penyiapan atau pengolahan makanan, frekuensi pemberian makan, dan pemberian ASI.
6.3 Praktik Pemberian Makan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebagian besar informan utama memiliki praktik yang secara umum termasuk buruk dalam hal komposisi dan
porsi makanan, penyajian makanan, frekuensi pemberian makan, pemberian MP-ASI dan pemberian makanan tambahan. Namun meskipun demikian, terdapat beberapa
informan utama yang memiliki praktik yang secara umum baik dalam hal porsi makanan, frekuensi pemberian makan dan pemberian makanan tambahan, yang
ternyata balitanya mengalami peningkatan status gizi. Selain itu sebagian besar informan utama juga memiliki praktik yang baik dalam hal pengolahan makanan,
waktu pemberian makan, pemberian ASI dan pantangan makanan. Dalam praktiknya, sebagian besar informan utama hanya memberikan
makanan dengan komposisi yang terdiri dari nasi, tim atau bubur, dengan kuah sayur atau bumbu seperti kecap atau garam, dan jarang memberikan lauk pauk baik hewani
maupun nabati, yang bisa menyebabkan asupan nutrisi terutama protein dan lemak kurang memenuhi kebutuhan balita. Selain itu informan utama juga jarang
memberikan sayur ataupun buah yang menyebabkan asupan vitamin dan mineral kurang memenuhi kebutuhan balita. Sedangkan menurut pendapat Sediaoetama
2009:10, dalam susunan hidangan harus terlihat adanya makanan pokok, lauk- pauk, sayuran dan buah cuci mulut. Hidangan untuk anak-anak bayi, balita, remaja
dan ibu hamil atau menyusukan sebaiknya ditambahkan susu atau telur. Penambahan
makanan terakhir ini untuk meningkatkan kualitas campuran protein dalam hidangan.
Namun meskipun demikian, terdapat satu informan utama yang selalu memberikan makanan dengan komposisi yang terdiri dari nasi ditambah lauk pauk
dan sayuran, serta rutin memberikan susu minimal dua kali dalam sehari. Yang ternyata hal tersebut dilakukan oleh informan yang balitanya mengalami
peningkatan status gizi, dan memiliki pengetahuan serta sikap yang baik mengenai komposisi makanan yang ideal. Sebagaimana menurut pendapat Notoatmodjo
2003b:121, yang mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Selain itu Sanjur 1982
dalam Khomsan dkk 2007b:9 juga menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan.
Selain komposisi makanan yang tidak beragam, sebagian besar informan rata-rata hanya memberikan nasi sebanyak dua sendok makan atau sekitar 10 gram,
yang ternyata memiliki balita yang tidak mengalami peningkatan status gizi. Sedangkan menurut Pudjiadi 2005, asupan intake zat gizi dalam jumlah yang
seimbang mutlak dibutuhkan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia, khususnya anak balita. Karena itu asupan yang kurang atau berlebih secara terus
menerus akan mengganggu pertumbuhan dan kesehatan. Selain itu menurut Suhardjo 2003:8, kekurangan energi yang kronis pada anak-anak dapat menyebabkan anak
balita lemah, pertumbuhan jasmaninya terlambat, sehingga perkembangan selanjutnya terganggu.
