penyiapan  atau  pengolahan  makanan,  frekuensi  pemberian  makan,  dan  pemberian ASI.
6.3 Praktik Pemberian Makan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebagian besar informan utama memiliki praktik yang secara umum termasuk buruk dalam hal komposisi dan
porsi makanan, penyajian makanan, frekuensi pemberian makan, pemberian MP-ASI dan  pemberian  makanan  tambahan.  Namun  meskipun  demikian,  terdapat  beberapa
informan  utama  yang  memiliki  praktik  yang  secara  umum  baik  dalam  hal  porsi makanan,  frekuensi  pemberian  makan  dan  pemberian  makanan  tambahan,  yang
ternyata  balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi.  Selain  itu  sebagian  besar informan  utama  juga  memiliki  praktik  yang  baik  dalam  hal  pengolahan  makanan,
waktu pemberian makan, pemberian ASI dan pantangan makanan. Dalam  praktiknya,  sebagian  besar  informan  utama  hanya  memberikan
makanan dengan komposisi yang terdiri dari nasi, tim atau bubur, dengan kuah sayur atau bumbu seperti kecap atau garam, dan jarang memberikan lauk pauk baik hewani
maupun  nabati,  yang  bisa  menyebabkan  asupan  nutrisi  terutama  protein  dan  lemak kurang  memenuhi  kebutuhan  balita.  Selain  itu  informan  utama  juga  jarang
memberikan  sayur  ataupun  buah  yang  menyebabkan  asupan  vitamin  dan  mineral kurang  memenuhi  kebutuhan  balita.  Sedangkan  menurut  pendapat  Sediaoetama
2009:10,  dalam  susunan  hidangan  harus  terlihat  adanya  makanan  pokok,  lauk- pauk, sayuran dan buah cuci mulut. Hidangan untuk anak-anak bayi, balita, remaja
dan ibu hamil atau menyusukan sebaiknya ditambahkan susu atau telur. Penambahan
makanan  terakhir  ini  untuk  meningkatkan  kualitas  campuran  protein  dalam hidangan.
Namun  meskipun  demikian,  terdapat  satu  informan  utama  yang  selalu memberikan  makanan  dengan  komposisi  yang  terdiri  dari  nasi  ditambah  lauk  pauk
dan  sayuran,  serta  rutin  memberikan  susu  minimal  dua  kali  dalam  sehari.  Yang ternyata  hal  tersebut  dilakukan  oleh  informan  yang  balitanya  mengalami
peningkatan  status  gizi,  dan  memiliki  pengetahuan  serta  sikap  yang  baik  mengenai komposisi  makanan  yang  ideal.  Sebagaimana  menurut  pendapat  Notoatmodjo
2003b:121, yang mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Selain itu Sanjur 1982
dalam Khomsan dkk 2007b:9 juga menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan.
Selain  komposisi  makanan  yang  tidak  beragam,  sebagian  besar  informan rata-rata hanya memberikan nasi sebanyak dua sendok makan atau sekitar 10 gram,
yang  ternyata  memiliki  balita  yang  tidak  mengalami  peningkatan  status  gizi. Sedangkan  menurut  Pudjiadi  2005,  asupan  intake  zat  gizi  dalam  jumlah  yang
seimbang  mutlak  dibutuhkan  pada  berbagai  tahap  tumbuh  kembang  manusia, khususnya  anak  balita.  Karena  itu  asupan  yang  kurang  atau  berlebih  secara  terus
menerus akan mengganggu pertumbuhan dan kesehatan. Selain itu menurut Suhardjo 2003:8,  kekurangan  energi  yang  kronis  pada  anak-anak  dapat  menyebabkan  anak
balita  lemah,  pertumbuhan  jasmaninya  terlambat,  sehingga  perkembangan selanjutnya terganggu.
