di lokasi, serta 5 ada kebijakan dan regulasi untuk penetapan dan pengaturan ruang kawasan. III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pemikiran

Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian serta kesejahteraan masyarakat perdesaan. Dalam konteks tersebut, pembangunan perdesaan tidak hanya diarahkan pada aspek usaha tani saja, tetapi juga pada pada pengembangan agribisnis secara utuh. Pengembangan agribisnis mencakup mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi agroindustri, pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: 1 subsistem produksi usaha tani; 2 subsistem pengolahan agroindustri hulu dan hilir; 3 subsistem pemasaranperdagangan; dan 4 subsistem lembaga penunjang. Subsistem produksi adalah penggerak utama agribisnis. Berkembangnya produksi akan menimbulkan kaitan ke belakang backward linkages berupa kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang pelaku lainnya untuk menangani pemasaranperdagangan input produksi usahatani. Keberhasilan dalam pemasaranperdagangan input produksi ini, dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku. Produk pertanian juga memerlukan pengolahan lebih lanjut karena bersamaan dengan peningkatan pendapatan mereka, konsumen juga akan semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan. Karenanya, modernisasi sektor produksi usahatani akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian. Berdasarkan pola pikir ini, maka pengembangan agribisnis dalam pembangunan perdesaan tidak hanya akan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan tetapi juga akan menumbuhkan berbagai aktivitas non-pertanian baik pada industri pertanian, industri non-pertanian, perdagangan dan jasa lainnya. Bersamaan dengan berkembangnya berbagai aktivitas tersebut maka desa pertanian akan berkembang menjadi desa industri atau desa urban urbanisasi kota kecilmenengah. Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam pembangunan perdesaan juga terkait dengan perluasan kesempatan kerja untuk menghasilkan pendapatan agar masyarakat mampu mempertahankan gaya hidup perdesaan mereka. Dalam perspektif masyarakat perdesaan hal tersebut pada dasarnya mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan khususnya pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selanjutnya, dalam konteks memahami perkembangan perdesaan secara umum tersebut, penelitian ini mengambil kasus program transmigrasi sebagai program pembangunan desa pada wilayah baru. Penyelenggaraan transmigrasi dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap penempatan dan tahap pembinaan. Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan lokasi penempatan pemukiman transmigrasi, komoditas yang akan dikembangkan serta pola transmigrasinya, penyiapan sarana-prasana pemukiman serta penyiapan calon transmigrasi termasuk penyeleksian calon transmigrasi dan pembekalan pelatihan. Setelah tahap persiapan, tahap berikutnya adalah tahap penempatan transmigran di lokasi terpilih. Selanjutnya adalah tahap pembinaan yang terbagi atas tiga sub-tahap yaitu tahap penyesuaian, pemantapan dan pengembangan. Pada sub-tahap penyesuaian, transmigran dibina untuk dapat segera beradaptasi di lingkungan baru sosial ekonomi, budaya dan fisik untuk mampu melaksanakan kehidupan di lokasi barunya tersebut. Pada sub-tahap pemantapan, transmigran dibina agar memiliki kemampuan mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada sub-tahap pengembangan, transmigran dibina agar mampu mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan kehidupannya secara berkelanjutan. Dengan demikian, pada pasca pembinaan, transmigran sudah berada pada kondisi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri dan siap untuk memasuki tahapan marketable surplus. Dalam konteks sistem transmigrasi, ini juga berarti transmigran sudah secara optimal memanfaatkan lahan pekarangan dan lahan usaha I LU I. Tahapan-tahapan dalam penyelenggaraan transmigrasi tersebut akan berdampak pada kondisi sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Tahapan penyelenggaraan transmigrasi ini juga akan mempengaruhi pola dan sifat keterkaitan permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya, yang pada tahap selanjutnya juga mempengaruhi kondisi sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Ini juga berarti bahwa output dari tahap penyelenggaraan transmigrasi juga dapat menentukan kuat atau lemahnya keterkaitan antara permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya. Konsep pembangunan transmigrasi merupakan konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan, yang mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, permukiman transmigrasi kemudian dirancang secara hirarkis, yang saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta distribusi barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan administrasi wilayah. Namun demikian, keberhasilan konsep ini sangat tergantung pada tingkat keterkaitan secara fungsional dalam bentuk supply-demand antara kondisi infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terbangun pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi dengan kondisi yang ada di permukiman transmigrasi. Jika pembangunan permukiman transmigrasi tidak berjalan searah dengan pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat di luar permukiman transmigrasi, pembangunan transmigrasi hanya akan menghasilkan kawasan enclave yang tidak berdampak optimal pada desa-desa di luar permukiman transmigrasi. Oleh karenanya, tingkat keterkaitan ini juga sangat ditentukan kemampuan lembaga terkait dalam berkoordinasi khususnya Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah, baik dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun pelaksanaan pembangunannya. Kondisi sistem agribisnis ini juga ditentukan kinerja perekonomian makro wilayah. Keterkaitan ini dapat dipandang dari sisi permintaan terhadap produk pertanian dan olahannya, sebagai output dari agribisnis. Peningkatan permintaan pada dasarnya bersumber dari peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan pendapatan merupakan hasil kinerja makro perekonomian wilayah. Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian Pengembangan Agribisnis Desa Pertanian P en y e le n g g a ra a n T r a n sm ig ra si K in e r ja P a sc a P e m b in a a n Tahap Persiapan Komoditas Pola Trans Penyiapan Sarana Prasarana Penyiapan Calon Transmigran Seleksi Lokasi Trans Tahap Penempatan Tahap Pembinaan Penyesuaian Pemantapan Pengembangan KONDISI SISTEM AGRIBISNIS Marketable Surplus Industri Pertanian Industri Non- Pertanian Industrialisasi Perdesaan Peningkatan Sistem Produksi Peningkatan Pendapatan Permintaan brg sekunder Permintaan brg tersier STADIA DESA  Kesejahteraan Penduduk  Aktivitas Pertanian  Aktivitas Non-Pertanian KATEGORI INDIKATOR KETERKAITAN DENGAN WILAYAH SEKITARNYA KINERJA MAKRO WILAYAH  Pertumbuhan Ekonomi  Kesempatan kerja P O L A T R A N S M IG R A S I K E D E P A N IV III II I Urbanisasi Kota KecilMenengah Industrialisasi Perdesaan Urbanisasi Desa PEMBANGUNAN PERDESAAN P E M B E L A J A R A N P E M B A N G U N A N D E S A Pembangunan ekonomi berkelanjutan Pada tahap selanjutnya, kondisi sistem agribisnis menjadi faktor penentu dari kinerja permukiman transmigrasi pasca pembinaan desa-desa eks transmigrasi. Untuk mengukur kinerja, penelitian ini menggunakan stadia pengembangan wilayah perdesaan Rustiadi et al . 2009. Dalam stadia pengembangan wilayah tersebut dinyatakan terdapat enam stadia, namun demikian dalam penelitian ini hanya akan menggunakan empat stadia. Dua stadia awal yaitu stadia sub-subsisten dan stadia subsisten diasumsikan telah dilewati oleh desa eks transmigrasi pasca pembinaan. Pada pasca pembinaan, d engan berkembangnya sistem agribisnis, transmigran mulai mengusahakan lahan usaha II LU II. Lahan usaha II sebagai jatah lahan cadangan dimaksudkan untuk pengusahaan yang mampu memberikan pendapatan jangka panjang dengan nilai yang memadai. Mekanisme dan pola pengusahaan lahan usaha sangat ditentukan oleh dan terintegrasi dengan perkembangan sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Peningkatan produksi karena pengusahaan lahan usaha II ini membawa transmigran pada stadia marketable surplus hasil usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya Stadia I. Surplus hasil pertanian ini memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan atas barang-barang olahan utama. Berkembangnya industi hasil pertanian skala kecil menandakan masuknya desa-desa eks transmigrasi pada stadia industri pertanian Stadia II. Berkembangnya industri pertanian akan meningkatkan permintaan hasil pertanian. Ini berdampak pada peningkatan pendapatan transmigran. Peningkatan pendapatan transmigran akan meningkatkan permintaan terhadap produk-produk non-pertanian terutama barang-barang sekunder Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil, sehingga desa-desa eks transmigrasi masuk pada stadia industri non-pertanian Stadia III Berkembangnya aktivitas industri tidak hanya berfungsi menampung surplus hasil produksi pertanian, tetapi juga menampung surplus tenaga kerja di sektor pertanian agar tetap menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian.