Selain  itu,  mereka  juga  memiliki  pengetahuan  yang  baik  mengenai  porsi  dan penyajian  makanan,  sikap  yang  baik  terhadap  kebiasaan  jajan  balita,  dan  praktik
yang  baik  dalam  hal  porsi  makanan,  frekuensi  pemberian  makan,  pemberian makanan tambahan dan upaya pengobatan penyakit infeksi yang diderita balita.
6.10 Faktor-faktor yang Dominan dalam Menaikkan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil dan pembahasan mengenai perilaku pemberian makan dan pemeliharaan  kesehatan  yang  telah  dipaparkan  sebelumnya,  dapat  diketahui  bahwa
informan  utama  yang  balitanya  mengalami  peningkatan  status  gizi  maupun  yang tidak mengalami peningkatan status gizi umumnya memiliki pengetahuan dan sikap
yang  sama,  yaitu  sebagian  besar  informan  utama  memiliki  pengetahuan  yang  baik mengenai  pengolahan  makanan,  frekuensi  pemberian  makan,  praktik  pemberian
ASI, dan cara pemeliharaan kesehatan balita, dan memiliki pengetahuan yang buruk mengenai  komposisi  dan  porsi  makanan,  penyajian  makanan,  pemberian  MP-ASI,
pemberian makanan tambahan, penyakit infeksi dan kebersihan lingkungan. Dan seluruh informan utama umumnya memunjukkan sikap yang baik dalam
hal  pemeliharaan  kesehatan  anak.  Namun  meskipun  demikian,  sebagian  besar informan  utama  umumnya  secara  umum  menunjukkan  sikap  yang  buruk  terhadap
pemberian  makan,  khususnya  terhadap  pemberian  MP-ASI  dan  kebiasaan  jajan anak,  terutama  ditunjukkan  oleh  informan  utama  yang  balitanya  tidak  mengalami
peningkatan status gizi.
Sedangkan  praktik  informan  utama  yang  balitanya  mengalami  peningkatan status  gizi  terlihat  berbeda  dan  lebih  baik  dibandingkan  dengan  praktik  informan
utama  yang  balitanya  tidak  mengalami  peningkatan  status  gizi,  terutama  dalam  hal porsi  makanan  utama,  makanan  tambahan,  dan  MP-ASI,  serta  frekuensi  pemberian
makanan  utama  dan  makanan  tambahan,  kebiasaan  jajan  balita,  pengobatan  balita, dan cara menaikkan status gizi balita.
Informan utama yang balitanya mengalami peningkatan status gizi umumnya memberikan makanan utama maupun makanan tambahan dengan porsi dan frekuensi
yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan  informan  utama  yang  balitanya  tidak mengalami  peningkatan  status  gizi.  Informan  utama  yang  balitanya  mengalami
peningkatan status gizi rata-rata memberikan  makanan  pokok berupa nasi, tim atau bubur dengan porsi 50 - 100 gram nasi, yang sesuai dengan anjuran Widjaja 2007,
dan  selalu  memberikan  makanan  dengan  frekuensi  makan  minimal  tiga  kali  dalam sehari  untuk  makanan  utama  dan  dua  sampai  empat  kali  sehari  untuk  makanan
tambahan, yang sesuai dengan pendapat Suhardjo 1990 dalam Yuniarti 2010:43. Selain  itu  kebisaaan  informan  yang  selalu  memberikan  susu  dengan  porsi
yang  cukup  setiap  harinya  serta  memberikan  telur  setiap  minggu,  dapat meningkatkan asupan protein yang baik untuk pertumbuhan balita dan meningkatkan
daya  tahan  tubuh  balita  terhadap  mikroba  penyebab  penyakit  infeksi,  sebagaimana menurut  pendapat  Sediaoetama  2008:75,  yang  mengatakan  bahwa  protein
berfungsi  sebagai  zat  pembangun,  berguna  untuk  pertumbuhan  dan  pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan aus terpakai sebagai protein struktural
dan  badan-badan  anti,  dan  berfungsi  dalam  mekanisme  pertahanan  tubuh  melawan
berbagai  mikroba  dan  zat  toksik  lain,  yang  datang  dari  luar  dan  masuk  kedalam milieu interieur lingkungan internal tubuh.
Selain  itu  sebagian  besar  informan  tidak  membiarkan  balitanya  jajan  dan selalu  memberikan  PMT  yang  diberikan  dari  puskesmas  baik  susu  maupun  biskuit
dengan  porsi  yang  banyak,  dan  selalu  habis  dimakan  balita.  Porsi  dan  frekuensi makanan utama dan makanan tambahan yang cukup besar dan teratur menyebabkan
balita  mendapatkan  asupan  zat  gizi  yang  cukup  untuk  memenuhi  kebutuhan tubuhnya.