Namun meskipun demikian, porsi makanan pokok yang diberikan informan utama yang memiliki pengetahuan dan sikap yang baik, sesuai dengan anjuran
Widjaja 2007 yaitu 100 gram nasi dalam sekali makan, yang ternyata diberikan oleh informan yang balitanya mengalami peningkatan status gizi. Namun mengingat
seluruh informan utama memiliki balita yang menderita KEP yang membutuhkan asupan zat gizi lebih terutama kalori dan protein untuk meningkatkan status gizinya,
porsi yang diberikan tentu seharusnya lebih besar, seperti menurut anjuran Moehji 1998:80, yang mengatakan bahwa apabila anak usia 2-3 tahun setiap makan dapat
menghabiskan antara 75-100 gram beras nasi sebanyak satu gelas minum yang diisi agak padat maka anak akan menerima masukan kalori sekitar 900 kalori setiap hari
setelah ditambah lauk pauk sekedarnya. Kurangnya porsi makanan yang diberikan informan utama, mungkin
dipengaruhi oleh faktor kesulitan makan yang dialami beberapa balita yang tidak mengalami peningkatan status gizi. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyajian
makanan yang kurang menarik, yang bisa dilihat dari kurangnya lauk pauk dalam makanan balita, serta kebiasaan jajan yang menyebabkan balita kenyang dan tidak
mau makan makanan utamanya. Selain itu karena sebagian besar informan utama jarang memberikan lauk,
maka dapat diasumsikan porsi lauk yang diberikan tidak sesuai dengan pedoman makanan balita menurut Widjaja 2007, yang menganjurkan balita diberikan 4-5
porsi daging masing-masing 50 gram tempe, tahu, ikan telur atau daging ayam dalam satu hari. Namun meskipun demikian, sebagian besar informan utama yang balitanya
mengalami peningkatan status gizi selalu memberikan susu minimal dua gelas
sehari, sehingga dapat diasumsikan kebutuhan protein balitanya dapat terpenuhi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sediaoetama 2009:10, yang mengatakan bahwa
penambahan susu atau telur dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas campuran protein dalam hidangan.
Porsi sayur yang diberikan informan utama cenderung kurang memenuhi kebutuhan balita, karena sebagian besar informan utama jarang memberikan sayur
dalam makanan balitanya. Selain itu informan utama juga jarang memberikan buah, sehingga kebutuhan zat pengatur seperti vitamin dan mineral dapat diasumsikan
tidak mencukupi kebutuhan balita. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengetahuan serta sikap informan utama yang secara umum termasuk buruk, yang bisa dilihat dari
anggapan mereka yang menganggap bahwa pemberian kuah sayur sudah mewakili porsi sayuran dalam makanan balita. Namun meskipun demikian, terdapat beberapa
informan utama yang selalu memberikan suplemen vitamin dari puskesmas, yang dapat menambah asupan vitamin untuk balita, yang ternyata hanya dilakukan oleh
informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi. Selain komposisi dan porsi makanan yang tidak mencukupi, penyajian
makanan yang dilakukan sebagian besar informan utama juga terlihat tidak menarik, karena tidak adanya variasi baik dari tampilan warna maupun jenis lauknya, selain
itu makanan hanya ditaruh dalam mangkuk dan sendok biasa, atau tidak menggunakan peralatan makan yang dapat merangsang balita untuk makan.
Sedangkan menurut pendapat Moehji 2008, bentuk potongan atau warna makanan sering dapat membangkitkan sikap anak untuk menyenangi suatu makanan yang
sebelumnya tidak disenangi. Karena itu, tidak salah jika makanan anak diberi warna atau bentuk khusus yang menarik perhatian anak sehingga anak mau memakannya.
Penyajian makanan yang kurang menarik mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan informan utama mengenai cara-cara yang tepat dalam
menyajikan makanan, dan kurangnya kesadaran informan dalam usaha meningkatkan selera makan balita. Selain itu keterbatasan bahan pangan dan
peralatan, juga dapat menjadi penghambat dalam usaha penyajian makanan yang menarik bagi balita. Sebagaimana menurut pendapat Notoatmodjo 2005:55, yang
mengatakan sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan
prasarana. Sedangkan dalam hal rasa makanan yang disajikan, sebagian besar informan
utama mengaku tidak membedakan rasa makanan balita dengan anggota keluarga lain dan rasa yang dominan dalam makanan balita adalah asin, manis dan terkadang
gurih. Namun sebagian besar informan yang balitanya mengalami peningkatan status gizi mengaku memberikan makanan balita dengan rasa yang berbeda dari yang
diberikan kepada anggota keluarga lain, seperti tidak terlalu asin jika dibandingkan dengan makanan keluarga. Sedangkan menurut pendapat Febry dan Marendra 2008
dalam Kodariah 2010:53, penyajian makanan pada anak harus diperhatikan, karena dapat mempengaruhi selera makan anak, baik penampilan, tekstur, warna, aroma,
besar porsi, dan pemilihan alat makan yang menarik.