Namun  meskipun  demikian,  porsi  makanan  pokok  yang  diberikan  informan utama  yang  memiliki  pengetahuan  dan  sikap  yang  baik,  sesuai  dengan  anjuran
Widjaja  2007  yaitu  100  gram  nasi  dalam  sekali  makan,  yang  ternyata  diberikan oleh informan yang balitanya mengalami peningkatan status gizi. Namun mengingat
seluruh  informan  utama  memiliki  balita  yang  menderita  KEP  yang  membutuhkan asupan zat gizi lebih terutama kalori dan protein untuk meningkatkan status gizinya,
porsi  yang  diberikan  tentu  seharusnya  lebih  besar,  seperti  menurut  anjuran  Moehji 1998:80, yang mengatakan bahwa apabila anak usia 2-3 tahun setiap makan dapat
menghabiskan antara 75-100 gram beras nasi sebanyak satu gelas minum yang diisi agak padat maka anak akan menerima masukan kalori sekitar 900 kalori setiap hari
setelah ditambah lauk pauk sekedarnya. Kurangnya  porsi  makanan  yang  diberikan  informan  utama,  mungkin
dipengaruhi  oleh  faktor  kesulitan  makan  yang  dialami  beberapa  balita  yang  tidak mengalami  peningkatan  status  gizi.  Hal  ini  mungkin  disebabkan  oleh  penyajian
makanan  yang  kurang  menarik,  yang  bisa  dilihat  dari  kurangnya  lauk  pauk  dalam makanan  balita,  serta  kebiasaan  jajan  yang  menyebabkan  balita  kenyang  dan  tidak
mau makan makanan utamanya. Selain  itu  karena  sebagian  besar  informan  utama  jarang  memberikan  lauk,
maka  dapat  diasumsikan  porsi  lauk  yang  diberikan  tidak  sesuai  dengan  pedoman makanan  balita  menurut  Widjaja  2007,  yang  menganjurkan  balita  diberikan  4-5
porsi daging masing-masing 50 gram tempe, tahu, ikan telur atau daging ayam dalam satu hari. Namun meskipun demikian, sebagian besar informan utama yang balitanya
mengalami  peningkatan  status  gizi  selalu  memberikan  susu  minimal  dua  gelas
sehari, sehingga dapat diasumsikan kebutuhan protein balitanya dapat terpenuhi. Hal ini  sesuai  dengan  pendapat  Sediaoetama  2009:10,  yang  mengatakan  bahwa
penambahan susu atau telur dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas campuran protein dalam hidangan.
Porsi  sayur  yang  diberikan  informan  utama  cenderung  kurang  memenuhi kebutuhan  balita,  karena  sebagian  besar  informan  utama  jarang  memberikan  sayur
dalam makanan balitanya. Selain itu informan utama juga jarang memberikan buah, sehingga  kebutuhan  zat  pengatur  seperti  vitamin  dan  mineral  dapat  diasumsikan
tidak  mencukupi  kebutuhan  balita.  Hal  ini  mungkin  disebabkan  oleh  pengetahuan serta sikap informan utama yang secara umum termasuk buruk, yang bisa dilihat dari
anggapan  mereka  yang  menganggap  bahwa  pemberian  kuah  sayur  sudah  mewakili porsi sayuran dalam makanan balita. Namun meskipun demikian, terdapat beberapa
informan  utama  yang  selalu  memberikan  suplemen  vitamin  dari  puskesmas,  yang dapat  menambah  asupan  vitamin  untuk  balita,  yang  ternyata  hanya  dilakukan  oleh
informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi. Selain  komposisi  dan  porsi  makanan  yang  tidak  mencukupi,  penyajian
makanan yang dilakukan sebagian besar informan utama juga terlihat tidak menarik, karena  tidak  adanya  variasi  baik  dari  tampilan  warna  maupun  jenis  lauknya,  selain
itu  makanan  hanya  ditaruh  dalam  mangkuk  dan  sendok  biasa,  atau  tidak menggunakan  peralatan  makan  yang  dapat  merangsang  balita  untuk  makan.
Sedangkan menurut pendapat Moehji 2008, bentuk potongan atau warna makanan sering  dapat  membangkitkan  sikap  anak  untuk  menyenangi  suatu  makanan  yang
sebelumnya tidak disenangi. Karena itu, tidak salah jika makanan anak diberi warna atau bentuk khusus yang menarik perhatian anak sehingga anak mau memakannya.
