Tabel 4 Lanjutan Tema
Sub-Tema Indikator
Cakupan pelayanan kesehatan
Persentase penduduk dengan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan primer
Tingkat prevalensi kontrasepsi Imunisasi
Status gizi Status gizi anak
Status dan resiko kesehatan
Morbiditas dari penyakit-penyakit utama seperti HIVAIDS, malaria tuberkolosis
Prevalensi penggunaan tembakau Tingkat bunuh diri
Pendidikan Demografi
Tingkat pendidikan Rasio murid baru terhadap murid kelas akhir
pada pendidikan dasar Pembelajaran seumur hidup
Tingkat penerimaan bersih net enrolment rate pada pendidikan dasar
Tingkat pencapaian pendidikan sekunder tersier pada penduduk dewasa
Melek huruf Tingkat melek huruf dewasa
Penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk
Tingkat Fertilitas Total TFR Rasio beban ketergantungan
Pariwisata Rasio penduduk lokal terhadap wisatawan pada
daerah dan tujuan pariwisata utama Diversifikasi
Lahan yang terpengaruh oleh desertifikasi pertanian
Area lahan pertanian permanen dan subur Efisiensi penggunaan pupuk
Penggunaan pestisida pertanian Area dengan pertanian organis
Kehutanan Proporsi lahan untuk hutan
Persentase hutan rusak karena penggundulan Area hutan yang dikelola secara berkelanjutan
Laut dan Pesisir
Zona pesisir Persentase penduduk yang tinggal di pesisir
Kualitas air laut untuk berenang Perikanan
Proporsi cadangan ikan dalam batas aman secara biologi
Marine trophic index Area ekosistem terumbu karang dan persentase
yang terlindungi Air Tawar
Kuantitas air Proporsi penggunaan sumber air
Intensitas penggunaan air oleh aktivitas ekonomi Kualitas air
Konsentrasi bakteri koli di air tawar BOD di badan air
Perlakuan air limbah Biodiversitas
Ekosistem Proporsi kawasan lindung, total dan berdasarkan
area ekologis Efektivitas pengelolaan kawasan lindung
Kawasan dari ekosistem terpilih Fragmentasi habitat
Spesies Perubahan pada status terancam dari spesies
Kelimpahan spesies terpilih Kelimpahan serbuan spesies asing
Tabel 4 Lanjutan Tema
Sub-Tema Indikator
Pembangunan ekonomi
Kinerja makro ekonomi PDB perkapita
Tabungan bruto Share tabungan pada PDB
Tabungan bersih sebagai persentase dari GNI Keberlanjutan keuangan
publik Rasio hutang terhadap GNI
Kesempatan kerja Rasio kesempatan kerja-penduduk
Kesempatan kerja yang rentan Produktivitas tenaga kerja dan biaya tenaga kerja
perunit Share wanita pada pekerjaan upahan di sektor
non-pertanian Teknologi informasi dan
komunikasi Penggunaan internet per 100 penduduk
Jaringan telpon tetap per 100 penduduk Pelanggan telpon seluler per 100 penduduk
Penelitian dan pengembangan
Pengeluaran domestik bruto pada R D sebagai persentase dari PDB
Pariwisata Kontribusi pariwisata terhadap PDB
Kerja sama ekonomi
global Perdagangan
Defisit neraca berjalan sebagai persentase dari PDB
Share impor dari negara-negara berkembang dan LDC
Rara-rata pengenaan tarif pada ekspor dari negara berkembang dan LDC
Keuangan eksternal ODA bersih yang diberikan atau diterima
sebagai persentase dari GNI Aliran masuk dan keluar bersih FDI sebagai
persentase dari PDB Remitans sebagai persentase dari GNI
Pola konsumsi dan produksi
Konsumsi material Intesitas material dari perekonomian
Konsumsi material domestik Penggunaan energi
Konsumsi energi tahunan, total dan berdasarkan kategori pengguna utama
Share dari sumber daya energi terbarukan dalam penggunaan energi total
Intensitas penggunaan energi, total dan berdasarkan aktivitas ekonomi
Pengelolaan dan pengolahan limbah
Pengolahan limbah berbahaya Pengolahan limbah
