Kemiskinan Alamiah Study on the interaction between fish stocks and fisherman poverty as a basis for coastal fisheries management in cirebon regency, Province of West Java

130 kemiskinan ’ poverty trap, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan peak season selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya. Pada 2003 nelayan Cirebon juga menolak program pemerintah c.q. Departemen Kelautan dan Perikanan tentang relokasi usaha nelayan dari daerah Pantura yang sudah overfishing ke daerah lain di Indonesia yang status pemanfaatan sumber daya ikannya masih underfishing. Pada awalnya para nelayan bersedia pindah dan berusaha menangkap ikan di daerah Tual, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Akan tetapi, setelah setahun mereka bermukim di Tual, 80 persen dari mereka kembali lagi ke Cirebon. Padahal, pendapatannya di Tual jauh lebih besar dari pada di Cirebon Ditjen. Perikanan Tangkap, DKP, 2004. Tabel 32 Karakteristik Etos Kerja Nelayan di Wilayah Kabupaten Cirebon No. Pertanyaan Terkait Etos Kerja Jawaban Responden Ya Tidak N n 1 Ada Keinginan untuk menabung 318 79,50 82 20,50 2 Hasil tangkapan cukup, tetap melaut 350 87,50 50 12,50 3 Sudah merasa cukup dengan penghasilan 213 53,25 187 46,75 4 Sudah merasa nyaman dengan kondisi saat ini 250 62,50 150 37,50 5 Mempunyai cita-cita atau keinginan lain 360 90,00 40 10,00 6 Bersedia melaut lebih dari satu hari 306 76,50 94 23,50 7 Berminat untuk mengembangkan usaha budidaya 280 70,00 120 30,00 8 Bersedia mengikuti penyuluhan perikanan modern 350 87,50 50 12,50 9 Bersedia pindah ke daerah lain dengan usaha tetap sebagai nelayan 128 32,00 272 68,00 10 Bersedia pindah ke daerah lain dengan melakukan usaha lain 172 43,00 228 57,00 Sumber : Data Primer Hasil Penelitian 2010

7.4 Kemiskinan Struktural

Selain karena fakator-faktor alamiah dan kultural, kemiskinan nelayan juga disebabkan karena kendala struktural berupa kebijakan pemerintah maupun tradisi yang telah berlangsung lama di tengah masyarakat nelayan. Faktor-faktor yang dijadikan dasar untuk menganalisis penyebab kemiskinan struktural nelayan 131 meliputi: 1 akses nelayan terhadap sejumlah aset ekonomi produktif yang meliputi modal, sarana produksi perikanan tangkap, teknologi, infrastruktur, pasar, dan informasi; 2 posisi nelayan dalam supply-chain system perikanan; dan 3 sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan dengan nelayan buruh ABK. Sampai saat ini nelayan di Kabupaten Cirebon masih sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan maupun lembaga keuangan non- bank. Kapal ikan yang terbuat dari kayu, berapapun besarnya tidak dapat digunakan sebagai agunan collateral bagi nelayan dalam mengajukan pinjaman kredit kepada lembaga perbankan. Pihak perbankan masih menganggap usaha perikanan tangkap sebagai usaha yang resiko kegagalannya cukup tinggi dan laju pengembalian modalnya lambat, sehingga dianggap kurang atau tidak layak perbankan. Akibatnya, sebagian besar nelayan 60,50, khususnya nelayan buruh, meminjam uang baik untuk modal usaha maupun untuk biaya hidup sehari- hari pada saat musim paceklik dari para bakul atau rentenir Tabel 24. Pada umumnya suku bunga pinjaman dari bakul rentenir sekitar lima persen per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan dari lembaga perbankan, sekitar 14 persen per tahun. Lebih dari itu, para bakul mewajibkan para nelayan peminjam dana untuk menjual ikan hasil tangkapannya kepada mereka, yang biasanya dengan harga yang lebih murah dari pada harga pasar. Harga sarana produksi berupa alat tangkap, BBM, beras, dan bahan perbekalan serta logistik untuk melaut lainnya di tingkat nelayan di Cirebon masih lebih mahal dari pada harga pasar, apalagi harga di tingkat pabrik. Sejak 2003 telah beroperasi SPDN Solar Package Dealer Nelayan di TPI Gebang Mekar dan TPI Kapetakan sebagai program unggulan dari DKP Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun, jumlah pasokan solar dari Pertamina tidak mencukupi kebutuhan seluruh kapal ikan yang beroperasi di perairan laut Kabupaten Cirebon. Dari hasil pengamatan di lapangan, kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang banyaknya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama. Hal ini menyebabkan, nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih 132 mahal dari pada harga sebenarnya di tingkat pabrik. Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya. Hampir semua nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, atau tempat pendaratan ikan TPI yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis. Hal ini semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan. Hampir semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan nusantara PPN Kejawanan, Cirebon yang sudah memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis, karena mereka harus membayar biaya tambat- labuh yang mahal, sehingga tidak terjangkau oleh daya beli kebanyakan nelayan. Pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi mahal, tetapi begitu musim ikan peak season tiba, harga jual mendadak turun drastis. Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara middle-man, tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir. Hal ini menyebabkan, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir. Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan. Harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban. Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan. Seiring dengan terus meningkatknya harga-harga kebutuhan pokok pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi, maka pengeluaran nelayan pun terus membesar dari tahun ke tahun. Sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK diduga jauh lebih menguntungkan pemilik kapal, yang paling dirugikan adalah ABK. Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern diatas 30 GT beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya. Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin. Infrastruktur berupa jaringan jalan, listrik, telkom, dan air bersih di pemukiman nelayan, dan tempat pendaratan ikan pelabuhan perikanan serta yang menghubungkan ke daerah pemasaran juga masih buruk Tabel 33. Kondisi ini dijumpai di Desa Tawangsari, Ambulu, dan Mertansinga. Kondisi sanitasi dan 133 kesehatan lingkungan juga umumnya buruk, sehingga prevelansi penyakit di pemukiman nelayan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pemukiman non- nelayan yang ada di Kabupaten Cirebon. Hal ini tentu meningkatkan biaya pengeluaran keluarga maupun perkapita nelayan. Penyakit dan kondisi kesehatan yang kurang prima juga mempengaruhi kinerja dan produktivitas kerja nelayan. Tabel 33 Persepsi Nelayan Terhadap Sarana dan Prasarana Pendukung Perikanan Tangkap di Wilayah Kabupaten Cirebon No. Deskripsi ∑ Responden Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada 1 Tempat Pelelangan Ikan TPI 279 121 69,75 30,25 2 Lampu Penerangan 271 129 67,75 32,25 3 Telekomunikasi 30 370 7,50 92,50 4 Transportasi umum 264 136 66,00 34,00 5 Air Bersih 225 175 56,25 43,75 6 SPBNSPDN 144 256 36,00 64,00 7 Docking Sarana Perbaikan Perahu 332 68 83,00 17,00 8 Menggunakan GPS Ecosonder 15 385 3,75 96,25 Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010 Kondisi fasilitas sosial dan fasilitas umum yang meliputi sekolah, pasar, bank, ruang terbuka hijau, taman, tempat pembuangan sampah, dan lainnya pun kurang memadai. Kawasan permukiman nelayan di Kabupaten Cirebon pada umumnya gersang dan kumuh.

7.5 Keterkaitan Faktor-Faktor Alamiah, Kultural, dan Struktural serta

Pengaruhnya terhadap Kemiskinan Nelayan Mekanisme tentang bagaimana faktor-faktor alamiah ekologis bersama dengan faktor-faktor kultural sosial-budaya dan faktor-faktor struktural politik- ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan secara sistemik dapat dijelaskan seperti pada Gambar 14. Ketersediaan stok jenis-jenis ikan target di laut ditentukan oleh interaksi dinamis antara jenis-jenis ikan target tersebut dengan berbagai jenis ikan dan biota lainnya serta faktor-faktor abiotik seperti temperatur, salinitas, arus, dan 134 gelombang yang menyusun ekosistem laut. Sementara itu, kesesuaian dan kenyamanan ekosistem laut dalam mendukung kehidupan dan pertumbuhan jenis- jenis ikan target serta berbagai jenis ikan dan biota lainnya dipengaruhi oleh sedikitnya empat faktor eksternal driving forces, yaitu: 1 karakteristik dan dinamika oseanografis, 2 karakteristik dan dinamika iklim, 3 kualitas perairan, dan 4 luasan dan kualitas ekosistem pesisir mangroves. Kedua faktor eskternal yang pertama merupakan dinamika alam, yang diluar kendali manusia. Sementara itu, kedua faktor terakhir, yakni kualitas perairan dan luasan serta kualitas mangroves sangat bergantung pada perilaku manusia. Gambar 14 Keterkaitan Faktor-Faktor Alamiah Kultural, dan Struktural serta Pengaruhnya Terhadap Kemiskinan Nelayan Kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh jenis dan kuantitas limbah yang dibuang oleh manusia ke dalam ekosistem laut Kabupaten Cirebon. Semakin tinggi beban pencemaran pollution load yang masuk ke dalam ekosistem laut Kabupaten Cirebon, maka akan semakin tercemar laut tersebut. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa status kualitas air perairan laut Kabupaten Cirebon telah tercemar oleh beberapa jenis pencemar. Oleh karena itu, kualitas perairan diduga kurang mendukung perkembangan dan pertumbuhan stok jenis-jenis ikan yang menjadi target kegiatan penangkapan nelayan Kabupaten Cirebon. 135 Mengingat keberadaan ekosistem mangrove sangant mempengaruhi keberadaan berbagai jenis ikan dan biota laut lain, maka menurunnya luasan maupun kualitas hutan mangrove di Kabupaten Cirebon pun diperkirakan ikut berpengaruh terhadap penurunan stok jenis-jenis ikan target. Selanjutnya, besarnya biomasa atau banyaknya jumlah jenis-jenis stok ikan target yang dapat ditangkap dipanen oleh nelayan bergantung pada tiga faktor utama, yaitu: 1 musim, 2 kapasitas penangkapan catchability serta efisiensi teknologi penangkapan ikan yang terdiri atas kapal ikan fishing vessel dan alat tangkap fishing gears yang mereka gunakan, dan 3 pengalaman serta keterampilan skills dari nahkoda dan ABK. Kalau musim ikan bergantung pada dinamika alam di luar kendali manusia, maka pilihan nelayan untuk menggunakan teknologi penangkapan tertentu dan keterampilan nelayan ditentukan oleh faktor-faktor kultural dari nelayan itu sendiri, khususnya pendidikan dan etos kerja. Volume kuantitas yang berhasil ditangkap oleh nelayan dikalikan dengan harga jual ikan tersebut akan menghasilkan pendapatan kotor bagi nelayan yang tergabung dalam usaha satu unit kapal ikan. Harga jual ikan per satuan berat atau ekor ikan sangat bergantung pada jenis ikan dan kualitasnya. Contoh jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomi penting harganya mahal dari wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon adalah kerapu, bawal, udang windu, udang jerbung, dan tenggiri; sedangkan yang murah adalah peperek, petek, kuniran, dan tembang. Cara-cara nelayan menangani handling ikan hasil tangkapannya selama di dalam kapal sampai ke tempat pendaratan ikan pelabuhan perikanan sangat menentukan kualitas ikan tersebut. Di masa lalu, hampir tidak ada nelayan Kabupaten Cirebon yang melakukan usaha penangkapan hanya sehari one-day fishing yang menyimpan ikan hasil tangkapannya selama di dalam kapal dalam wadah container berpendingin diberi es batu. Sejak DKP Departemen Kelautan dan Perikanan di awal 2002 memberikan wadah kotak dari polyetilin yang dapat menyimpan es tidak cair selama 24 jam dan memberikan penyuluhan kepada nelayan, maka nelayan sampai sekarang menggunakan kotak tersebut untuk menyimpan ikan hasil tangkapannya yang diberi es batu. Di sini terbukti, kombinasi perbaikan faktor kultural nelayan diberi penyuluhan tentang faedah 136 kotak berpendingin dan pemberian bantuan kotak tersebut oleh pemerintah faktor struktural sangat menonolong nelayan untuk dapat meningkatkan pendapatannya. Selain jenis dan kualitas, harga jual ikan hasil tangkapan nelayan juga bergantung pada ada atau tidaknya pembeli di tempat pendaratan ikan pelabuhan perikanan yang mau membeli ikan tersebut dengan harga yang menguntungkan nelayan atau sesuai harga pasar yang sebenarnya. Selama ini pembeli ikan di tempat-tempat pendaratan ikan di wilayah Kabupaten Cirebon, jumlahnya terbatas. Sementara itu, kecuali Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan, semua tempat pendaratan ikan di wilayah Kabupaten Cirebon tidak dilengkapi dengan sarana pabrik es atau cold storage. Lebih dari itu, semua pendaratan ikan di wilayah ini juga lembaga unit usaha, seperti Koperasi, yang dapat membeli ikan hasil tangkapan nelayan pada saat musim banyak ikan peak seasons. Akibatnya, harga ikan turun drastis ketika musim banyak ikan. Sebaliknya, harga ikan meningkat secara signifikan justru pada waktu musim paceklik atau sedikit ikan. Selama pemerintah tidak mengatasi problem struktural yang terkait dengan tata niaga ikan hasil tangkapan ini, maka sukar bagi nelayan untuk mendapatkan harga jual ikan yang menguntungkan mensejahterakan mereka secara berkelanjutan. Pendapatan kotor dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan oleh nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut akan menghasilkan pendapatan bersih bagi juragan