Penyajian  makanan  yang  kurang  menarik  mungkin  disebabkan  oleh kurangnya  pengetahuan  informan  utama  mengenai  cara-cara  yang  tepat  dalam
menyajikan  makanan,  dan  kurangnya  kesadaran  informan  dalam  usaha meningkatkan  selera  makan  balita.  Selain  itu  keterbatasan  bahan  pangan  dan
peralatan,  juga  dapat  menjadi  penghambat  dalam  usaha  penyajian  makanan  yang menarik  bagi  balita.  Sebagaimana  menurut  pendapat  Notoatmodjo  2005:55,  yang
mengatakan  sikap  belum  tentu  terwujud  dalam  tindakan,  sebab  untuk  terwujudnya tindakan  perlu  faktor  lain,  yaitu  antara  lain  adanya  fasilitas  atau  sarana  dan
prasarana. Sedangkan dalam hal rasa makanan yang disajikan, sebagian besar informan
utama  mengaku  tidak  membedakan  rasa  makanan  balita  dengan  anggota  keluarga lain dan rasa yang dominan dalam makanan balita adalah asin, manis dan terkadang
gurih. Namun sebagian besar informan yang balitanya mengalami peningkatan status gizi  mengaku  memberikan  makanan  balita  dengan  rasa  yang  berbeda  dari  yang
diberikan kepada anggota keluarga  lain,  seperti tidak terlalu asin  jika  dibandingkan dengan makanan keluarga. Sedangkan menurut pendapat Febry dan Marendra 2008
dalam Kodariah 2010:53, penyajian makanan pada anak harus diperhatikan, karena dapat  mempengaruhi  selera  makan  anak,  baik  penampilan,  tekstur,  warna,  aroma,
besar porsi, dan pemilihan alat makan yang menarik.
Selain  itu  menu  yang  disajikan  terlihat  kurang  variatif  dan  selalu  hampir sama setiap  harinya.  Karena  sebagian  besar  informan utama  hanya  menghidangkan
makanan utama  berupa  nasi, bubur ataupun nasi tim dengan  kecap, garam, ataupun kuah  sayur.  Padahal  menurut  Febry  dan  Marendra  2008  dalam  Kodariyah
2010:54,  penyusunan  menu  makanan  selain  harus  memperhatikan  komposisi  zat gizi,  juga  harus  memperhatikan  variasi  menu  makanan  agar  anak  tidak  bosan,  dan
sebaiknya dibuat siklus menu tujuh atau sepuluh hari. Selain  itu  menurut  Maulana  2008,  pemberian  makanan  yang  kurang
bervariasi  dapat  pula  menyebabkan  anak  sulit  menyesuaikan  diri  dengan  makanan baru.  Hal  ini  terbukti  dari  pernyataan  informan  yang  mengatakan  anaknya  kurang
nafsu  makan  jika  menu  makanannya  diganti,  seperti  mengganti  bubur  dengan  nasi ataupun  nasi  tim,  meskipun  dalam  kenyataannya  informan  tersebut  memiliki  balita
yang mengalami peningkatan status gizi. Selain komposisi dan porsi makanan yang kurang mencukupi dan penyajian
makanan yang kurang menarik, frekuensi pemberian makan yang dilakukan sebagian besar  informan utama  juga termasuk  masih kurang, karena sebagian besar informan
hanya  memberikan makanan utama paling sering dua kali dalam sehari atau bahkan satu kali  jika sedang  bepergian,  serta  jarang  memberikan  makanan tambahan,  yang
ternyata  hal  tersebut  dilakukan  oleh  informan  yang  balitanya  tidak  mengalami peningkatan  status  gizi.  Hal  ini  mungkin  disebabkan  karena  kurangnya  kesadaran
informan  utama  untuk  mematuhi  arahan  dari  petugas  kesehatan  tentang  frekuensi pemberian  makan  kepada  balita,  serta  faktor  kesulitan  makan  dan  kesibukan
informan,  yang  turut  menjadi  penghambat  dalam  memberikan  makan  kepada
balitanya, meskipun  sebagian besar informan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik mengenai hal tersebut.
Sedangkan jika dilihat dari usia sebagian besar balita yang hendak menginjak usia  dua  tahun,  yang  sudah  mempunyai  gigi  dan  mulai  pandai  mengunyah
seharusnya  bisa  makan  makanan  lebih  sering  daripada  usia  sebelumnya. Sebagaimana  menurut Arisman 2002:52, yang mengatakan bahwa saat  menginjak
usia  sembilan  bulan  bayi  telah  mempunyai  gigi  dan  mulai  pandai  mengunyah kepingan  makanan  orang  dewasa.  Pada  saat  itu  ia  makan  mungkin  empat  sampai
lima kali sehari. Namun  meskipun  demikian,  frekuensi  pemberian  makan  yang  dilakukan
informan  utama  yang  balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi  ternyata  cukup baik,  karena  mereka  selalu  memberikan  makanan  utama  minimal  tiga  kali  dalam
sehari  dan  memberikan  makanan  tambahan  secara  rutin  minimal  satu  kali  dalam sehari,  dan  bahkan  terdapat  satu  informan  diantaranya,  yang  selalu  memberikan
makan utama untuk balitanya sampai lima kali dalam sehari ketika balita mengalami gizi  buruk.  Hal  ini  sesuai  dengan  pendapat  Suhardjo  1990  dalam  Yuniarti
2010:43,  yang  mengatakan  bahwa  frekuensi  makan  dikatakan  baik  bila  frekuensi makan setiap harinya tiga kali makanan utama atau dua kali makanan utama dengan
satu kali  makanan  selingan, dan dinilai kurang  bila  frekuensi  makan setiap  harinya dua kali makanan utama atau kurang.