Selain itu menu yang disajikan terlihat kurang variatif dan selalu hampir sama setiap harinya. Karena sebagian besar informan utama hanya menghidangkan
makanan utama berupa nasi, bubur ataupun nasi tim dengan kecap, garam, ataupun kuah sayur. Padahal menurut Febry dan Marendra 2008 dalam Kodariyah
2010:54, penyusunan menu makanan selain harus memperhatikan komposisi zat gizi, juga harus memperhatikan variasi menu makanan agar anak tidak bosan, dan
sebaiknya dibuat siklus menu tujuh atau sepuluh hari. Selain itu menurut Maulana 2008, pemberian makanan yang kurang
bervariasi dapat pula menyebabkan anak sulit menyesuaikan diri dengan makanan baru. Hal ini terbukti dari pernyataan informan yang mengatakan anaknya kurang
nafsu makan jika menu makanannya diganti, seperti mengganti bubur dengan nasi ataupun nasi tim, meskipun dalam kenyataannya informan tersebut memiliki balita
yang mengalami peningkatan status gizi. Selain komposisi dan porsi makanan yang kurang mencukupi dan penyajian
makanan yang kurang menarik, frekuensi pemberian makan yang dilakukan sebagian besar informan utama juga termasuk masih kurang, karena sebagian besar informan
hanya memberikan makanan utama paling sering dua kali dalam sehari atau bahkan satu kali jika sedang bepergian, serta jarang memberikan makanan tambahan, yang
ternyata hal tersebut dilakukan oleh informan yang balitanya tidak mengalami peningkatan status gizi. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya kesadaran
informan utama untuk mematuhi arahan dari petugas kesehatan tentang frekuensi pemberian makan kepada balita, serta faktor kesulitan makan dan kesibukan
informan, yang turut menjadi penghambat dalam memberikan makan kepada
balitanya, meskipun sebagian besar informan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik mengenai hal tersebut.
Sedangkan jika dilihat dari usia sebagian besar balita yang hendak menginjak usia dua tahun, yang sudah mempunyai gigi dan mulai pandai mengunyah
seharusnya bisa makan makanan lebih sering daripada usia sebelumnya. Sebagaimana menurut Arisman 2002:52, yang mengatakan bahwa saat menginjak
usia sembilan bulan bayi telah mempunyai gigi dan mulai pandai mengunyah kepingan makanan orang dewasa. Pada saat itu ia makan mungkin empat sampai
lima kali sehari. Namun meskipun demikian, frekuensi pemberian makan yang dilakukan
informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi ternyata cukup baik, karena mereka selalu memberikan makanan utama minimal tiga kali dalam
sehari dan memberikan makanan tambahan secara rutin minimal satu kali dalam sehari, dan bahkan terdapat satu informan diantaranya, yang selalu memberikan
makan utama untuk balitanya sampai lima kali dalam sehari ketika balita mengalami gizi buruk. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo 1990 dalam Yuniarti
2010:43, yang mengatakan bahwa frekuensi makan dikatakan baik bila frekuensi makan setiap harinya tiga kali makanan utama atau dua kali makanan utama dengan
satu kali makanan selingan, dan dinilai kurang bila frekuensi makan setiap harinya dua kali makanan utama atau kurang.
