Depok, Sleman GABUGAN, KENANGAN TAK TERGANTIKAN

SMKN 2 Depok, Sleman GABUGAN, KENANGAN TAK TERGANTIKAN

Keramahan merupakan ciri yang melekat dengan masyarakat desa. Itu pula yang Anda jumpai di Dusun Gabugan, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Uluk salam dan senyum sapa senantiasa menghiasi wajah penduduknya. Nuan- sa alami khas pedesaaan menambah daya pikat tersendiri bagi Gabugan.

Keadaan yang terus berganti seiring perkembangan zaman memang mampu mengubah sebuah desa menjadi sebuah kota. Lambat laun keberadaan desa tak jarang menimbulkan sebuah tan-

da tanya. Masih layakkah desa yang kehilangan nuansa semacam itu disebut sebagai desa? Gabugan memang telah berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan zaman. Namun, Gabugan mempunyai ceritanya sendiri yang menarik ditelisik.

“Menurut cerita para orang tua, konon penduduk selalu gagal kalau menanam padi. Buah padi selalu gabug, artinya tidak berisi. Maka dusun ini lalu dinamai Gabugan,” papar Barjo, pria warga setempat. Suyanto, sesepuh dusun Gabugan, berkisah, dulu ada anak yang dikutuk mati berdiri, lalu berubah menjadi batu. Sejak itu, padi-padi menjadi gabug, dan dusun itu dinamai Gabugan.

Cerita tersebut memang layaknya dongeng untuk anak kecil. Apalagi belum pernah ada yang meneliti sejarah desa itu secara ilmiah. Jika dikupas mendalam, dongeng tentang Gabugan berpe- san agar anak-anak menghargai padi yang mereka makan setiap

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Yang jelas, padi yang gabug tidak berlangsung hingga seka- rang. Dusun Gabugan adalah tempat yang melimpah dengan hasil panen. Tanahnya subur. Karena itu, setiap tahun masyarakat mem- peroleh hasil panen yang baik. Mereka bahkan dapat mengem- bangkan pengetahuan dan membuka lahan usaha baru seperti, beternak, membuat dodol salak, bertanam melon, serta meman- faatkan lahan-lahan untuk berbagai usaha tani. Jerih payah mereka tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, tetapi juga dijual untuk penduduk dusun sekitar. Tingkat kemakmuran warga dusun terus meningkat. Inilah bukti bahwa mereka mau dan mam- pu untuk berkembang.

Dalam segi transportasi, pengetahuan masyarakat, kehidupan beragama, dan sebagainya desa ini terus mengalami perkembang- an. Berubah dan berkembang memanglah hal yang pantas, layak- nya seorang anak yang bertumbuh menjadi dewasa. Namun, dusun yang berkembang inilah nantinya justru akan kehilangan tradisi yang telah semua dihidupi para pendahulunya.

Dusun yang patut diteladan adalah yang berkembang meng- ikuti zaman, namun tidak kehilangan tradisi yang ada di dalamnya. Demikianlah yang terjadi di Gabugan. Masyarakat masih mem- pertahankan adat, tetapi tidak pernah ketinggalan untuk mengikuti perkembangan zaman. Tradisi yang masih diselenggarakan masya- rakat antara lain kendhuren (kenduri), mitung dina (peringatan tujuh hari untuk arwah), matang puluh (peringatan empat puluh hari untuk arwah), tingkeban (syukuran tujuh bulan kehamilan), brokohan (syukuran atas kelahiran), gugur gunung (gotong royong memper- baiki fasilitas umum), nyadran (membuat sesaji pada bulan Nyadran), berjanjen (kidungan doa secara Islam), merti desa (syukuran desa), dan kirab (perarakan). Di samping itu, masih banyak yang lainnya. Kegiatan-kegiatan inilah yang masih hidup sampai sekarang. Terjadi perpaduan antara budaya Jawa dan agama.

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Penduduk Gabugan sekitar 500 orang. Jumlah itu merupakan perkembangan dari semula hanya beberapa kepala keluarga. Ke- rukunan masyarakat terjalin dengan baik. Jarang terdengar cekcok antarwarga. Dusun ini pun sering dikunjungi oleh para siswa dari luar kota yang ingin menikmati nuansa pedesaan sambil belajar lebih mengenal kehidupan warga pedesaan.

Masyarakat memeroleh pengetahuan dari Taman Bacaan Ma- syarakat yang mereka bangun untuk mewujudkan kemajuan masya- rakat dusun. Kesuksesan seseorang tak hanya untuk diri sendiri, namun dibagikan kepada yang lain. Kerukunan mereka mencer- minkan kebahagiaan dari sebuah kerja keras.

Jika bertemu, mereka saling menyapa dan tersenyum satu sama lain. Membantu yang lain saat dibutuhkan menjadi semacam chip yang ditanamkan pada mereka sejak masih balita. Saling menghargai satu sama lain merupakan “ilmu” yang mereka pelajari setiap menit saat mereka tumbuh dewasa. Dan keramahan merupa- kan santapan mereka sehari-hari.

Selain menjaga kebersamaan antarwarga desa, masyarakat Gabugan juga menjalin persahabatan dengan warga desa lain. Keterbukaan antara warga lumrah tanpa memandang golongan mereka. Kepercayaan terhadap orang lain pun tak luput dari tradisi warga. Hal inilah yang membuat Dusun Gabugan menancapkan kenangan yang tak tergantikan. Kebersamaan dan kerukunan warga ditambah keindahan dan kesuburan alamnya, sungguh tidak mudah dilupakan. Apakah suasana surgawi itu juga terjadi di dusun atau tempat yang Anda huni sekarang?***

Narasumber: Bapak Kirti Untoro, Kepala Dusun Gabugan; Bapak Suyanto, sesepuh dusun Gabuban; Bapak Bardjo, warga dusun Gabuban

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Isni Yunita Sari