Hal tersebut ditegaskan pula oleh Latief dkk 2002, yang mengatakan bahwa jadwal makan anak adalah tiga kali makan dan diantaranya dapat diberikan makanan
kecilselingan.  Makanan  yang  dianjurkan  terdiri  dari  makanan  pokok,  lauk-pauk,
buah,  dan  tambahan  susu  dua  kali  sehari,  yaitu  250  ml  setiap  kali  minum.  Waktu makan yaitu pada pagi, siang, dan malam. Sedangkan waktu makan untuk makanan
selingan ialah jam 11.00 dan jam 16.00. Selain  komposisi,  porsi,  dan  frekuensi  pemberian  makan  yang  kurang
mencukupi  dan  penyajian  makanan  yang  kurang  menarik,  sebagian  besar  informan utama  juga  memiliki  praktik  yang  secara  umum  masih  buruk  dalam  hal  waktu
dimulainya  pemberian  MP-ASI.  Hal  tersebut  bisa  dilihat  dari  kebiasaan  sebagian besar  informan  utama  yang  telah  memberikan  MP-ASI  berupa  bubur  bayi  instan,
pisang  ataupun  susu  formula  sebelum  balita  berusia  empat  bulan,  bahkan  beberapa diantaranya  sudah  memberikan  MP-ASI  sejak  balita  dilahirkan  atau  sejak  balita
berusia  satu  minggu.  Sedangkan  menurut  Soenardi  2000,  pemberian  MP-ASI sebaiknya pada usia enam  bulan, karena pencernaan  bayi  sebelum usia enam  bulan
belum sempurna. Bila dipaksa bisa menyebabkan pencernaan sakit karena pemberian terlalu  cepat,  lagi  pula  kekebalan  terhadap  bakteri  masih  kecil  dan  bisa  tercemar
melalui alat makan dan cara pengolahan yang kurang higienis. Hal  senada  juga  disampaikan  oleh  Pudjiadi  2005,  yang  mengatakan  jika
produksi  ASI  cukup,  maka  pertumbuhan  bayi  untuk  4-5  bulan  pertama  akan memuaskan,  pada  umur  5-6  bulan  berat  badan  bayi  akan  menjadi  dua  kali  lipat
daripada  berat  badan  lahir.  Maka  sampai  umur  4-5  bulan  tidak  perlu  memberi makanan  tambahan  pada  bayi  tersebut,  terkecuali  sedikit  jus  buah  seperti  tomat,
jeruk,  pisang  dan  sebagainya.  Setelah  berumur  empat  atau  lima  bulan  bayi  harus dapat  makanan  tambahan  berupa  makanan  padat  berupa  bubur  susu  atau  nasi  tim.
Pada  bayi  yang  bertumbuh  terlalu  cepat,  maka  dimulainya  makanan  padat  dapat
diundurkan  sampai  umur  enam  sampai  tujuh  bulan  untuk  mencegah  bayi  menjadi terlalu gemuk.
Namun  meskipun  demikian,  porsi  MP-ASI  yang  diberikan  informan  utama yang  balitanya  mengalami peningkatan status gizi  ternyata lebih  baik dibandingkan
dengan  informan  utama  yang  balitanya  tidak  mengalami  peningkatan  status  gizi. Karena  informan  yang  balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi,  selalu
memberikan  MP-ASI  dengan  porsi  yang  lebih  besar  dan  lebih  teratur  jika dibandingkan  dengan  informan  yang  balitanya  tidak  mengalami  peningkatan  status
gizi. Hal ini terjadi dimungkinkan karena informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi, selalu mengikuti petunjuk yang diberikan petugas kesehatan,
yang  terbukti  dari  pengakuan  salah  satu  informan  utama  yang  mengatakan  selalu memberikan  bubur  bayi  “X”  tiga  sendok  makan  dalam  sekali  makan,  karena
mengikuti arahan atau petunjuk dari petugas kesehatan di puskesmas. Sebagaimana  menurut  Rosmana  2003:16,  yang  mengatakan  bahwa
pemberian  ASI  kepada  balita  hendaknya  dilakukan  secara  kontinyu  dalam  jangka waktu  berkisar  24  bulan,  namun  seiring  dengan  pertumbuhan  bayi  yang  demikian
pesat disatu sisi dan kualitas ASI yang tidak lagi dapat mencukupi disisi lain, maka dipandang  perlu  adanya  pemberian  makanan  sebagai  pendamping  ASI  MP-ASI.
