Playen, Gunungkidul BAMBU BERJARING PENYANGGA HIDUP

SMAN 1 Playen, Gunungkidul BAMBU BERJARING PENYANGGA HIDUP

Langkah kaki, seakan tidak kenal lelah, terus menapakkan jejak kehidupan. Bersenjatakan bambu berjaring, atau senjata mirip pancing tapi berjaring di ujungnya, tak pernah luput dibawa. Pagi yang dingin bagai siang baginya, waktu untuk memulai penghi- dupannya. Dinginya pagi tak membekukan niat dan teriknya sinar mentari di siang hari tak meluluhkan hasratnya. Itulah sosok seorang Mulyakno (27), pencari belalang di daerah Sodong, Paliyan, Gunung- kidul, Yogyakarta.

Belalang mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang dipandang sebelah mata tetapi bagi Mulyakno dan para pencari belalang lainnya adalah sumber kehidupan yang menafkahi hidup- nya. Hidup adalah perjuangan dan itulah yang dirasakan oleh Mul- yakno.

Tidak mudah untuk mengumpulkan beratus-ratus ekor bela- lang, dibutuhkan kejelian dan kesabaran dalam mencari belalang apalagi setiap belalang belum tentu enak dikonsumsi. Menurut Mulyakno, belalang yang enak dikonsumsi adalah belalang kayu, belalang jerami, belalang gepuk, belalang ijo, dan gambuh.. Tidak hanya harus membedakan jenis belalang yang enak dan tidak untuk dimakan, namun juga harus mencari di mana belalang itu hinggap. Bentuk karakteristik belalang yang sangat mirip dengan daun dan batang pohon membuat mata harus benar-benar dipertajam.

“Belalang juga sulit dicari pada bulan Agutus,” kata Mulyak- no.

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Hal itu disebabkan karena pada bulan tersebut makanan untuk belalang menipis karena musim kemarau. Tetapi juga merupakan suatu keuntungan karena walaupun pada musim tersebut sulit untuk mencari belalang, harga jual untuk belalang juga makin tinggi. Me- nurut Mulyakno, pada bulan tersebut yang biasanya dijual per ekor- nya Rp100,00 bisa mencapai lebih dari itu, yaitu Rp500,00 perekor. Pada hari-hari mendekati lebaran harga belalang bisa melonjak, tidak hanya harga barang-barang pokok yang bisa melonjak tetapi juga harga belalang.

Musim kemarau menjadi suatu kemalangan bagi pencari bela- lang tetapi juga menjadi keuntungan karena bisa menaikkan harga penjualan. Tiap musim bagi pencari belalang adalah sama saja karena pada musim penghujan juga menggangu aktivitas pencari belalang. Menurut Mulyakno. pada musim penghujan tersebut saat mendung menggangu penglihatan bagi para pencari belalang ini. Terlebih menurut Mulyakno pada musim tanam biasanya belalang mudah dicari dilahan-lahan pertanian karena di tempat tersebut merupakan sumber makan yang tepat bagi belalang. Tetapi bagi para pencari belalang pada saat musim tanam mereka ingin mencari di lahan tersebut menjadi terhambat karena jika memasuki lahan pertanian milik warga yang baru ditanami artinya merusak hasil panen juga.

Sore hari adalah waktu menjajakan hasil tangkapan. Di daerah Sodong berjajar belasan laki-laki penjual belalang, sekaligus pencari belalang menjajakan hasil tangkapannya di pinggiran jalan. Begitu juga Mulyakno yang sudah memajang hasil tangkapannya. Beratus- ratus ekor belalang, berkisar 380 - 400 ekor ia kumpulkan dari pagi hari hingga hari mulai petang hanya untuk secarik uang untuk peng- hidupannya yang tidak tetap penghasilannya.

Dalam menjual hasil tangkapannya, Mulyakno dan para pen- cari balalang lainnya menggunakan sistem nego. Walaupun Mulyak- no mematok harga per ekornya Rp 100,00 tetapi saat bernegosiasi ia menaikkan harganya. Misalnya, ia ingin menjual hasil tangkap- annya 380 ekor, saat bernegosiasi menjadi Rp43.000,00 dari yang seharusnya Rp38.000,00.

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Gambar 1. Belalang hasil tangkapan

Tidak semua hasil tangkapan akan terjual. Biasanya, Mulyak- no membawa hasil tangkapannya ke rumah dan menjualnya ke pasar. Jika di pasar hasil jualannya tidak laku maka ia membawa hasil tangkapannya untuk dijual ke pengepul yang berada di Wono- sari, atau di Panggang, Gunungkidul.

“Di pengepul tersebut dijual per-toples yang berisi 75-80 ekor belalang di hargai dengan harga Rp 25.000,00. Untuk dijual kembali ke rumah makan-rumah makan yang menjadikan belalang sebagai olahan yang nikmat yang berada di sekitar Yogyakarta dan daerah sekitarnya,” tutur Mulyakno.

Pendapatan dari penjualan belalang ke pengepul akan lebih tetap daripada dijual di pinggiran jalan. Tetapi Mulyakno tidak begitu sering menjual belalang ke pengepul karena letak pengepul lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Belalang yang tidak laku dijual, langsung dibawa ke rumah untuk diolah. Berbagai jenis olahan yang dapat dipraktikkan, antara lain olahan belalang bacem, belalang, dan lain-lain. Tetapi menurut Mulyakno belalang akan lebih enak jika dimasak bumbu bacem dengan menggunakan gula batu sebagai pengganti gula jawa.

Belalang mulai diperhatikan keberadaanya sebagai makanan olahan. Terbukti dengan adanya rumah makan yang memulai me- masak olahan belalang sebagai menu masakan, di daerah sekitar Yoyakarta . Menurut Mulyakno, di daerah Solo dan Bali terdapat

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Belalang merupakan makanan yang khas di daerah Yogya- karta terutama di Gunungkidul, karena sebagian besar pencari dan pengolah belalang berada di daerah ini. Walaupun di daerah lain ada tetapi mungkin masih asing bagi masyarakatnya dan para pencari belalangnya pun masih sedikit. Terbukti dengan adanya para pengepul di daerah Yogyakarta untuk kemudian didistri- busikan ke daerah-daerah yang memesannya.***

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Ahmad Hasyim