Wonosari, Gunungkidul NA FSI N, PENYELA MAT GENERASI PEMAIN “BAND JAWA”

SMAN 2 Wonosari, Gunungkidul NA FSI N, PENYELA MAT GENERASI PEMAIN “BAND JAWA”

Suara khas gamelan Jawa mengalun harmoni. Senyum dan semangat tampak saat remaja-remaja itu memainkan beraneka alat gamelan. Malam itu begitu dingin, tetapi kehangatan tercipta dari kebersamaan, kelerasan dan kehamonian permainan gamel- an mereka saat pentas perdana.

Tepat di balai padukuhan Sambirejo, Desa Semanu, Kecamat- an Semanu, Kabupaten Gunungkidul, ratusan warga rela ber- desak-desakan menyaksikkan pergelaran gamelan oleh pemuda karang taruna desa. Sebelumnya, penonton disuguhi penampilan beberapa grup band ala barat bentukan para pemuda setempat. Tampak disamping gitar listrik, keyboard, dan drum, serta berma- cam-macam alat gamelan.

Setelah gegap gempita alunan alat-alat modern, pertunjukan gamelan atau sebutan kerennya Band Jawa pertunjukkan yang tidak kalah hebohnya. Para pemain gamelan mengenakan baju adat Jawa lengkap dengan blangkon. Sungguh tak disangka memang, pemuda- pemuda yang sebelumnya berpenampilan ala masyarakat barat, kini menjadi layaknya pemuda asli Jawa. Mereka menjadi para wiyaga (pemain gamelan) muda. Sebuah pemandangan unik ketika sebelum- nya mereka memegang alat musik mutakhir, kini tampak begitu lebih eksotik dan gagah saat memainkan gamelan.

Sekitar dua puluh pemuda sengaja dilatih untuk mengisi bebe- rapa acara di desa. Beralaskan tikar, mereka tetap bersemangat menampilkan keterampilan memainkan alat musik gamelan setelah

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Adalah Mohamad Nafsin, atau akrab dipanggil Nafsin, pawang dibalik keselarasan nada-nada yang dialunkan para remaja itu. Pria kelahiran Gunungkidul, tanggal 1 Juli 1962 ini telah banyak makan garam dalam dunia gamelan. Perkenalannya dengan gamelan di mulai sejak ia mulai berumah tangga dengan Tukiyem (45). Berbagai persatuan gamelan pernah ia ikuti, mulai mengisi acara-acara, seperti hajatan, bersih desa, hingga acara yang diadakan seorang perangkat desa atau pegawai pemerintah untuk pun pernah ia lakoni. Tak jarang kelompoknya juga memenangkan beberapa perlombaan, baik di dalam maupun di luar kota.

Di rumahnya, bergaya joglo, berlantai batu kapur persegi yang sebagian retak-retak, dan berdinding anyaman bambu, tidak jauh dari balai Padukuhan Sambirejo, Nafsin biasa berbagi sedikit ilmunya kepada para remaja yang kini telah mahir memainkan gamelan. Beragam alat gamelan berjajar rapi memenuhi ruang tamu rumah sederhana tersebut. Alat gamelan tersebut merupakan buah tangan terampilnya dan anak keduanya, Danar (21). Dua kursi reyot berusia tua di pojok ruang cukup menunjukkan usia kesetiaannya dengan gamelan.

Rumah Nafsin memang luas, tapi hanya cukup untuk gamelan- gamelan itu. Ditopang puluhan bambu yang sebagian tampak lapuk dan beratapkan genting dan sebagian seng juga tampak meneteskan bila hujan turun. Sangat kontras bila dibandingkan dengan bangunan pabrik di sebelah rumah Nafsin. Banyaknya bambu yang tumbuh di belakang rumah sedikit mengesankan suasana angker. Begitu pun kandang domba penopang perekonomian bapak empat anak tersebut. Tapi kondisi tersebut tidak menghalangi tekad Nafsin dan pemuda-pemuda itu untuk melestarikan kebudayaan peninggalan nenek moyang yang hampir punah itu. Berbekal pengalamannya, ia mencetak generasi-generasi yang nantinya akan melanjutkan seni pertunjukan gamelan. Tentunya dengan kecakapan, kesabaran dan keikhlasannya.