Pemberian  MP-ASI  ini  hendaknya  diberikan  secara  bertahap,  namun  yang  perlu mendapatkan  perhatian  adalah  bahwa  ASI  merupakan  makanan  utama  bagi  balita
sehingga  kedudukannya  tidak  dapat  digantikan  oleh  MP-ASI,  sehingga  walaupun telah  diberikan  MP-ASI,  pemberian  ASI  harus  terus  diberikan  sampai  batas  waktu
pemberiannya.
Selain  komposisi,  porsi,  dan  frekuensi  pemberian  makan  yang  kurang mencukupi  dan  penyajian  makanan  yang  kurang  menarik,  sebagian  besar  informan
utama  juga  memberikan  makanan  tambahan  dengan  porsi  yang  kurang,  yang ternyata dilakukan oleh informan yang balitanya tidak mengalami peningkatan status
gizi. Mereka hanya memberikan makanan tambahan satu sampai tiga keping biskuit dalam sehari atau sekitar 10 sampai 30 gram. Meskipun demikian, terkadang mereka
memberikan  kue  tradisional,  namun  dalam  jumlah  sedikit.  Selain  itu  PMT  yang diberikan  dari  puskesmas  baik  susu  maupun  biskuit  lebih  banyak  dikonsumsi  oleh
anggota  keluarga  lain  dibandingkan  oleh  balita  itu  sendiri.  Hal  ini  terjadi  mungkin disebabkan  karena  kurangnya  kesadaran  informan,  dalam  mengikuti  arahan  yang
diberikan petugas puskesmas tentang pemberian makanan tambahan kepada balita. Namun  meskipun  demikian,  seluruh  informan  yang  balitanya  mengalami
peningkatan  status  gizi  selalu  memberikan  makanan  tambahan  secara  teratur,  dan dengan  porsi  yang  cukup  setiap  harinya  yaitu  minimal  10  keping  atau  100  gram
biskuit perhari. Sebagaimana menurut pendapat Moehji 1988:81, yang mengatakan bahwa  langkah  yang  dapat  ditempuh  untuk  menaikkan  masukan  kalori  pada  anak-
anak  usia  balita  adalah  menambah  frekuensi  makan  dari  dua  kali  menjadi  tiga  kali atau  memberikan  makanan  selingan  yang  cukup  antara  dua  waktu  makan.  Praktik
informan yang baik tersebut, mungkin dipengaruhi oleh sikap positif informan yang menganggap  penting  pemberian  makanan  tambahan  kepada  balita,  serta  kesadaran
yang  tinggi  untuk  memberikan  makanan  tambahan  secara  teratur  dan  dengan  porsi yang cukup.
Selain  itu  sikap  yang  buruk  terhadap  kesukaan  jajan  balita,  ternyata berdampak  negatif  terhadap  kebiasaan  jajan  balita,  karena  dalam  kenyataannya
sebagian  besar  balita  terbiasa  jajan  dua  sampai  empat  kali  dalam  sehari.  Dan sebagian  besar  informan  utama  selalu  memberikan  jajanan  yang  mengandung  zat
gizi rendah dan mengandung bahan tambahan makanan yang tidak baik, seperti ciki, astor, kerupuk, permen, coklat, makaroni, minuman dingin, dan snack-snack ringan
lainnya.  Namun  meskipun  demikian  terdapat  dua  informan  utama  yang  tidak membiarkan  balita  mereka  jajan,  yang  ternyata  balitanya  mengalami  peningkatan
status gizi. Kebiasaan  jajan  balita  mungkin  juga  dipengaruhi  oleh  kebiasaan  jajan  yang
dilakukan  oleh  saudara  atau  teman  mereka,  serta  lokasi  rumah  balita  yang berdekatan  dengan  warung  jajanan.  Sedangkan  menurut  Susanto  2003,  kebiasaan
jajan  makanan  cenderung  menjadi  bagian  budaya  keluarga.  Makanan  jajanan  yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan gizi akan mengancam kesehatan anak. Nafsu
makan anak berkurang dan jika berlangsung lama akan berpengaruh pada status gizi. Moehji  2003  mengatakan  bahwa  kebiasaan  jajan  memiliki  kelemahan-
kelemahan,  antara  lain  jajanan  biasanya  banyak  mengandung  hidrat  arang  dan walaupun  ada  zat-zat  makanan  lain,  tapi  jumlahnya  sedikit.  Kemudian  jika  terlalu
sering jajan maka anak akan kenyang, sehingga anak tidak mau makan nasi, atau jika mau, jumlah yang dihabiskan hanya sedikit sekali. Selain itu kebersihan dari jajanan
itu  sangat  diragukan.  Dan  jika  keinginan  anak  untuk  jajan  tidak  dipenuhi,  maka sering  kali  anak  akan  menangis  dan  menolak  untuk  makan.  Sedangkan  dari  segi
pendidikan,  kebiasaan  jajan  ini  tidak  dapat  dianggap  baik,  lebih-lebih  jika  anak hanya diberikan uang dan membeli sendiri makanannya itu.
