Pundong, Bantul INDONESIA DIJIPLAK, INDONESIA MENJIPLAK

SMAN 1 Pundong, Bantul INDONESIA DIJIPLAK, INDONESIA MENJIPLAK

Akhir-akhir ini, marak sekali pemberitaan tentang peng- klaiman budaya nasional kita. Dari lagu sampai tarian tradisional Indonesia. Lagu Rasa Sayange, Bengawan Solo, dan tari Pendet adalah beberapa diantaranya. Semua kebudayaan yang disebut- kan di atas diklaim sebagai kebudayaan Malaysia. Khusus tari Pendet diklaim lewat iklan pariwisata negeri Jiran tersebut.

Tak pelak, hal itu memunculkan banyak reaksi yang luar biasa dari masyarakat. Banyak pihak, terutama pemilik asli budaya itu, yang menyayangkan sikap Malaysia yang sudah semena-mena menyertakan beberapa kebudayaan Indonesia dalam iklan pari- wisataanya. Beberapa masyarakat menyerukan untuk “meng- ganyang” Malaysia yang dicap pencuri warisan asli Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah kini telah mengupa- yakan langkah antisipasi terhadap budaya-budaya kita yang lain. Antara lain dengan mematenkan beberapa hasil budaya kita, contohnya batik.

Kini, mari kita bandingkan dengan pemberitaan lain yang lumayan hangat di masyarakat saat ini. Kasusnya agak sedikit berbeda. Bila di masa lalu kita adalah korban, maka kali ini kita naik level menjadi pelaku. Ya, penjiplakan.

Kalau penjiplakan kaset, VCD atau CD secara diam-diam, itu sudah biasa. Kali ini hasil penjiplakannya bisa kita lihat secara langsung tiap hari di televisi. Dalam kasus ini adalah penjiplakan drama.

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Saat ini perkembangan sinetron di Indonesia memang sedang bagus-bagusnya. Sinetron banyak menjadi pilihan program favorit. “Sinetron adalah program favorit kami, tiap kali saya dan keluarga berkumpul,” ujar Desti, salah satu penikmat sinetron. Namun jangan bangga dulu! Fakta membuktikan bahwa tidak semua sinetron di Indonesia adalah hasil kreativitas para sineas Indonesia.

“Ada lebih dari seratus sinetron yang merupakan hasil pen- jiplakan drama lain,” kata salah satu netizen di situs internet. Pernyataan di atas bukannya tanpa bukti. Ada satu contoh konkrit yang bisa membuktikan pernyataan tersebut. Kali ini saya mengalaminya sendiri. Beberapa bulan yang lalu, saya menyaksikan sebuah sinetron berjudul “Bintang dan Kejora”. Saya lumayan suka dengan cerita pembukanya. Beberapa hari kemudian, saya iseng menonton drama Korea, Brilliant Legacy, di channel lain, dan cerita pembukanya benar-benar mirip. Setelah saya tanya ke teman-teman pencinta drama Korea lainnya, ternyata memang benar bahwa episode awal sinetron itu menjiplak drama Korea. Ketika saya menonton sinetron itu lagi, alur ceritanya sudah diubah. Entah kenapa, saya tidak tahu. Apa karena sudah ketahuan, atau alasan lainnya.

Sebenarnya kalau kita mencermati, masih banyak sinetron model jiplak seperti itu. Cinta Bunga, Peluk Aku Tiga Menit, Candy, dan lain-lain. Sayangnya, meski sudah ketahuan menjiplak, banyak yang masih tidak mau membayar royalty kepada pemilik asli drama yang dijiplak. Dan kali ini, korbannya adalah para sineas di Korea, Taiwan, China, bahkan Singapura.

Sayangnya, masyarakat masih kurang respon untuk kasus yang satu ini. Selain itu banyak juga masyarakat yang belum tahu fakta terse- but. Sementara yang sudah tahu, menaggapi fakta itu dengan dingin.

“Saya tahu sebagian sinetron juga tidak menjiplak seluruhnya,” ujar Desti. Meski begitu, Desti mengakui bahwa maraknya penjiplakan drama di sinetron dalam negeri itu, membuat para sineas Indonesia kurang kreatif untuk membuat sesuatu yang belum pernah ditayang- kan oleh manapun juga.

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Lain halnya dengan Dina, salah satu ibu rumah tangga yang merupakan pencinta sinetron Indonesia. Ia sama sekali tidak tahu dengan fakta tersebut, dan menurutnya, sinetron Indonesia itu akan lebih bagus apabila tidak menjiplak drama negara lain. Tetapi, ia menambahkan bahwa ia akan tetap menonton sinetron itu, karena sudah kadung cinta.

Berbeda dengan kasus klaim, kasus penjiplakan ini “sepi-sepi” saja dari reaksi masyarakat dan pemberitaan di televisi. Kalaupun ada, itu bukan kasus penjiplakan drama, tetapi penjiplakan musik. Diberitakan bahwa banyak musisi Indonesia menjiplak lagu-lagu dari musisi luar negeri. Mungkin yang paling banyak disoroti adalah grup band D’Massiv.

Selain soal penjiplakan drama, masih banyak kasus jiplak lainnya. Contoh kasusnya sama. Pelanggaran hak cipta dan hak milik. Namanya pembajakan software. Menurut Bussiness Software Allliance (BSA) dan Internasional Data Center, kerugian akibat pembajakan software di Indonesia untuk tahun 2007 saja, mencapai 3,8 trilliun rupiah. Hal ini disampaikan oleh Donny A.sheyoputro. Fantastis.!!

Indonesia ternyata bukan hanya korban dari sebuah pelanggaran hak cipta dan hak milik. Kita memang baru saja hampir kehilangan beberapa budaya asli kita karena klaim ngawur dari negara lain. Anehnya kita sendiri pun tidak menyadari bahwa kita itu juga merugikan pihak lain utamanya mengenai kasus pembajakan software yang mencapai 3,8 trilliun, disamping kita merugikan sineas Korea, Taiwan, Jepang dan yang lainnya dengan tidak membayar royalty atas penggunaan karya orang lain.

Dua kenyataan di atas begitu bertolak belakang. Di satu sisi, Indonesia memang korban klaim dan penjiplakan kebudayaan. Masyarakat Indonesia memang berhak marah atas klaim pihak Malaysia. Banyak pula yang marah dan memaki Malaysia atas klaim itu. Tapi uniknya, di sisi lain Indonesia juga banyak menjiplak karya orang lain, baik di bidang teknologi ataupun sinetronnya. Sementara masyakat ’adem-adem’ saja menanggapi hal ini.***

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Nurul Imani

SMAN 5, Yogyakarta