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

“Intinya, kita belajar bersama, saya bukan menjadi guru di sini,” ujar Nafsin dengan rendah hati.

Nguri-uri Kebudayaan

Niatannya mengubah anggapan bahwa gamelan identik de- ngan orang-orang tua, kuno dan sudah nggak zaman, diungkapkan

melalui kemauan dan semangat para remaja dalam mempelajari gamelan. Bukan hanya menjadikan gamelan sebagai alat hiburan semata, tapi lebih untuk nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa. Dengan mengenalkan gamelan sejak dini, Nafsin berharap kelak mereka yang berlatih itu, ketika tidak muda lagi, dapat mewariskan ilmunya kepada generasi selanjutnya.

Setiap seminggu dua kali, yaitu malam Selasa dan Sabtu, para pemuda rutin berlatih di rumah yang nyaris seperti gubuk itu. Pemuda yang sebenarnya adalah anak orang-orang kaya di desa itu tidak menghiraukan kondisi tempat mereka berlatih. Semua memiliki derajat yang sama. Belajar kebersamaan dan kerjasama. Dan sebab itulah pelajaran yang dapat diambil dari permainan gamelan, kebersamaan dan kerja sama.. Semua saling memilki keterkaitan erat.

Meskipun dulu, sebelum mereka rutin mengikuti latihan, tidak tertarik sedikitpun untuk mempelajari gamelan, setelah berlatih

beberapa kali para pemuda mulai ketagihan bermain gamelan. “Setelah beberapa kali mengikuti latihan, ternyata begitu menyenangkan dan kami makin tertarik dengan dunia gamelan,” ungkap Arif, pemain gendang.

Banyak yang mereka dapat ketika berlatih memainkan game- lan. Tidak hanya pendidikan musik, tapi juga pendidikan moral.

yang memang sarat diwakili dengan nilai filosofi gamelan. Diantara- nya, tidak boleh melangkahi gamelan, tidak boleh sambil ngemil, dan harus duduk bersila, serta mengenakan pakaian sopan saat memainkan gamelan.

Selain itu, pelajaran paling berharga adalah kebersamaan. Suasana kekeluargaan tercipta ketika mereka tengah asyik belajar

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Not-not gamelan yang rumit dan juga sulit saat dimankan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemuda ini. Menjadi ke- puasaan tersendiri bila mereka mampu memahami dan memain- kannya. Tidak gampang untuk bisa dan mahir memainkan gamelan, dibutuhkan kesabaran dan kekompakan satu sama lain dalam memainkannya.

Dari berbagai alat gamelan, antara lain slenthem, kenong, gam- bang, siter, bonang, kempul, gong demung, dan barung, saronlah alat musik tersulit dalam gamelan.Instrumen yang memerlukan kedua tangan untuk memainkannya ini memilki tingkat kerumitan yang tinggi. Sebab, ketika hendak berpindah dari not satu ke yang lain, tangan kiri harus memegang not sebelumnya, atau sering dise- but methet (menekan)agar suara yang dihasilkan tidak menyebar. Sementara, tangan kanan memegang pemukul untuk menuju not selanjutnya. Dibutuhkan konsentrasi penuh saat memainkannya.

Sementara yang paling dianggap mudah adalah memainkan gong, Biasanya gong hanya dipukul beberapa kali atau bahkan hanya pada di bagian akhir permainan. Meskipun mudah, gong juga merupakan komponen penting dalam sebuah pertunjukan kese- nian gamelan.

Awalnya memang dirasa sangat sulit, namun ketika telah terbiasa dalam memegang instrument-instrumen gamelan, maka untuk memainkannya terasa mudah bahkan terasa sangat me- nyenangkan.