Meskipun  sebagian  besar  informan  utama  memiliki  praktik  yang  buruk dalam  hal  komposisi  dan  porsi  makanan,  penyajian  makanan,  frekuensi  pemberian
makan,  pemberian  MP-ASI  dan  pemberian  makanan  tambahan.  Sebagian  besar informan utama memiliki praktik yang baik dalam hal pengolahan dan penyimpanan
makanan, waktu pemberian makan, pemberian ASI dan pantangan makanan. Praktik informan yang baik dalam hal pengolahan makanan, bisa dilihat dari
praktik  mereka  yang  selalu  mengolah  makanan  balitanya  dengan  cara  pemanasan, seperti  merebus,  menggoreng,  menumis  ataupun  menyiramnya  dengan  air  panas.
Sebagaimana  menurut  pendapat  Santoso  1999:14,  yang  mengatakan  bahwa pengaruh  pemanasan  dalam  pengolahan  makanan  adalah  meninggikan  sifat  dapat
cerna atau digestibilitas makanan terutama bahan makanan nabati, melemahkan dan mematikan mikroba, dan dapat meniadakan zat-zat toksik.
Namun  meskipun  demikian,  proses  pengolahan  makanan  yang  dilakukan informan  terlalu  banyak  mengalami  proses  pengulangan,  sehingga  dikhawatirkan
dapat  menyebabkan  banyaknya  zat  gizi  dalam  bahan  makanan  terbuang  percuma. Contohnya  dalam  proses  memasak  bahan  makanan  pokok  seperti  beras,  yang
dimulai dengan mencuci, kemudian merebus, disiram air panas dan dikukus kembali, yang  memungkinkan  zat  gizi  terbuang  dalam  proses  pencucian  maupun  perebusan.
Sebagaimana  menurut  pendapat  Sediaoetama  2008:12,  yang  mengatakan  bahwa mengolah  dan  memasak  bahan  makanan  dapat  pula  menyebabkan  kehilangan
sebagian  besar  dari  zat-zat  gizi,  terutama  vitamin-vitamin.  Beberapa  jenis  vitamin
mudah  larut didalam air pencuci, sehingga  hilang terbuang dan  beberapa  lagi dapat rusak  oleh  pemanasan  dan  penyinaran  matahari.  Cara  penanganan  bahan  makanan
yang  tidak  betul,  akan  lebih  banyak  menyebabkan  zat-zat  makanan  terbuang percuma. Selain itu menurut Santoso 1999:14, jika pengolahan makanan dilakukan
dengan  cara  pemanasan  yang  terlalu  tinggi  dapat  berpengaruh  negatif  yaitu  dapat merusak sifat bahan makanan sehingga menjadi sukar atau tidak dapat dicerna oleh
tubuh dan dapat menyebabkan bahan makanan menjadi karsinogenik. Selain itu jika dilihat dari praktik sebagian besar informan utama yang selalu
menyimpan  makanan  balita ditempat tertutup dan bersih, serta selalu  menggunakan peralatan  yang  dicuci  bersih  sebelum  digunakan,  maka  dapat  diasumsikan  proses
pengolahan  makanan  yang  dilakukan  informan  utama  cukup  memperhatikan  aspek kebersihan.  Sebagaimana  menurut  pendapat  Soenardi  2000,  yang  mengatakan
bahwa  pada  saat  mempersiapkan  makanan,  kebersihan  makanan  perlu  mendapat perhatian  khusus.  Makanan  yang  kurang  bersih  dan  sudah  tercemar  dapat
menyebabkan  diare  atau  cacingan  pada  anak.  Begitu  juga  dengan  si  pembuat makanan  dan  peralatan  yang  dipakai  seperti  sendok,  mangkok,  gelas,  piring  dan
sebagainya  sangat  menentukan  bersih  tidaknya  makanan  Soenardi,  2000  dalam Husin 2008.