Hal tersebut ditegaskan pula oleh Latief dkk 2002, yang mengatakan bahwa jadwal makan anak adalah tiga kali makan dan diantaranya dapat diberikan makanan
kecilselingan. Makanan yang dianjurkan terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk,
buah, dan tambahan susu dua kali sehari, yaitu 250 ml setiap kali minum. Waktu makan yaitu pada pagi, siang, dan malam. Sedangkan waktu makan untuk makanan
selingan ialah jam 11.00 dan jam 16.00. Selain komposisi, porsi, dan frekuensi pemberian makan yang kurang
mencukupi dan penyajian makanan yang kurang menarik, sebagian besar informan utama juga memiliki praktik yang secara umum masih buruk dalam hal waktu
dimulainya pemberian MP-ASI. Hal tersebut bisa dilihat dari kebiasaan sebagian besar informan utama yang telah memberikan MP-ASI berupa bubur bayi instan,
pisang ataupun susu formula sebelum balita berusia empat bulan, bahkan beberapa diantaranya sudah memberikan MP-ASI sejak balita dilahirkan atau sejak balita
berusia satu minggu. Sedangkan menurut Soenardi 2000, pemberian MP-ASI sebaiknya pada usia enam bulan, karena pencernaan bayi sebelum usia enam bulan
belum sempurna. Bila dipaksa bisa menyebabkan pencernaan sakit karena pemberian terlalu cepat, lagi pula kekebalan terhadap bakteri masih kecil dan bisa tercemar
melalui alat makan dan cara pengolahan yang kurang higienis. Hal senada juga disampaikan oleh Pudjiadi 2005, yang mengatakan jika
produksi ASI cukup, maka pertumbuhan bayi untuk 4-5 bulan pertama akan memuaskan, pada umur 5-6 bulan berat badan bayi akan menjadi dua kali lipat
daripada berat badan lahir. Maka sampai umur 4-5 bulan tidak perlu memberi makanan tambahan pada bayi tersebut, terkecuali sedikit jus buah seperti tomat,
jeruk, pisang dan sebagainya. Setelah berumur empat atau lima bulan bayi harus dapat makanan tambahan berupa makanan padat berupa bubur susu atau nasi tim.
Pada bayi yang bertumbuh terlalu cepat, maka dimulainya makanan padat dapat
diundurkan sampai umur enam sampai tujuh bulan untuk mencegah bayi menjadi terlalu gemuk.
Namun meskipun demikian, porsi MP-ASI yang diberikan informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi ternyata lebih baik dibandingkan
dengan informan utama yang balitanya tidak mengalami peningkatan status gizi. Karena informan yang balitanya mengalami peningkatan status gizi, selalu
memberikan MP-ASI dengan porsi yang lebih besar dan lebih teratur jika dibandingkan dengan informan yang balitanya tidak mengalami peningkatan status
gizi. Hal ini terjadi dimungkinkan karena informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi, selalu mengikuti petunjuk yang diberikan petugas kesehatan,
yang terbukti dari pengakuan salah satu informan utama yang mengatakan selalu memberikan bubur bayi “X” tiga sendok makan dalam sekali makan, karena
mengikuti arahan atau petunjuk dari petugas kesehatan di puskesmas. Sebagaimana menurut Rosmana 2003:16, yang mengatakan bahwa
pemberian ASI kepada balita hendaknya dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu berkisar 24 bulan, namun seiring dengan pertumbuhan bayi yang demikian
pesat disatu sisi dan kualitas ASI yang tidak lagi dapat mencukupi disisi lain, maka dipandang perlu adanya pemberian makanan sebagai pendamping ASI MP-ASI.
Pemberian MP-ASI ini hendaknya diberikan secara bertahap, namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa ASI merupakan makanan utama bagi balita
sehingga kedudukannya tidak dapat digantikan oleh MP-ASI, sehingga walaupun telah diberikan MP-ASI, pemberian ASI harus terus diberikan sampai batas waktu
pemberiannya.
Selain komposisi, porsi, dan frekuensi pemberian makan yang kurang mencukupi dan penyajian makanan yang kurang menarik, sebagian besar informan
utama juga memberikan makanan tambahan dengan porsi yang kurang, yang ternyata dilakukan oleh informan yang balitanya tidak mengalami peningkatan status
gizi. Mereka hanya memberikan makanan tambahan satu sampai tiga keping biskuit dalam sehari atau sekitar 10 sampai 30 gram. Meskipun demikian, terkadang mereka
memberikan kue tradisional, namun dalam jumlah sedikit. Selain itu PMT yang diberikan dari puskesmas baik susu maupun biskuit lebih banyak dikonsumsi oleh
anggota keluarga lain dibandingkan oleh balita itu sendiri. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena kurangnya kesadaran informan, dalam mengikuti arahan yang
diberikan petugas puskesmas tentang pemberian makanan tambahan kepada balita. Namun meskipun demikian, seluruh informan yang balitanya mengalami
peningkatan status gizi selalu memberikan makanan tambahan secara teratur, dan dengan porsi yang cukup setiap harinya yaitu minimal 10 keping atau 100 gram
biskuit perhari. Sebagaimana menurut pendapat Moehji 1988:81, yang mengatakan bahwa langkah yang dapat ditempuh untuk menaikkan masukan kalori pada anak-
anak usia balita adalah menambah frekuensi makan dari dua kali menjadi tiga kali atau memberikan makanan selingan yang cukup antara dua waktu makan. Praktik
informan yang baik tersebut, mungkin dipengaruhi oleh sikap positif informan yang menganggap penting pemberian makanan tambahan kepada balita, serta kesadaran
yang tinggi untuk memberikan makanan tambahan secara teratur dan dengan porsi yang cukup.
