Seyegan, Sleman CAGARKU SAYANG, CAGARKU MALANG

SMAN 1 Seyegan, Sleman CAGARKU SAYANG, CAGARKU MALANG

Cagar budaya di Desa Margoagung, Seyegan, Sleman, Dae- rah Istimewa Yogyakarta itu seperti teronggok di tengah kemaju- an zaman. Dindingnya berlumut. Batu-batu candi terserak tak beraturan. Suasananya lebih mirip kuburan. Sepi. Menakutkan.

Sejak dibangun 15 tahun yang lalu, cagar budaya ini bagaikan situs yang terpendam oleh hiruk-pikuk perkembangan kawasan di sekitarnya. Padahal, cagar budaya kaya dengan kandungan ilmu pengetahuan. Ironisnya, tak jauh dari situ, berdiri megah kompleks lapangan tenis bercat serba biru yang jauh lebih menyita perhatian.

Area cagar budaya ini berbentuk segi lima. Luasnya kurang- lebih 50 x 30 meter atau 1.500 meter persegi. Di dalamnya tersimpan 94 benda cagar budaya. Benda-benda itu tidak melulu ditemukan di tempat itu, tetapi sebagian ditemukan di beberapa tempat di sekitarnya. Dengan kata lain, cagar budaya itu menam- pung benda-benda temuan di wilayah Sleman bagian barat, yang meliputi Kecamatan Seyegan, Kecamatan Moyudan, Kecamatan Minggir, dan Kecamatan Godean.

Benda-benda tersebut disusun dan dikelompokkan ke dalam empat areal. Areal pertama dan kedua berpentuk persegi panjang yang masing-masing memuat sebanyak 30 benda cagar budaya. Area ketiga berbentuk segi tiga yang memuat 10 benda cagar budaya. Adapun area keempat berbentuk persegi yang berisi 24 benda cagar budaya.

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Benda-benda cagar budaya itu mencakup berbagai macam bentuk arca dan tubuh atau bagian bangunan candi. Selain bebe- rapa arca Budha, terdapat sejumlah arca dewa dan dewi—misal- nya Ganesha—serta bagian-bagian tubuh dan kaki candi. Ada pula beberapa arca yang berbentuk hewan.

Beberapa benda utama menghuni cagar budaya ini. Misalnya lingga, lingga semu, yoni, arca Ganesha, arca Durga Mahisa Sura- mardhini, dan arca Nandi. Semua itu memiliki arti. Lingga, yang berbentuk seperti kemaluan laki-laki, merupakan simbol Dewa Siwa. Lingga semu adalah lingga yang hanya mempunyai dua bagian saja,yaitu wisnubhaga dan siwabhaga serta tidak dilengkapi dengan yoni.

Ganesha adalah anak Dewa Siwa. Ia dewa yang berkepala gajah (gana), berbadan manusia, berperut gendut, bertangan 4 buah. Tangan kanan depan memegang gading, tangan kiri meme- gang mangkuk, tangan yang lain membawa kapak dan tasbih. Ganesha dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan dewa peng- halau rintangan. Karena dianggap sebagai penyingkir rintangan, arca Ganesha biasa ditempatkan di perempatan jalan, pinggir sungai, dan tempat-tempat lain yang dianggap angker. Dalam candi Hindu, posisi Ganesha selalu membelakangi arah hadap candinya. Apabila arah candi ke timur, maka ia akan menempati relung di sebelah barat.

Durga adalah istri Dewa Siwa. Pada umumnya Dewi Durga bertangan 8 dan masing-masing tangan memegang yang berbeda: cakra , sankha, dhanu, khadga, trisula, angkusa, dan khetaka. Ia digambarkan berdiri di atas lembu Mahesa dan salah satu tangan- nya menjambak rambut sura (raksasa yang menjelma sebagai Mahesa yang telah dibunuhnya). Di dalam candi Hindu, Durga menempati relung utara.

Yoni adalah tumpukan untuk suatu arca atau lingga yang berfungsi sebagai penyalur air pembasuh arca atau lingga. Yoni yang merupakan lambang kewanitaan, juga dianggap sebagai gambaran sakti (istri Dewa Siwa). Dirinya digambarkan dalam

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 • • Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Nandi adalah kendaraan Dewa Siwa yang berupa seekor lem- bu jantan berwarna putih (Vrsan). Nandi merupakan arca yang di- letakkan dalam suatu ruangan atau bangunan sendiri yang berhadap- an dengan bilik tempat arca utama.

Hanya beberapa benda-benda cagar budaya yang dikumpul- kan di tempat ini dalam keadaan utuh. Sebagian lainnya rusak atau cacat. Rusak atau cacat itu ditemui pada bagian kepala dan badan dari beberapa arca yang tidak utuh. Sementara itu, bebe- rapa benda yang lain tampak berlumut.

“Dalam hal keamanan, di tempat cagar budaya ini sudah lumayan lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Apalagi setelah dipasangi pagar kawat berduri dan penjagaan yang dilakukan selama 24 jam,” kata Mujiyo, warga yang tinggal tidak jauh dari cagar budaya itu.

Menurut Mujiyo, sebelum ada penambahan personel jaga dan pemasangan pagar kawat berduri, sering terjadi pencurian benda-benda cagar budaya itu. Mujiyo benar. Bagi para kolektor berduit, batu-batu tak bernyawa itu bernilai jutaan rupiah.

“Pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Sleman, sebenarnya telah menunjukkan kepedulian. Dalam beberapa tahun terakhir selalu dilakukan perbaikan dan penambahan, seperti pagar kawat, sarana penerangan, dan sumur,” kata Wagi- ran, penjaga cagar budaya ini.

Terlepas dari perhatian dan kepedulian pemerintah, hal yang memprihatinkan justru datang dari masyarakat. Hanya segelintir orang yang mau mengunjungi tempat ini. Bahkan, beberapa orang yang tinggal di sekitarnya pun tidak tahu adanya cagar budaya itu. Inilah masalah utamanya.

Yang paling setia berkunjung adalah siswa-siswa SD dan beberapa anggota Pramuka SMP. Namun, kunjungan-kunjungan

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Mungkinkah cagar budaya di Desa Margoagung, Seyegan ini menjadi tempat yang ramai dikunjungi orang seperti tempat rekreasi? Atau bangunan yang menyimpan kekayaan pengetahuan itu selamanya akan seperti kuburan?***

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Arum Putri Kusuma Anggraini