Selain praktik pengolahan dan penyimpanan yang baik, informan utama juga memiliki  praktik  pemberian  ASI  yang  secara  umum  termasuk  baik.  Hal  tersebut
dapat  dilihat  dari  kebiasaan  sebagian  besar  informan  utama  yang  selalu  memulai pemberian  ASI  sejak  balitanya  dilahirkan,  dan  memberikan  ASI  sampai  balita
berusia  dua  tahun.  Namun  meskipun  demikian,  terdapat  satu  informan  utama  yang
menghentikan pemberian ASI saat balita berusia tiga  bulan  karena  balita tidak  mau menyusu,  yang  ternyata  balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi.  Sedangkan
menurut  Pudjiadi  2005:14,  ASI  merupakan  makanan  yang  ideal  untuk  bayi terutama  pada  bulan-bulan  pertama.  ASI  mengandung  semua  zat  gizi  untuk
membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang belum berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. Lagipula
ASI  memiliki  berbagai  zat  anti  infeksi,  mengurangi  kejadian  eksim  atopic
2
,  dan proses  menyusui  menguntungkan  ibunya  dengan  terdapat  lactational  infertility
3
, hingga memperpanjang child spacing atau jarak kelahiran.
Selain itu terdapat salah satu informan utama yang memiliki kesadaran tinggi untuk  tetap  memberikan  ASI  sejak  awal  kelahiran,  meskipun  ASI  yang  dihasilkan
masih  berwarna  kuning  kolostrum,  yang  ternyata  dilakukan  oleh  informan  yang balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi.  Sebagaimana  menurut  pendapat
Pudjiadi 2005:18, yang mengatakan bahwa ASI pada lima hari pertama warnanya lebih  kuning  dan  lebih  kental,  dan  dinamakan  kolostrum.  Walaupun  kolostrum
berwarna lain daripada ASI yang dikeluarkan kemudian, jangan sekali-kali dianggap produk basi, melainkan susu yang bernilai gizi baik sekali. Disamping mengandung
kadar  protein  tinggi,  kolostrum  mengandung  banyak  zat  anti  infeksi,  hingga  baik sekali bagi bayi pada hari-hari pertama setelah dilahirkan.
2
Eksim  atopic  adalah  adalah  penyakit  radang  kulit  umum  yang  sering  telah  mulai  diderita  sejak  masa kanak-kanak
3
Lactational infertility adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat hamil karena menyusui.
Sebagian  besar  informan  utama  yang  melakukan  praktik  menyusui  juga memberikan  atau  berencana  memberikan  ASI  sampai  balita  berusia  dua  tahun.
Meskipun demikian, terdapat satu informan utama  yang terlihat  masih  memberikan ASI walaupun balitanya sudah menginjak usia dua tahun, yang ternyata mengalami
penurunan  status  gizi.  Hal  tersebut  bisa  dijelaskan  dengan  pendapat  Jahari  1988 dalam Zulkarnaen 2008:21, yang mengatakan bahwa usia penyapihan yang terlalu
dini  pada  bayi  merupakan  salah  satu  penyebab  terjadinya  gizi  kurang  pada  bayi. Begitu  pula  sebaliknya,  usia  penyapihan  yang  terlalu  lama  tanpa  diimbangi
pemberian  makanan  yang  tepat,  jenis,  bentuk  dan  waktunya  dapat  mengakibatkan timbulnya  masalah  gizi  pada  anak  balita  yang  dapat  berlanjut  menjadi  lebih  berat.
Keadaan  demikian  kemungkinan  besar  disebabkan  kurang  atau  tidak  terpenuhinya kebutuhan  energi  pada  usia  penyapihan.  Keadaan  gizi  buruk  pada  balita  akan
menimbulkan  konsekuensi  fungsional,  antara  lain  pertumbuhan  fisik  dan perkembangan mental terlambat.