Selain itu sikap yang buruk terhadap kesukaan jajan balita, ternyata berdampak negatif terhadap kebiasaan jajan balita, karena dalam kenyataannya
sebagian besar balita terbiasa jajan dua sampai empat kali dalam sehari. Dan sebagian besar informan utama selalu memberikan jajanan yang mengandung zat
gizi rendah dan mengandung bahan tambahan makanan yang tidak baik, seperti ciki, astor, kerupuk, permen, coklat, makaroni, minuman dingin, dan snack-snack ringan
lainnya. Namun meskipun demikian terdapat dua informan utama yang tidak membiarkan balita mereka jajan, yang ternyata balitanya mengalami peningkatan
status gizi. Kebiasaan jajan balita mungkin juga dipengaruhi oleh kebiasaan jajan yang
dilakukan oleh saudara atau teman mereka, serta lokasi rumah balita yang berdekatan dengan warung jajanan. Sedangkan menurut Susanto 2003, kebiasaan
jajan makanan cenderung menjadi bagian budaya keluarga. Makanan jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan gizi akan mengancam kesehatan anak. Nafsu
makan anak berkurang dan jika berlangsung lama akan berpengaruh pada status gizi. Moehji 2003 mengatakan bahwa kebiasaan jajan memiliki kelemahan-
kelemahan, antara lain jajanan biasanya banyak mengandung hidrat arang dan walaupun ada zat-zat makanan lain, tapi jumlahnya sedikit. Kemudian jika terlalu
sering jajan maka anak akan kenyang, sehingga anak tidak mau makan nasi, atau jika mau, jumlah yang dihabiskan hanya sedikit sekali. Selain itu kebersihan dari jajanan
itu sangat diragukan. Dan jika keinginan anak untuk jajan tidak dipenuhi, maka sering kali anak akan menangis dan menolak untuk makan. Sedangkan dari segi
pendidikan, kebiasaan jajan ini tidak dapat dianggap baik, lebih-lebih jika anak hanya diberikan uang dan membeli sendiri makanannya itu.
Meskipun sebagian besar informan utama memiliki praktik yang buruk dalam hal komposisi dan porsi makanan, penyajian makanan, frekuensi pemberian
makan, pemberian MP-ASI dan pemberian makanan tambahan. Sebagian besar informan utama memiliki praktik yang baik dalam hal pengolahan dan penyimpanan
makanan, waktu pemberian makan, pemberian ASI dan pantangan makanan. Praktik informan yang baik dalam hal pengolahan makanan, bisa dilihat dari
praktik mereka yang selalu mengolah makanan balitanya dengan cara pemanasan, seperti merebus, menggoreng, menumis ataupun menyiramnya dengan air panas.
Sebagaimana menurut pendapat Santoso 1999:14, yang mengatakan bahwa pengaruh pemanasan dalam pengolahan makanan adalah meninggikan sifat dapat
cerna atau digestibilitas makanan terutama bahan makanan nabati, melemahkan dan mematikan mikroba, dan dapat meniadakan zat-zat toksik.
Namun meskipun demikian, proses pengolahan makanan yang dilakukan informan terlalu banyak mengalami proses pengulangan, sehingga dikhawatirkan
dapat menyebabkan banyaknya zat gizi dalam bahan makanan terbuang percuma. Contohnya dalam proses memasak bahan makanan pokok seperti beras, yang
dimulai dengan mencuci, kemudian merebus, disiram air panas dan dikukus kembali, yang memungkinkan zat gizi terbuang dalam proses pencucian maupun perebusan.
