Depok, Sleman PONIYEM DAN TARIAN KEHIDUPAN

SMKN 2 Depok, Sleman PONIYEM DAN TARIAN KEHIDUPAN

Kebahagiaan tidak mendatangi setiap orang. Penghuni rumah mewah belum tentu dapat tertawa renyah. Mungkin mereka justru selalu resah karena terus merasa kekurangan harta. Padahal me- reka hidup berlimpah kemewahan.

Namun, situasi ini terasa lain. Di tengah kerumunan deru mesin kendaraan yang terhenti di perempatan, para pengamen jathilan itu masih bisa tertawa. “Jathilan keluarga” begitu mereka menyebut diri mereka sendiri. Tentu saja karena para pengamen itu memang sekeluarga. Dan mereka mau tidak mau harus tertawa untuk mengusir kegalauan hati mereka menghadapi hidup yang keras dan kejam.

Jathilan? Orang akan membayangkan hal-hal yang mengeri- kan jika mendengar kata itu. Ada orang menari sambil kesurupan (kemasukan roh). Ada orang menyantap beling (pecahan kaca). Ada orang melahap padi. Ada pula orang dicambuki.

Bayangan itu tidak berlaku untuk jathilan yang dijajakan di perempatan. Namun, tetap diam-diam saja terpancar kengerian. Siapakah mereka yang mau menari di jalanan? Tidak adakah pekerjaan lain?

“Jathilan keluarga” itu adalah Poniyem, suami, dan anak- anaknya. Mereka menggunakan “keahlian” menari jathilan untuk mencari nafkah. Mereka menjajakan keunikan. “Profesi” itu bermula dari keadaan ekonomi yang pas-pasan. Kesulitan ekonomi memaksa mereka mengamen di jalanan. Namun, itu bukan satu-

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 • • Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Poniyem mengamen bersama sang suami dan keempat anak- nya dari jam 7 pagi hingga sekitar jam 3 sore. Pendapatan mereka yang pas-pasan kadang tak cukup untuk makan sehari. “Pernah saya sama bapak hanya dapat Rp 5 ribu. Padahal, itu belum buat yang lain. Saya sampai nangis, Mbak!” ujar wanita yang bertempat tinggal di dekat pasar Giwangan ini. Betapa pun berat dan kadang tidak pasti, namun wanita berumur 46 tahun itu ia tiada surut menari untuk mencari sesuap nasi.

Pengeluaran yang tak seimbang dengan pendapatan kadang membuat mereka bingung. Untungnya Poniyem masih mempu- nyai pekerjaan sampingan yang tidak jauh dari “profesi”-nya. Sebagai anggota sebuah paguyuban jathilan, ia sering mendapat tanggapan . Selain itu, wanita berkulit sawo matang ini juga mempu- nyai warung buah meskipun sederhana. Dengan demikian, ia mam- pu membeli peralatan untuk jathilan, seperti kostum dan kenong untuk musik iringan.

Mengamen jathilan di jalanan bukanlah perkara mudah. Ba- nyak pihak yang tak menginginkan kehadiran mereka. Ada per- saingan keras di antara para pengamen. Diam-diam mereka saling berebut lahan. Ada pula preman yang seolah berkuasa menge- luarkan izin. Bila permintaan para preman tak dipenuhi, tertutup- lah kesempatan Poniyem dan keluarganya mengamen di sana. Tak jarang pula mereka diusir polisi ataupun Satpol PP.

Keadaan itulah yang memaksa mereka berpindah-pindah tempat. Simpang empat Condongcatur, Kentungan, dekat kampus UPN, Maguwo, Janti, dan perempatan lain mereka singgahi sesuai dengan situasi.

Namun, di tengah persaingan dengan sesama pengamen serta kejaran preman, polisi, dan Satpol PP, ternyata masih ada juga yang peduli terhadap nasib mereka. Tak jarang mereka menerima kiriman berupaa makanan, mungkin dari sisa pesta. Terkadang sekelompok mahasiswa meminta mereka mengajari menari.

• Pesona Alam dan Budaya Jogja •

Kegigihan mereka patut diteladan. Kerja keras dan tak kenal kata menyerah telah menimbulkan banyak simpati. Poniyem dan keluarganya patut diacungi jempol. Di balik semua kesusahan yang mereka hadapi, mereka masih bisa tertawa menghadapi kerasnya hidup di jalanan. Atau, karena memang di sanalah sumber nafkah untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak mere- ka.

Perjalanan panjang dari rumah, berdesak-desakan di dalam bis, pendapatan yang hanya cukup untuk makan dan ongkos bis, tidak pernah mengurungkan niat mereka untuk menari di jalanan. Poniyem terus dan terus menari di perempatan. Sangat mungkin, tarian itu sendiri adalah kehidupan bagi Poniyem dan keluarga- nya.***

• Antologi Feature Bengkel Sastra Indonesia 2010 •

Putri Astuti Handayani