Jetis, Bantul K EJUJURA N SEORANG PEDAGANG CIM CAU

SMAN 1 Jetis, Bantul K EJUJURA N SEORANG PEDAGANG CIM CAU

Siang yang terik, suasana Pasar Barongan mulai sepi. Seba- gian pedagang mulai mengemasi barang-barangnya. Namun, hal ini tidak terjadi pada Pak Asep. Pria setengah baya ini terlihat masih sibuk melayani pembelinya yang memang datang pada siang hari di pasar.

Pak Asep, penjual cim cau berusia 48 tahun ini bukan pendu- duk asli Yogyakarta. Beliau seorang perantau dari Banjar, Jawa Barat yang tengah mengadu peruntungannya di Kota Gudeg ini. Di Yogyakarta ini beliau tinggal di Ponggok I, Bantul bersama keluarganya. Profesi yang tergolong masih baru ini baru beliau jalani sejak 2 tahun yang lalu.

“Mungkin karena jodoh, ya saya jalani saja.” Begitulah jawab- an ketika saya tanya tentang alasan beliau berjualan cim cau di Jogja.

Dulunya beliau ini adalah seorang sopir, namun, karena peng- hasilannya yang kurang mencukupi, akhirnya beliau membanting setir menjadi penjual cim cau dan mencoba merantau ke Jogja.

Jualan yang beliau jajakan adalah jajanan (camilan) khas dari Bandung yang cukup digemari masyarakat. Dalam berjualan beliau tidaklah sendiri, beliau membentuk sebuah kelompok yang terdiri dari 6 orang yang masing-masing mempunyai daerah penjualan sendiri-sendiri. Kelima rekannya berjualan di berbagai tempat, ada yang di Pasar Kepek, Pantai Parangtritis, Imogiri, Pongok, dan di Imogiri.

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Satu hal yang membuat cim cau Pak Asep ini laris adalah kejujur- an. Beliau dan teman-temannya membuat cim cau ini dengan cara alami, tidak memakai pengawet. Meski pada cendolnya diberi warna merah, namun pewarna yang digunakan adalah pewarna khusus makanan, bukan pewarna yang biasanya digunakan pedagang nakal. Padahal, kebanyakan pedagang menggunakan pewarna asal agar mendapat keuntungan yang lebih besar meski hal itu mem- bahayakan pembelinya. Beliau berpikiran kesehatan adalah no- mor satu, bagi mereka percuma saja berjualan apabila pembeli- nya sakit. Karena sebagian besar pembelinya adalah anak kecil.

Selain itu, beliau dan rekan-rekannya juga hanya memakai cim cau tersebut sekali pakai. Apabila tidak habis, tidak boleh disim- pan, tetapi langsung dibuang. Karena jika disimpan dapat mem- bahayakan pembelinnya. Meskipun mendapat rugi, namun beliau senang apabila pembelinya mendapat kenikmatan dan kesehatan dalam dagangannya.

Keuntungan yang beliau dapat kira-kira sebesar Rp50.000,00, itu pun kalau dagangannya habis. Saat dimana beliau mendapatkan banyak pelanggan adalah saat musim kemarau, kalau musim hujan kadang hanya beberapa yang membeli bahkan tidak ada. Dan hal itu membuat beliau rugi, karena harus membuang jualannya dan menutupi biaya produksi. Namun, beliau tak berkeluh kesah menghadapinya. Karena pekerjaan yang beliau jalani sekarang ini membawa berkah dan memberikan manfaat dan kejujuran pada beliau. “Saya sangat suka pekerjaan ini, mungkin karena prinsip pembuatan yang alami itu,” paparnya.

Dalam hal resep, beliau menggunakan resep khusus yang lain dari kebanyakan pedagang. Beliau dan rekan-rekannya juga memiliki ciri tersendiri, mereka menggunakan gula merah yang benar-benar kental dan santan yang begitu gurih. Meski harga cim cau yang mereka jual hanya Rp1.000,00/bungkus. Harga yang cukup murah untuk cim cau yang begitu enak. Padahal biasanya penjual cim cau yang mematok harga sama, menggunakan gula merah yang benar-benar encer.

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Kejujuran membawa berkah, meskipun tak disampaikan na- mun itulah moto Pak Asep dan rekan-rekannya, yang masih memi- kirkan pembelinya pada zaman modern yang penuh persaingan ini.***

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Ratri Fahmi Ardanti