Perlakuan dan pembuangan limbah Pengelolaan limbah radioaktif
Transportasi Moda transportasi orang
Moda transportasi barang Intensitas energi transportasi
Sumber: United Nations 2007
Dalam konteks pembangunanperkembangan daerahwilayah, menurut Yunus 1991 tingkat perkembangan wilayah adalah ukuran peringkat secara
relatif yang menyatakan kemajuan yang dicapai oleh suatu wilayah sebagai hasil
aktivitas pembangunan dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Pengembangan dan pemilihan indikator dapat dilakukan secara sederhana karena semua angka atau besaran yang dapat menggambarkan keadaan daerah
dapat digunakan sebagai indikator. Pemilihan indikator kemudian menjadi penting bagi tindakan lebih lanjut yang perlu diambil oleh pemerintah daerah tersebut agar
di masa datang terjadi peningkatan nilai bagi daerah tersebut. Mulyanto 2007 mengemukakan bahwa saat ini telah dikembangkan
indikator-indikator yang cukup luas dalam pengukuran pembangunan daerah, yang tidak sekedar indikator PDBPDRB. Indikator-indikator tersebut baik yang
mencakup hasil interaksi dari berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik dalam suatu pola normal atau pola optimal maupun indikator yang mencerminkan
menangkap kualitas hidup. Berdasarkan hal tersebut, secara ringkas indikator pembangunan daerah, dapat dikelompokkan menjadi 3 tiga, yaitu: i indikator
ekonomi; ii indikator non ekonomi; serta iii indikator gabungan. Indikator pembangunan semacam PQLI Physical Quality of Life Index; HDI Human
Development Index ; dan juga RDI Regional Development Index termasuk
dalam kategori indikator gabungan. Rustiadi et al. 2009 telah merangkum berbagai pendekatan dalam
penetapan indikator, yang dibagi atas tiga pendekatan yaitu 1 indikator berbasis tujuan pembangunan; 2 indikator berbasis kapasitas sumber daya; dan 3
indikator berbasis proses pembangunan. Ketiga pendekatan tersebut dirincikan berdasarkan indikator-indikator operasionalnya sebagai berikut:
Tabel 5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basispendekatan
pengelompokannya
BasisPendekatan Kelompok Indikator operasional
Tujuan pembangunan
1. Produktivitas, Efisiensi dan
Pertumbuhan Growth
a. Pendapatan wilayah 1 PDRB
2 PDRB perkapita 3 Pertumbuhan PDRB
b. Kelayakan FinansialEkonomi 1 NPV 2 BC Rasio
3 IRR 4 BEP c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif
Kompetitif 1 LQ
2 Shift and Share Analysis SSA d. Produksi-produksi utama produksi,
produktivitas 1 Migas 2 Produksi padiberas
3 Karet 4 Kelapa sawit 2. Pemerataan,
Keberimbangan dan Keadilan
Equity a. Distribusi Pendapatan
1 Gini Rasio 2 Struktural vertikal
b. KetenagakerjaanPengangguran 1 Pengangguran terbuka
2 Pengangguran terselubung 3 Setengah pengangguran
c. Kemiskinan 1 Good-service ratio
2 Konsumsi makanan 3 Garis kemiskinan
d. Regional Balance 1 Spatial Balance primacy index, entropy
index, Williamson 2 Central Balance
3 Capital Balance 4 Sector Balance
3. Keberlanjutan Sustainability
a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi
c. Dimensi Sosial Sumber daya
1. Sumber daya Manusia
a. Pengetahuan b. Keterampilan c. Kompetensi d. Etos kerjasosial
e.Pendapatanproduktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia IPM
2. Sumber daya Alam a. Tekanan b. Dampak c. Degradasi
3. Sumber daya Buatan
a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas terhadap fasilitas
4. Sumber daya Sosial Social Capital
a. Regulasiaturan-aturan AdatBudaya Norm b. Organisasi
c. Rasa percaya trust Proses
Pembangunan 1.