Sebagaimana menurut pendapat Sediaoetama 2008:12, yang mengatakan bahwa mengolah dan memasak bahan makanan dapat pula menyebabkan kehilangan
sebagian besar dari zat-zat gizi, terutama vitamin-vitamin. Beberapa jenis vitamin
mudah larut didalam air pencuci, sehingga hilang terbuang dan beberapa lagi dapat rusak oleh pemanasan dan penyinaran matahari. Cara penanganan bahan makanan
yang tidak betul, akan lebih banyak menyebabkan zat-zat makanan terbuang percuma. Selain itu menurut Santoso 1999:14, jika pengolahan makanan dilakukan
dengan cara pemanasan yang terlalu tinggi dapat berpengaruh negatif yaitu dapat merusak sifat bahan makanan sehingga menjadi sukar atau tidak dapat dicerna oleh
tubuh dan dapat menyebabkan bahan makanan menjadi karsinogenik. Selain itu jika dilihat dari praktik sebagian besar informan utama yang selalu
menyimpan makanan balita ditempat tertutup dan bersih, serta selalu menggunakan peralatan yang dicuci bersih sebelum digunakan, maka dapat diasumsikan proses
pengolahan makanan yang dilakukan informan utama cukup memperhatikan aspek kebersihan. Sebagaimana menurut pendapat Soenardi 2000, yang mengatakan
bahwa pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat
menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan
sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan Soenardi, 2000 dalam Husin 2008.
Selain praktik pengolahan dan penyimpanan yang baik, informan utama juga memiliki praktik pemberian ASI yang secara umum termasuk baik. Hal tersebut
dapat dilihat dari kebiasaan sebagian besar informan utama yang selalu memulai pemberian ASI sejak balitanya dilahirkan, dan memberikan ASI sampai balita
berusia dua tahun. Namun meskipun demikian, terdapat satu informan utama yang
menghentikan pemberian ASI saat balita berusia tiga bulan karena balita tidak mau menyusu, yang ternyata balitanya mengalami peningkatan status gizi. Sedangkan
menurut Pudjiadi 2005:14, ASI merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi untuk
membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang belum berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. Lagipula
ASI memiliki berbagai zat anti infeksi, mengurangi kejadian eksim atopic
2
, dan proses menyusui menguntungkan ibunya dengan terdapat lactational infertility
3
, hingga memperpanjang child spacing atau jarak kelahiran.
Selain itu terdapat salah satu informan utama yang memiliki kesadaran tinggi untuk tetap memberikan ASI sejak awal kelahiran, meskipun ASI yang dihasilkan
masih berwarna kuning kolostrum, yang ternyata dilakukan oleh informan yang balitanya mengalami peningkatan status gizi. Sebagaimana menurut pendapat
Pudjiadi 2005:18, yang mengatakan bahwa ASI pada lima hari pertama warnanya lebih kuning dan lebih kental, dan dinamakan kolostrum. Walaupun kolostrum
berwarna lain daripada ASI yang dikeluarkan kemudian, jangan sekali-kali dianggap produk basi, melainkan susu yang bernilai gizi baik sekali. Disamping mengandung
kadar protein tinggi, kolostrum mengandung banyak zat anti infeksi, hingga baik sekali bagi bayi pada hari-hari pertama setelah dilahirkan.
2
Eksim atopic adalah adalah penyakit radang kulit umum yang sering telah mulai diderita sejak masa kanak-kanak
3
Lactational infertility adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat hamil karena menyusui.
Sebagian besar informan utama yang melakukan praktik menyusui juga memberikan atau berencana memberikan ASI sampai balita berusia dua tahun.
Meskipun demikian, terdapat satu informan utama yang terlihat masih memberikan ASI walaupun balitanya sudah menginjak usia dua tahun, yang ternyata mengalami
penurunan status gizi. Hal tersebut bisa dijelaskan dengan pendapat Jahari 1988 dalam Zulkarnaen 2008:21, yang mengatakan bahwa usia penyapihan yang terlalu
dini pada bayi merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi kurang pada bayi. Begitu pula sebaliknya, usia penyapihan yang terlalu lama tanpa diimbangi
pemberian makanan yang tepat, jenis, bentuk dan waktunya dapat mengakibatkan timbulnya masalah gizi pada anak balita yang dapat berlanjut menjadi lebih berat.