Selain itu komposisi makanan yang diberikan informan utama yang sebagian besar  terdiri  dari  makanan  yang  mengandung  banyak  kalori,  seperti  nasi,  susu  dan
biskuit,  dapat  menyebabkan  penambahan  berat  badan  balita,  yang  pada  akhirnya meningkatkan  status  gizi  balita.  Sebagaimana  menurut  pendapat  Guthrie  1995,
kelebihan  atau  kekurangan  asupan  energi  sebesar  110  kilo  kalori  per  hari  akan menyebabkan penambahan atau penurunan berat badan sebanyak 0,45 kilogram per
tahun.  Sedangkan  penambahan  atau  penurunan  berat  badan  sebesar  5  kilogram  per tahun  disebabkan  karena  kelebihan  atau  kekurangan  energi  sebesar  100  kilo  kalori
sehari. Selain  praktik  pemberian  makan  yang  baik,  informan  utama  yang  balitanya
mengalami peningkatan status gizi  juga  memiliki  kesadaran tinggi untuk  mematuhi arahan  petugas  kesehatan  ketika  balita  mereka  sakit.  Hal  tersebut  bisa  dilihat  dari
upaya  pengobatan  balita  ketempat  pelayanan  kesehatan  dan  kepatuhan  informan utama  untuk  memberikan  obat  sesuai  anjuran  petugas  kesehatan,  serta  kepatuhan
informan  utama  untuk  memberikan  suplemen  vitamin  secara  teratur  dan  sampai
habis.  Kebiasaaan  informan  utama  yang  selalu  memberikan  suplemen  vitamin tersebut,  dapat  menyebabkan  nafsu  makan  balita  meningkat  meskipun  balita  sering
menderita  penyakit  infeksi,  karena  menurut  petugas  puskesmas,  suplemen  vitamin yang diberikan mengandung lysine untuk meningkatkan nafsu makan balita.
Sedangkan  sebagian  besar  informan  utama  yang  balitanya  tidak  mengalami peningkatan status gizi selalu memberikan makanan dengan porsi dan frekuensi yang
kurang  mencukupi  kebutuhan  balita,  yaitu  rata-rata  hanya  sebanyak  dua  sendok makan atau sekitar 10 gram  nasi dengan  frekuensi 1-2 kali dalam  sehari.  Selain  itu
sebagian  besar  informan  utama  selalu  membiarkan  balitanya  jajan  makanan  ringan dan  bergizi  rendah,  dengan  frekuensi  dua  sampai  empat  kali  dalam  sehari.  Serta
jarang memberikan PMT yang diberikan dari puskesmas baik susu maupun biskuit, yang sebagian besar dikonsumsi oleh anggota keluarga lain.
Pemberian  makanan  dengan  porsi  dan  frekuensi  yang  kurang,  jika berlangsung  terus  menerus  akan  menyebabkan  balita  kurang  mendapatkan  asupan
nutrisi  yang  memadai,  sehingga  lambat  laun  dapat  mengakibatkan  penurunan  berat badan  yang  berdampak  pada  penurunan  status  gizi,  seperti  yang  terjadi  pada  salah
satu balita penerima PMT-P. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soekirman 1994, yang  mengatakan  bahwa  pemberian  makanan  sehari-hari  harus  cukup  mengandung
energi  dan  zat-zat  gizi  esensial  untuk  kesehatan  dan  pertumbuhan.  Bila  syarat pemberian  makanan  tidak  terpenuhi,  baik  kurang  atau  lebih  dari  yang  dibutuhkan
sesuai dengan umur,  jenis kelamin dan kondisi tertentu seperti  banyaknya aktifitas, suhu lingkungan, dan lain-lain, maka akan terjadi keadaan malnutisi.
Selain itu kebiasaan jajan makanan ringan yang sering dilakukan balita yang tidak  mengalami  peningkatan  status  gizi,  dapat  menyebabkan  balita  tidak  mau
memakan makanan utamanya, dan menyebabkan balita mengalami kesulitan makan. Sebagaimana  menurut  pendapat  Susanto  2003,  yang  mengatakan  kebiasaan  jajan
balita  dapat  menyebabkan  nafsu  makan  anak  berkurang  dan  jika  berlangsung  lama akan berpengaruh pada status gizi. Selain itu cara penyajian dan komposisi makanan
yang  diberikan  informan  utama  tersebut  terlihat  tidak  menarik  dan  bervariasi sehingga tidak  merangsang balita untuk makan. Dan rasa  makanan  yang cenderung
hambar atau hanya asin karena komposisi makanan yang hanya terdiri dari nasi dan kuah sayur ataupun garam, terlihat kurang dapat merangsang nafsu makan balita jika
dibandingkan dengan rasa jajanan balita yang cenderung gurih dan manis, yang pada akhirnya  menyebabkan  balita  lebih  menyukai  makanan  jajanan  daripada  makanan
utama yang disajikan informan. Disamping  itu  sebagian  besar  informan  utama  yang  balitanya  tidak
mengalami peningkatan status gizi, juga jarang memberikan suplemen vitamin yang didapat dari puskesmas dan terdapat informan utama  yang  jarang  memberikan obat
ketika  balitanya  sakit  yang  ternyata  balitanya  mengalami  penurunan  status  gizi. Kebiasaan  informan  utama  tersebut  menyebabkan balita  sulit  sembuh dari penyakit
yang diderita, serta memperparah kesulitan makan yang diderita balita.
6.11 Keterbatasan Penelitian