Seyegan, Sleman SUHA RNO, “PETAHU” YANG SELALU INGIN MA JU

SMAN 1 Seyegan, Sleman SUHA RNO, “PETAHU” YANG SELALU INGIN MA JU

Pengalaman pahit kehidupan tidak menjadikan Suharno patah arang. Dengan tekad dan kegigihan, lelaki warga Catur- harjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu pun mampu menjadi pengusaha tahu yang sukses.

Sudah 30 tahun terakhir Harno—begitu ia akrab disapa— menggeluti usahanya. Industri kecil rumahan yang ia jalankan bersama-sama keluarga besarnya terbukti mampu menghidupi lima keluarga. Tahu bagi Harno dan kerabatnya ibarat perahu di tengah kerasnya ombak kehidupan.

Saat ini, usaha industri rumahan itu dapat menghasilkan 30 kg tahu berwarna putih dan kuning per hari. Produknya dapat dijumpai di pasar-pasar besar maupun pasar-pasar kecil, khusus- nya di wilayah Kabupaten Sleman.

Usaha yang dirintis Harno sejak awal tahun 1980-an itu sudah kenyang mengalami pasang surut. Sebelum menemukan pilihan pada usaha tahu, jalan kehidupan ayah tiga anak ini dapat dikatakan terseok-seok. Ia hanya berpendidikan SR (Sekolah Rakyat). Ijazah SR tidak mampu memberinya pekerjaan layak. Alhasil, Harno saat itu hanya bisa menjadi kuli serabutan. Berba- gai profesi kuli-menguli telah dilakoninya. Kuli bagunan hingga kuli angkut di pasar pernah dijalaninya.

“Sempat dulu terlintas di benak saya untuk bunuh diri. Saat itu saya tak bisa berpikir lagi. Saya harus menghidupi istri, ibu, dan dua adik saya yang masih kecil-kecil. Hari demi hari saya

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 • • Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Di tengah keterpurukannya itu, suatu hari ibunya jatuh sakit. Sang ibu minta dibuatkan tahu. Harno yang menginginkan kesem- buhan ibunya pun mengiyakannya. Padahal ia tidak memiliki uang sepersen pun saat itu. Namun, karena keinginannya untuk menyenangkan sang ibu, Harno pun memberanikan diri untuk meminjam uang pada tetangga-tetangga di sekitar rumahnya. Setelah uang terkumpul, dengan sedikit pengetahuan cara mem- buat tahu yang diwarisi dari neneknya, ia pun mulai membuat tahu.

Setelah tahu selesai dibuatnya, Harno tidak menikmatinya sendiri. Para tetangga di sekitar rumahnya juga turut merasakan hasil jerih payahnya itu. Tak disangka-sangka banyak yang ber- pendapat bahwa tahu buatannya lumayan enak. Dari hal itulah mulai tumbuh keinginan di dalam hatinya untuk mendirikan pabrik atau tempat pembuatan tahu.

Mula-mula seperti hanya keinginan sesaat. Apalagi keadaan perekonomian saat itu sedang sulit. Namun, setelah datangnya pesanan dari beberapa orang, ia pun mulai berpikir untuk mene- kuni secara sungguh-sungguh usahanya itu. Harno menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mengembangkan usahanya.

Awalnya ia berusaha sendiri. Hasilnya kurang lebih 10 kilo- gram tahu per harinya. Usaha memang sudah berjalan, tetapi tak berarti tiada lagi rintangan yang menghadang. Harno meng- hadapi masalah pemasaran. Mau dijual ke mana hasil tahunya? Apalagi pembuat tahu tidak hanya dia. Artinya ada persaingan dalam pemasaran.

Ia memang pernah menjadi kuli panggul di pasar. Maka, Harno mengandalkan pasar sebagai tempat utama menjual tahunya. Na- mun, saat pertama kali berjualan di pasar, ia mengalami kerugian. Harga yang ia pasang ternyata jauh di bawah harga pasar.

“Ah... ya hitung-hitung amal dan penglaris-lah,” kata Harno menghibur diri. Pernah pula, suatu hari, tahu buatannya tidak

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Pengamalaman terpahit tentulah saat krisis moneter melan-

da di Indonesia pada tahun 1997-1998. Ia terpaksa menjual seba- gian besar tanah miliknya agar usaha tahunya tetap berjalan. Syukurlah, akhirnya Harno berhasil melewati krisis itu.

Usahanya terus bertahan, bahkan berkembang. Harno kemu- dian mengajak keluarga besarnya. Mereka bahu-membahu memaju- kan usaha pembuatan tahu itu. Sekarang, Harno bersaudara mam- pu memproduksi 30-an kilogram tahu per harinya. Jaringan pemasaran dan pelanggan sudah berhasil ia bangun.

Waktu terus berlalu. Kini, Harno telah mendapat tempat khusus dalam masyarakat, yakni sebagai juragan tahu yang maju dan terkenal di daerahnya. Kepada siapa pun, Harno membuka diri untuk berbagi pengalaman, terutama pengalaman bertahan menghadapi aneka kesulitan hidup. Sebagai “petahu” Harno tidak ingin sekadar bertahan. Ia berkehendak kuat untuk terus maju, maju, dan maju.***

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Hery Irdiantoro