Keadaan demikian kemungkinan besar disebabkan kurang atau tidak terpenuhinya kebutuhan energi pada usia penyapihan. Keadaan gizi buruk pada balita akan
menimbulkan konsekuensi fungsional, antara lain pertumbuhan fisik dan perkembangan mental terlambat.
Selain itu frekuensi pemberian ASI yang dilakukan informan utama kepada balitanya secara umum juga termasuk baik, hal ini bisa dilihat dari kebiasaan
sebagian besar informan utama yang selalu memberikan ASI lebih dari enam kali dalam sehari, dan selalu diberikan saat balita menangis, minta menyusu atau pada
jam biasa diberikan ASI. Frekuensi pemberian ASI yang dilakukan informan tersebut, sesuai dengan frekuensi pemberian ASI yang ideal menurut Depkes RI
2006 dalam Husin 2008:13, yaitu minimal enam kali sehari untuk balita seumuran informan utama.
Selain praktik pengolahan dan pemberian ASI yang baik, sebagian besar informan utama juga memberikan makan pada waktu yang tepat, yaitu saat balita
meminta makan dan pada waktu biasanya balita diberi makanan. Sebagaimana menurut Kusumadewi 1998 dalam Kodariyah 2010:54, yang mengatakan bahwa
waktu pemberian makan yang tidak tepat seperti pada saat anak sedang mengantuk, atau belum merasa lapar akan membuat anak tidak menikmati makanannya. Oleh
karena itu penerapan jadwal makan disertai dengan kondisi anak pada saat makan akan mempengaruhi anak dalam menerima makanan.
Selain itu, sebagian besar informan utama juga tidak memberikan pantangan makanan yang dapat menurunkan asupan zat gizi untuk balita, yang bisa dilihat dari
praktik informan yang tidak memberikan pantangan makanan apapun, kecuali pantangan makanan yang bisa menyebabkan balita sakit seperti minuman dingin,
permen, coklat dan ciki. Menurut hasil penelitian Tan 1970 dalam Khomsan dkk 2007b:9,
menunjukkan bahwa dalam hal kepercayaan dan pantangan yang berhubungan dengan makanan, responden yakin sekali pada kepercayaan dan pantangan yang
berlaku pada bayi, anak, perempuan, wanita hamil dan menyusui. Dengan adanya makanan pantangan, maka jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas,
walaupun tidak berakibat fatal tetapi hanya bersifat merugikan saja. Makanan yang dilarang itu, jika dilihat dari konteks gizi terkadang merupakan bahan makanan yang
mengandung nilai gizi tinggi Khomsan dkk, 2007b:9.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa praktik sebagian besar informan utama mengenai pemberian makan secara umum termasuk buruk,
terutama dalam hal komposisi dan porsi makanan yang diberikan, penyajian makanan, frekuensi pemberian makan, pemberian MP-ASI dan pemberian makanan
tambahan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh pengetahuan dan sikap sebagian besar informan utama yang termasuk buruk dalam hal pemberian makan. Namun
meskipun demikian, sebagian besar informan utama memiliki praktik yang baik dalam hal pengolahan dan penyimpanan makanan, waktu pemberian makan,
pemberian ASI dan pantangan makanan. Selain itu terdapat beberapa informan utama yang memiliki praktik yang baik
dalam hal porsi makanan, frekuensi pemberian makan dan pemberian makanan tambahan, yang ternyata balitanya mengalami peningkatan status gizi. Namun hal
tersebut dikhawatirkan tidak dapat berlangsung langgeng long lasting, jika tidak didasari oleh pengetahuan dan sikap yang baik serta kesadaran yang tinggi.
Sebagaimana menurut pendapat Rogers dalam Notoatmodjo 2003b: 122, yang mengatakan bahwa apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng long lasting. Sebaliknya apabila perilaku
itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran yang tinggi maka tidak akan berlangsung lama.
6.4 Perilaku Pemberian Makan