Bambanlipuro, Bantul KESENIAN DI ATAS PANGGUNG JALANAN

SMAN 1 Bambanlipuro, Bantul KESENIAN DI ATAS PANGGUNG JALANAN

Judul film dokumenter karya Komunitas Coret tersebut se- makin meyakinkan bahwa sesuatu yang telah dilakukan pasti memiliki makna dan tujuan masing-masing. Begitu pula dengan bukan se-Mbarang yang berarti bukan sekadar mbarang. Seperti halnya yang dikenal banyak orang, mbarang sering diartikan menjajakan kesenian dengan berkeliling di berbagai wilayah. Namun, bagaimana jika hal tersebut tercipta di sebuah perempat- an?

Hal itulah yang kini sedang dihadapi oleh para pelaku kese- nian yang berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Hampir lima tahun mereka menyajikan sebuah tarian, dengan alunan beberapa instrumen Jawa di berbagai perempatan. Salah satunya adalah di Yogyakarta. Dalam beberapa waktu lalu, beberapa perempatan di Yogyakarta tidak hanya dipadati oleh para pengguna jalan. Namun, di sana juga nampak beberapa orang yang tengah menari saat trafict lifht menyala. Dengan diiringi alunan instrumen Jawa, mereka menari dan tak jarang menyelinap di tengah kendaraan yang sedang berhenti. “Untuk mencukupi kebutuhan hidup.” Tutur Wahyudi, salah satu pelaku mbarang yang sudah lima tahun melakoni pekerjaan ini.

Ungkapan itu hanyalah salah satu bentuk spontanitas dari me- reka. Ketika ditemui di sekitar jalan Wonosari, salah satu dari mereka mengatakan bahwa kegiatan ini bukan hanya untuk memenuhi kebu- tuhan hidup, melainkan juga bisa sebagai salah satu bentuk peles- tarian kesenian tradisional.

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Ternyata hal tersebut mendapatkan sambutan hangat dari pengelola balet Ramayana Purawisata. Pria yang sering disebut Mbah Cip ini mengatakan, bahwa kesenian yang dibawakan di beberapa perempatan tersebut pada dasarnya memang menarik dan patut untuk diberikan apresiasi. Hal itu diungkapkan, karena kegiatan semacam itu bisa dikembangkan, bahkan bisa mencapai tingkat internasional.

Namun, sambutan hangat yang diberikan oleh Mbah Cip ternyata bertolak belakang dengan Djating Koentoro yang notabene adalah pelaku sekaligus penikmat seni. Pria yang memiliki nama pena DK ini melihatnya dari segi estetika berkesenian. Beliau ber- anggapan, bahwa kegiatan yang mereka lakukan bukan berasal dari hati nurani, melainkan karena terpaksa. Menurutnya, seorang seniman tentunya memiliki tempat yang terhormat untuk menyaji- kan karyanya.

Saat ditemui di lokasi pertunjukan balet Ramayana, di kawas- an Purawisata, beliau mengungkapkan rasa sakit hatinya terhadap kegiatan yang dilakukan para pelaku mbarang. Menurutnya, sebuah kesenian yang disajikan disebuah perempatan sama halnya dengan pelecehan kesenian. Tidak hanya itu, DK juga mengatakan bahwa mereka tidak melihat estetika sebuah kesenian, baik dari segi kom- posisi instrumennya maupun gerakan tari yang mereka bawakan.

“Menurut saya, itu bukan merupakan kesenian tradisional, melainkan bisa dianggap sebagai free dance.” Hal tersebut diungkapnya, karena segala sesuatu yang mereka lakukan telah lepas dari pakem kesenian tradisional. Baik itu dari komposisi instrumen, pakaian, maupun gerakan yang sangat kontras dengan kesenian tradisional pada umumnya.

“Sebenarnya, kita memiliki perangkat gamelan yang leng- kap. Namun, tidak mungkin kita membawa semuanya ke perem- patan, karena kita hanya memerlukan sebagian dari yang kita punya,” ungkap Widi, yang juga pelaku mbarang.

Widi juga mengatakan, bahwa kelompoknya hanya memiliki dua buah perangkat pakaian. Itu pun untuk bergantian dengan kelompok yang lain. Hal itulah yang menggugah hati Gandhung,

94 • Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 • 94 • Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Dalam pertemuannya di pendopo ISI Yogyakarta, Gandhung mengatakan, bahwa kebersamaan yang telah mereka bina sebenarnya bisa lebih dikembangkan lagi. Menurutnya, apabila dikelola mungkin bisa lebih tertata dan menarik. Namun, hal itu juga harus didukung oleh lingkungan.

Dengan kegiatan mereka yang menyajikan kesenian di pe- rempatan, mungkin mereka tidak didukung oleh lingkungannya, karena menurutnya, lingkungan itu sangat mendukung berkem- bangnya sebuah kesenian. Itu pun tidak cukup untuk membina mereka yang notabene bisa dianggap sebagai seniman otodidak.

Gandhung mengatakan, bahwa sebagai seni pertunjukan memang diperlukan komposisi yang mendukung dan lengkap. Hal itu diungkapkan, karena kesenian yang mereka sajikan di bebe- rapa perempatan belum bisa dikatakan sebagai seni pertunjukan yang kompleks. Sebagai seni pertunjukan yang kompleks, tentunya membutuhkan beberapa elemen yang tidak mereka miliki.

Menurutnya, dari segi kesenian, mereka memang belum me- menuhi untuk dikatakan sebagai seniman, namun, dari segi sosial masyarakat mereka patut untuk diberikan sebuah penghargaan.

Dari banyak uraian dan polemik atas kesenian di panggung jalanan ini, Gandhung menaruh harapan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk menangkap fenomena semacam ini, dan memberikan wadah untuk mereka. Hal tersebut didorong oleh banyaknya hujatan dari berbagai pihak untuk mereka. Ke depan diharapkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan bisa mengemas kegiatan tersebut sehingga menjadi kesenian yang nyata dan tidak lagi mendapat hujatan banyak pihak. Tidak hanya itu, kesenian yang dihasilkan pun bisa menjadi sebuah tontonan budaya yang adiluhung.

Namun, nampaknya harapan Gandhung sulit untuk direalisasi- kan apabila pelaku mbarang sendiri tidak mendukungnya. Hal itu terlihat ketika Wahyudi mengatakan bahwa kelompoknya tidak

• Pesona Alam dan Budaya Jogja • • Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Gambar 1. Para pelaku seni jalanan

Hal tersebut juga menjadi dasar mengapa mereka lebih memilih menjadi pelaku mbarang daripada menjalani pekerjaan lain, misalnya buruh. Menurutnya, pekerjaan seperti ini lebih nyaman karena tidak terikat waktu.

Dengan adanya berbagai anggapan tersebut, akankah kese- nian jalanan akan musnah dan menjadi kesenian yan g mutlak di sebuah gedung pertunjukan, atau masih tetap dengan pendirian para pelakunya yang tidak nyaman dengan keterikatan? Mungkin itu semua akan terjawab seiring dengan berkembangnya waktu.***

96 • Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Eni Puji Utami