Selain  itu  frekuensi  pemberian  ASI  yang  dilakukan  informan  utama  kepada balitanya  secara  umum  juga  termasuk  baik,  hal  ini  bisa  dilihat  dari  kebiasaan
sebagian  besar  informan  utama  yang  selalu  memberikan  ASI  lebih  dari  enam  kali dalam  sehari,  dan  selalu  diberikan  saat  balita  menangis,  minta  menyusu  atau  pada
jam  biasa  diberikan  ASI.  Frekuensi  pemberian  ASI  yang  dilakukan  informan tersebut,  sesuai  dengan  frekuensi  pemberian  ASI  yang  ideal  menurut  Depkes  RI
2006  dalam  Husin  2008:13,  yaitu  minimal  enam  kali  sehari  untuk  balita seumuran informan utama.
Selain  praktik  pengolahan  dan  pemberian  ASI  yang  baik,  sebagian  besar informan  utama  juga  memberikan  makan  pada  waktu  yang  tepat,  yaitu  saat  balita
meminta  makan  dan  pada  waktu  biasanya  balita  diberi  makanan.  Sebagaimana menurut Kusumadewi 1998 dalam Kodariyah 2010:54, yang mengatakan bahwa
waktu pemberian makan yang tidak tepat seperti pada saat anak sedang mengantuk, atau  belum  merasa  lapar  akan  membuat  anak  tidak  menikmati  makanannya.  Oleh
karena  itu  penerapan  jadwal  makan  disertai  dengan  kondisi  anak  pada  saat  makan akan mempengaruhi anak dalam menerima makanan.
Selain itu, sebagian besar informan utama juga tidak memberikan pantangan makanan yang dapat menurunkan asupan zat gizi untuk balita, yang bisa dilihat dari
praktik  informan  yang  tidak  memberikan  pantangan  makanan  apapun,  kecuali pantangan  makanan  yang  bisa  menyebabkan  balita  sakit  seperti  minuman  dingin,
permen, coklat dan ciki. Menurut  hasil  penelitian  Tan  1970  dalam  Khomsan  dkk  2007b:9,
menunjukkan  bahwa  dalam  hal  kepercayaan  dan  pantangan  yang  berhubungan dengan  makanan,  responden  yakin  sekali  pada  kepercayaan  dan  pantangan  yang
berlaku  pada  bayi,  anak,  perempuan,  wanita  hamil  dan  menyusui.  Dengan  adanya makanan  pantangan,  maka  jumlah  makanan  yang  dikonsumsi  menjadi  terbatas,
walaupun tidak  berakibat  fatal tetapi  hanya  bersifat merugikan saja. Makanan  yang dilarang itu, jika dilihat dari konteks gizi terkadang merupakan bahan makanan yang
mengandung nilai gizi tinggi Khomsan dkk, 2007b:9.
Berdasarkan  pembahasan  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  praktik  sebagian besar  informan  utama  mengenai  pemberian  makan  secara  umum  termasuk  buruk,
terutama  dalam  hal  komposisi  dan  porsi  makanan  yang  diberikan,  penyajian makanan, frekuensi pemberian makan, pemberian MP-ASI dan pemberian makanan
tambahan.  Hal  tersebut  mungkin  disebabkan  oleh  pengetahuan  dan  sikap  sebagian besar  informan  utama  yang  termasuk  buruk  dalam  hal  pemberian  makan.  Namun
meskipun  demikian,  sebagian  besar  informan  utama  memiliki  praktik  yang  baik dalam  hal  pengolahan  dan  penyimpanan  makanan,  waktu  pemberian  makan,
pemberian ASI dan pantangan makanan. Selain itu terdapat beberapa informan utama yang memiliki praktik yang baik
dalam  hal  porsi  makanan,  frekuensi  pemberian  makan  dan  pemberian  makanan tambahan,  yang  ternyata  balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi.  Namun  hal
tersebut  dikhawatirkan  tidak  dapat  berlangsung  langgeng  long  lasting,  jika  tidak didasari  oleh  pengetahuan  dan  sikap  yang  baik  serta  kesadaran  yang  tinggi.
Sebagaimana  menurut  pendapat  Rogers  dalam  Notoatmodjo  2003b:  122,  yang mengatakan  bahwa  apabila  penerimaan  perilaku  baru  atau  adopsi  perilaku  melalui
proses  yang  didasari  oleh  pengetahuan,  kesadaran,  dan  sikap  yang  positif,  maka perilaku tersebut akan  bersifat  langgeng long  lasting. Sebaliknya apabila perilaku
itu  tidak  didasari  oleh  pengetahuan  dan  kesadaran  yang  tinggi  maka  tidak  akan berlangsung lama.
6.4 Perilaku Pemberian Makan