Rongkop, Gunungkidul BERJUANG UNTUK MENCINTAI DAN MENERIMA MATAKU
SMAN 1 Rongkop, Gunungkidul BERJUANG UNTUK MENCINTAI DAN MENERIMA MATAKU
Aku cacat dan aneh. Paradigma itu menghantuiku selama lebih dari separuh umur. Meski terlahir dengan fisik sempurna, tapi aku merasa cacat dan berbeda dengan orang kebanyakan. Aku anak ke-5 dari lima bersaudara. Kakakkun laki-laki dan perempuan de- ngan rentang usia cukup jauh denganku. Sebagai anak laki-laki yang terlahir cacat, meskipun tidak dimanjakan, kakak-kakaku bersikap protektif padaku.
Memang aku terlihat berprestasi dan aktif berkegiatan. Tapi hidupku berbeda. Aku mengalami hal-hal yang berbeda dengan teman-temanku, saudara-saudaraku, bahkan orang tuaku. Tak per- nah ada yang tahu bahwa padatnya aktivitas kulakukan sebagai pelarian atas ketidaknyamanan pada diriku dan indra mataku ini, bahkan pernah pada nasibku. Ya, aku pernah menyesali indra mata- ku.
Seandainya mampu, ingin rasanya kulepas mataku agar aku tak melihat apa saja yang tak ingin kulihat, agar aku tak mampu mengetahui apapun yang tak ingin kuketahui. Agar aku tenang dan visi itu tak membayang. Bukan aku takut pada makhluk yang kasat mata yang kulihat. Aku sering merasadibuat takut dengan visi-visi tentang orang lain. Entah rahasianya, nasibnya, bahkan niat yaeng tersembunyi dalam hatinya. Aku benar-benar dibuat tidak nyaman bak membuka buku harian orang lain. Aku merasa curang sebab mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati. Aku merasa begitu berbeda, tak sempurna.
• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •
Mungkin bagi orang lain dikaruniai kemampuan seperti ini akan meningkatkan rasa percaya diri. Aku berbeda, aku malah me- rasa cacat tak sempurna jauh dilubuk hati, aku ingin hidup normal, tanpa mengetahui apapun tentang rahasia-rahasia Ilahi. Aku ingin bebas berlari dan berinteraksi. Aku terobsesi cuek dan hanya memi- kirkan diri sendiri. Tapi ternyata nasibku berbeda. Aku ditentukan untuk menerima “titipan” mata ini. Hampir separuh umurku, stiap detik kuhabiskan energy untuk “menerima” dan mencintai hidup. Susah memang tapi hanya itu satu-satunya pilihan jika hidup adalah perjuangan, aku berjuang dan berusaha untuk mencintai hidup.
Beranjak besar akhirnya aku tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku punyaapa yang disebut indra keenam. Banggakah aku? Sama sekali tidak. Sebab semakin lama aku merasa ini sebagai beban, bagaimana tidak? “Penglihatanku” tak sebatas pada makhluk nyata dan makhluk tak kasat mata saja, namun visi-visi tentang nasib orang lain sampai hal-hal yang tersembunyi dalam hati mereka terpapar dimataku. Betapa tidak enaknya mengetahui pikiran-pikiran orang lain. Lebih menyakitkan lagi jika yang terlihat adalah visi nasib buruk seseorang. Kasihan, sedih sekalugus tak mampu mengubah nasib. Tak jarang aku merutuki nasib, kenapa aku tak mampu mengubah keadaan. Menolong orang yang nasib buruknya kulihat.
Masa-masa usia remaja yang penuh gejolak disertai tingkah proses pencarian jati diri, benar-benar membuatku bak layang- layang putus. Aku terombang-ambing, mengais-ngais kebenaran di dunia nyata dan absurd. Ya, absurd sering aku merasa lebih tua dari usiaku. Terus terang, terjadi perang batin dalam diriku banyak hal yang tak terjelaskan dan banyak Tanya tak terjawab. Ke-absurd- an ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa aku tak boleh marah pada orang lain. Aneh? Ya, aku sendiri merasa aneh, sebab setiap kali aku marah dan dizalimi orang lain, tak berapa lama Allah Swt. memberikanngajabah apa yang terbesit dihatiku.
Takdir dan jalan hidup manusia tak pernah sama. Selalu ada rahasia Illahi dalam setiap tarikan napas, gerak hidup dan langkah kaki. Manusia dengan kereterbatasanya, tak bisa mengetahui segala hakikat yang tersembunyi kecuali dikehendaki-Nya.
• Pesona Alam dan Budaya Jogja •
Setiap yang digariskan Allah tak mampu diubah manusia. Ya, akhirnya aku menyerah kalah. Untuk menerima takdir ini kujalani bertahun-tahun. Jalan yang digariskan Allah untukku adalah menjaditakdir sebagai orang indigo. Takdir sebagai orang yang diamanahi tanggungjawab dan kepedulian lebih.
Proses penerimaan diri ini masih berlangsung hingga kini belajar menegndalikan apa-apa yang bisa dikendalikan. Belajar mengikhlas- kan hal-hal yang tak mungkin bisa ku ubah. Belajar merelakan waktu, pikiran, dan tenaga tanpa mengharapkan balasan untuk membantu orang lain yangsign datangdating, dan belajar legowo pada apapun.
Ikhlas, ikhlas dan ikhlas. Aku masih terus berjuang untuk men- jaga hati agar tetap ikhlas. Ikhlas memang sesatu yang mudah diucapkan, namun berat dilakukan. Akyu berharap bisa lebih ikhlas menjalani hidup. Tak peduli anggapan dan pandanganlabelling orang terhadapku, aku hanya menjalani takdir hanya Allah yang mampu mengukur sebuak keikhlasan, hanya Allah tempat menakar ketulusan hati hamba-hambanya. Semoga saja, pada akhirnya aku termasuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Amin.***
• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •
Annisaa Puspasari