Dampak PMT pada Status Gizi

Hal yang tidak menguntungkan dari model home delivery adalah ketika PMT didistribusikan ke rumah sasaran, kemungkinan penyimpangan dapat terjadi seperti PMT dibagi atau dikonsumsi oleh anggota keluarga lainnya, PMT dijual atau ditukar Mora, 1983 dalam Yunarto, 2004:26. Walker 1991, berpendapat bahwa model feeding centers lebih baik dibandingkan model home delivery, karena menjamin bahan PMT dikonsumsi oleh anak yang memerlukannya.

2.7.7 Dampak PMT pada Status Gizi

Pada penelitian pengaruh konsumsi bahan makanan campuran dengan kedelai atau tempe yang tinggi kalori dan protein terhadap 60 anak balita penderita KEP dibandingkan hubungan antara cara makan dengan peningkatan berat badan anak setelah diberi makanan tambahan, yaitu antara cara dimakan di tempat dengan cara dibawa pulang dimasak dirumah. PMT dengan cara dimakan di tempat lebih efektif dibandingkan dengan cara dibawa pulang, walaupun kurang menguntungkan, ditinjau dari segi biaya, waktu dan tenaga yang harus disediakan. Dengan bahan makanan campuran yang mengandung kalori 2407 – 2461 kJ 575,8 kkal – 631,8 kkal dan protein 16,8 – 17,8 gram, dapat meningkatkan berat badan balita 0,52 kg dan tinggi badan 2,9 cm. Pada kelompok yang diberi campuran geplek-kedelai, campuran geplek-tempe, campuran beras-kedelai, dan campuran beras-tempe terjadi peningkatan proporsi status gizi baik, yaitu berturut-turut sebesar 20, 27, dan 23,3. Kelemahan dari penelitian ini adalah pengukuran status gizi balita dilakukan secara kelompok bukan individual. Sehingga tidak bisa diketahui seberapa besar peningkatan berat badan masing-masing balita. Demikian juga dengan jumlah balita yang sedikit, yaitu seluruhnya 60 balita, menyebabkan analisnya kurang memuaskan Hermana, 1983 dalam Herawati, 1999:35. Penelitian Poollitte dkk 1997 dalam Herawati 1999, membuktikan bahwa PMT pada balita usia 6 – 60 bulan dengan kandungan kalori sekitar 400 kkal per hari dalam bentuk makanan lokal selama tiga bulan, dapat memberikan dampak positif jangka panjang khususnya pada anak dalam tahap puncak perkembangannya, yaitu dibawah 18 bulan. Penelitian yang dilakukan di Pengalengan Jawa Barat tersebut berhasil membuktikan bahwa setelah delapan tahun kemudian, PMT dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap tingkat kecerdasan anak penderita KEP Herawati, 1999:37. Schroeder dkk 1995 dalam Herawati 1999:38 menyebutkan bahwa ada perbedaan pengaruh PMT terhadap status gizi balita sesuai dengan umurnya. Setiap PMT pada anak 0 – 1 tahun sebesar 100 kkal per hari dapat meningkatkan perubahan tinggi badan 9 mm dan berat badan 350 gram. Dampak pada anak umur 2 tahun berupa kenaikan tinggi badan 5 mm dan berat badan 250 gram, dan untuk anak umur 3 tahun hanya berdampak pada tinggi badan tanpa kenaikan berat badan. Tetapi terhadap anak empat tahun tidak berdampak sama sekali Herawati, 1999:38.

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL, DEFINISI ISTILAH DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Seperti landasan teoritis yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka, dapat diketahui bahwa akar masalah gizi menurut UNICEF 1998 dalam Husin 2008:38, adalah terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya dimasyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita, sumber daya manusia, rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun faktor tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh anak yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses pelayanan kesehatan dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan kurang gizi. Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental, dan social, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat kebersihan, dan memberi kasih sayang Zeitlin, 2000 dalam Rosmana, 2003. Sedangkan pola asuh anak menurut Sayogyo 1993 adalah praktek

Dokumen yang terkait

Pengaruh Konseling Gizi Pada Ibu Balita terhadap Pola Asuh dan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Amplas

3 67 84

Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Status Gizi Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura kabupaten Langkat Tahun 2008

5 71 83

Hubungan Pola Asuh Anak Dengan Status Gizi Balita Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Terkena Tsunami Kabupaten Pidie Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008

1 38 105

Hubungan Status Gizi Balita Dan Pola Asuh Di Kabupaten Bener Meriah Tahun 2006

0 41 93

Kecukupan Energi Dan Protein Serta Status Gizi Siswa Smp Yang Mendapat Makan Siang Dan Tidak Mendapat Makan Siang Dari Sekolah Dengan Sisitem Fullday School

4 79 130

Hubungan Antara Pola Konsumsi, Penyakit Infeksi Dan Pantang Makanan Terhadap Risiko Kurang Energi Kronis (Kek) Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan Tahun 2011

2 14 169

Pengaruh Penyuluhan Media Lembar Balik Gizi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Ibu Balita Gizi Kurang Di Puskesmas Pamulang, Tangerang Selatan Tahun 2015

0 19 97

Pengetahuan Gizi dan Persepsi Ibu Rumahtangga Kader dan Bukan Kader Posyandu tentang Kurang Energi Protein (KEP) Balita Serta Pertisipasi Penanggulangannya

0 10 67

Pola Asuh Orang Tua yang Melatarbelakangi Terjadinya Kurang Energi Protein pada Balita di Desa Kedung Rejo Kabupaten Grobogan 2010 - UDiNus Repository

0 0 2

NASKAH PUBLIKASI ANALISIS POLA ASUH GIZI IBU BALITA KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) YANG MENDAPAT PMT-P DI PUSKESMAS PLAYEN I KABUPATEN GUNUNGKIDUL

0 0 23