Input 1. ProsesImplementasi
2. Output 3. Outcome
4. Benefit 5. Impact a. Input Dasar SDA,SDM, Infrastruktur, SDS
b. Input Antara,
transparansi, efisiensi
manajemen, tingkat partisipasi masyarakat stakeholder
c. Total volume produksi Sumber: Rustiadi et al. 2009
2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa
Pembangunan pemukiman transmigrasi pada dasarnya adalah pembangunan perdesaan dan pembangunan masyarakat desa. Oleh karenanya dalam memahami
perkembangan permukiman transmigrasi diperlukan pemahaman mengenai pembangunan perdesaan dan masyarakat desa.
Eksistensi dan variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis termasuk unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit
yaitu Desi yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana tempat tinggal bersama di sebut dengan “parish” di Belanda disebut
“waterschap” di Amerika Serikat disebut “borough”. Demikian pula di
Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan rumah-rumah misalnya Kampung dan Desa sebutan di Jawa-Barat, Gampong Aceh,
Huta atau Kuta Tapanuli, Marga Sumatera Selatan, Negorij Maluku,
Nagari Minangkabau, Wanua Minahasa, Gaukay Makasar, Banua
Kalimantan Barat dan lain sebagainya. Soetardjo 1984 mengemukakan bahwa: Desa adalah suatu kesatuan hukum
di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat
saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat
tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pedukuhan, ampean, kampung, cantilan
beserta tanah pertanian, tanah perikanan darat empang, tambak dan sebagainya tanah hutan dan belukar.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa atau yang disebut dengan
nama lain tentang Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Hayami dan Kikuchi 1987 mengartikan d
esa sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling
ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil
keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup masyarakat desa secara keseluruhan.
Pemahaman lebih lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto 1983 sebagai berikut: 1 daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang
tidak beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat, 2 penduduk, adalah hal yang meliputi
jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3 tata kehidupan,
dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa rural
society. Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah
berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan Ndraha 1984 mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen
pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut meliputi wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat utama dalam memposisikan desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan
manusia dengan lingkungannya. Koestoer et al. 1995 mengemukakan bahwa hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai oleh pemukiman yang tidak padat,
sarana transportasi yang langka, penggunaan lahan persawahan dan kecirian lain berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan.
Dalam kerangka itu, Ndraha 1984 mengungkapkan bahwa memahami desa secara komprehensif dapat dilakukan melalui wilayah, aspek yuridis, sosio-
kultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua aspek tersebut banyak mewarnai substansi dan eksistensi desa.
Unsur-unsur desa merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan unsur-unsur tersebut yang pada akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri
yang membedakan desa secara umum dengan kota, dan secara khusus membedakan antara desa yang satu dengan lainnya. Unsur-unsur desa tersebut
terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai kehidupan desa, seperti unsur sosial, fisiografi, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi.
Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher 1974 mendefinisikan pembangunan
perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut
Hansen 1981 pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada
dengan hal tersebut, Collier et al. 1996 mengartikan pembangunan perdesaan sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya.
Hafsah 2006 menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan
memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek
fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan perdesaan ini adalah :
a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi teknologi modernisasi pertanian dan mengintroduksikan perubahan-
perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah, organisasi masyarakat kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi,
perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah. b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih
merata. c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem
pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif. d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan
kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya. Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan
Bhooshan 1981 mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah
dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1 migrasi ke
daerah baru; 2 pembangunan pertanian; 3 industrialisasi perdesaan; 4 pendekatan kebutuhan dasar; 5 pembangunan perdesaan terpadu; 6 strategi pusat
pertumbuhan dan 7 pendekatan agropolitan. Selanjutnya menurut Jamal 2009 secara sederhana terdapat tiga kutub
pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pendekatan pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan
masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan
sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan trans- formasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masya-
rakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali
struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap- menyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan
berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan
industri. Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang
homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan
perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis,
serta menjadi alat pemerintah dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba
menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan.
Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari
masyarakat. Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk
mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1 pendekatan kawasan perdesaan