Turi, Sleman IRVAN, SANG PENAKLUK TAKDIR
SMAN 1 Turi, Sleman IRVAN, SANG PENAKLUK TAKDIR
Siapa pun tentu tak ingin menderita kelainan fisik, entah cacat sejak lahir atau karena kecelakaan. Namun, ketika takdir menetapkan demikian, apa yang dapat diperbuat manusia?
Larut dalam kesedihan, menyesali diri, meratapi nasib, toh tak akan mengubah keadaan. Semua itu malah justru akan menambah beban mental. Kendati bukan perkara mudah, berda- mai dengan kenyataan agaknya jauh lebih bijaksana. Itulah yang ditempuh Irvan.
Laki-laki muda itu terlahir dengan kekuranglengkapan fisik. Kedua kakinya tidak sempurna sejak lahir. Namun, Irvan tetap memiliki semangat hidup yang berkobar-kobar. Sekarang, di usianya yang ke-16, ia tetap sekolah di Sekolah Luar Biasa yang sepadan dengan SLTA.
Sekalipun kedua kakinya tidak sempurna, Irvan kuat berjalan sejauh 10 kilometer. Itu sekadar gambaran bagaimana semangat hidupnya yang berkobar-kobar.
Semangat hidup yang berkobar itu mewujud dalam bentuk ketekunan. Dalam usia relatif muda, Irvan menguasai berbagai keterampilan, khususnya seni kerajinan bambu. Kedua tangannya begitu mahir menghasilkan beragam perkakas dari bambu. Buah ketekunan Irvan bahkan menghantarnya menjadi pemuda yang mandiri. Pencapaian itu sangat mungkin malah melampaui sebaya- nya yang berfisik sempurna.
• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •
Irvan merupakan bungsu dari 5 bersaudara. Ayahnya hanya- lah tukang sapu di Kantor Kecamatan Minggir. Sejak kecil hidup Irvan penuh dengan keterbatasan karena ekonomi orang tua yang sangat minim. Pada usia 7 tahun, ia masuk SLB Jurusan Tuna Dak- sa. Itulah awal Irvan mendapatkan bekal keterampilan yang kelak sangat berguna untuk menyambut masa depannya.
Tidak lama berselang, terjadi peristiwa yang menimpa keluarga Irvan. Sang ayah meninggal. Ibunya tentu sangat sedih. Wanita itu harus mencukupi kebutuhan hidup 5 orang anak, dengan si bungsu menderita difabel.
Begitu lulus dari SLB, Irvan melanjutkan pendidikannya di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Surakarta. Biaya sekolah ditanggung oleh saudaranya yang tinggal di Kota Bengawan terse- but.
Setelah berumur 16 tahun, si bungsu ini kembali ke rumah ibunya dengan bekal keterampilan yang didapatnya di YPAC. Sam- pai sekarang, keterampilannya itu terus ia kembangkan, terutama dalam bidang kerajinan bambu.
Selang beberapa bulan, rumah orang tua Irvan yang semula sepi, berubah menjadi ramai. Keramaian itu akibat berdirinya se- buah “pabrik” kerajinan bambu yang seluruh pekerjanya penyan- dang cacat. Melampaui mereka yang berfisik normal, Irvan berhasil membuka usaha sendiri. Dengan modal keterampilan dan dana yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, ia—seorang muda yang difabel—terbukti dapat hidup mandiri.
“Pabrik” kerajinan bambu yang dipimpin Irvan menghasil- kan bermacam perkakas, seperti bakul (tempat nasi), kap lampu, tas, meja, kursi dan lain sebagainya. Sekarang pekerja Irvan tergo- long banyak. Jumlahnya mencapai 25 orang yang semuanya difabel.
Di suatu pagi yang cerah, penulis terdorong menyambangi rumah Irvan. Ada hasrat besar untuk melihat secara langsung hasil kerajinan tangan pemuda yang gigih dan penuh semangat itu.
Di sekitar lingkungan rumah Irvan, banyak bambu berserak- an. Menurut pengakuan Irvan, sudah 8 tahun ia membuat kerajinan
• Pesona Alam dan Budaya Jogja •
Hasil yang diraihnya pun tidak sia-sia. Pesanan terus meng- alir, tak terkecuali dari luar negeri. Jadi, kerajinan bambu hasil karya Irvan telah melanglang buana, menembus pasar global.
Ketekunan, keterampilan, kreativitas, dan mutu karyanya pun mendapat pengakuan dari pemerintah. Pemerintah Kabupaten Sle- man memberikan penghargaan kepada Irvan sebagai Penyandang Cacat Berprestasi.
Bulan lalu Irvan mendapat pesanan partai besar yang akan dikirim ke Belanda. Ia terpaksa mencari tenaga tambahan agar pesanan dapat segera dibereskan. Bos “pabrik” kerajinan bambu itu tetap memasang syarat utama bagi calon pekerjanya: difabel.
Irvan mungkin hendak bersolidaritas dengan sesama penyan- dang cacat yang secara umum tersingkir dari persaingan kerja. Namun, yang pasti, pekerja-pekerja difabel yang tekun dan terlatih bisa bekerja sangat profesional, bahkan melebihi orang normal.
Mereka tanpa kesulitan memotong-motong bambu yang utuh dan panjang. Tangan mereka begitu terampil menghasilkan tempat nasi, kap lampu, tas, meja, kursi, dan aneka perkakas lain. Tidak mengherankan jika dalam beberapa hari pesanan dari Belanda itu dapat diselesaikan tepat waktu.
Perkakas keluaran “pabrik” Irvan mampu merebut hati pelang- gan, bahkan pembeli dari mancanegara, karena bentuknya indah, kualitasnya terjamin, harganya miring, dan pesanan selalu disele- saikan tepat waktu.
Demikianlah Irvan. Remaja belasan tahun yang secara fisik memiliki keterbatasan itu telah terbukti mampu berdamai dengan kenyataan. Ia bahkan sanggup menaklukkan takdir. Bagi Irvan, takdir dapat dikalahkan dengan ketekunan dan semangat hidup yang berkobar-kobar.***
• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •
Rizqi Sandra Zenita