pemilik kapal dan nelayan yang mengoperasikan kapal ikan tersebut. Kemudian, sistem bagi hasil yang berlaku di Kabupaten Cirebon menentukan pendapatan bersih net income bagi nelayan buruh ABK, nahkoda jurumudi yang merangkap sebagai fishing master, dan juragan. Dalam hal ini, sistem bagi hasil dikategorikan sebagai faktor struktural. Besarnya biaya melaut, selain ditentukan oleh jenis, ukuran kapal dan lamanya melaut, juga bergantung pada harga bahan atau logistik seperti BBM, beras, dan lauk-pauk per satuan. Meskipun tidak selangka dan semahal di luar Jawa atau daerah-daerah terpencil lainnnya, nelayan di Kabupaten Cirebon mendapatkan sejumlah kebutuhan bahan dan logistik untuk melaut sampai sekarang masih lebih mahal dari pada harga barang-barang tersebut di tingkat produsen pabrik. Dengan 137 demikian, besarnya biaya melaut masih bisa ditekan, sehingga dapat meringankan beban ekonomi nelayan. Akhirnya, tingkat kemiskinan kesejahteraan nelayan baik ABK, nahkoda maupun juragan bergantung pada pendapatan bersih mereka masing-masing dari usaha utama sebagai nelayan ditambah dengan pendapatan dari usaha tambahan non-nelayan dan dikurangi dengan biaya hidup pengeluaran keluarga dalam kurun waktu tertentu, sebulan atau setahun. Di sini faktor-faktor kultural seperti kebiasaan menabung, boros, dan kemauan nelayan untuk bekerja di sektor matapencaharian lain pada saat mereka tidak bisa melaut karena paceklik ikan atau cuaca buruk, juga turut mempengaruhi besarnya pendapatan dan pengeluaran keluarga nelayan. Nelayan yang miskin dan tidak memiliki matapencaharian lain atau substitusi tambahan dalam jangka waktu lama seperti yang menimpa kebanyakan nelayan di wilayah penelitian ini, terpaksa harus menggunakan alat tangkap yang lebih efisien, tetapi kurang atau tidak ramah lingkungan seperti jaring arad dan garok untuk memperoleh hasil tangkapan yang memadai di zona-I dan zona-II yang sudah mengalami tangkap lebih atau overfishing. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Kabupaten Cirebon dan sangat terbatasnya lapangan pekerjaan di luar usaha perikanan tangkap, maka jumlah nelayan dan kapal ikan yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten ini pun terus meningkat. Kecenderungan ini diduga telah memberikan tekanan terhadap kelestarian sumberdaya ikan yang ada di wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon, sebagai umpan balik negatip negative feedback dari usaha penangkapan terhadap sumberdaya ikan. Berdasarkan pada analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa baik faktor-faktor penyebab yang bersifat alamiah, kultural, maupun struktural semuanya turut menyebabkan kemiskinan yang masih membelenggu sebagian besar nelayan di Kabupaten Cirebon. Lebih dari itu, secara kualitatif dapat diurutkan, bahwa faktor-faktor yang bersifat alamiah merupakan penyumbang terbesar terhadap kemiskinan nelayan di daerah penelitian, kemudian diikuti oleh faktor-faktor struktural dan kultural. 8 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP UNTUK MENGATASI KEMISKINAN NELAYAN Berdasarkan pada tingkat pengusahaannya, sistem perikanan tangkap dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: 1 perikanan tangkap baru new capture fisheries , dimana sumberdaya ikan yang ada dalam suatu wilayah perairan belum pernah dieksploitasi sama sekali; dan 2 perikanan tangkap yang sudah berkembang, yang sumberdaya ikannya telah diamanfaatkan harvested Charles, 2001. Perikanan tangkap di wilayah laut Kabupaten Cirebon jelas temasuk ke dalam kategori-2, sebuah perikanan yang telah berkembang. Sementara itu, suatu model manajemen dari sebuah sistem perikanan tangkap yang sudah berkembang pada intinya dimaksudkan untuk memperbaiki atau mengganti manajemen yang ada existing management agar tujuan dari perikanan tangkap dapat diwujudkan dengan sukses. Pada umumnya sistem perikanan tangkap di berbagai wilayah atau negara di dunia memiliki tujuan lebih dari satu multiple objectives, seperti untuk memenuhi kebutuhan pangan protein dan nutrisi bangsa, meningkatkan perolehan devisa negara, mensejahterakan nelayan, dan memelihara kelestarian sumberdaya ikan beserta ekosistem laut. Untuk konteks Indonesia, termasuk Kabupaten Cirebon, dimana tingginya jumlah pengangguran dan rakyat miskin masih merupakan permasalahan yang besar, maka manajemen perikanan tangkap sebaiknya memiliki empat tujuan utama, yakni agar subsektor perikanan tangkap mampu: 1 mensejahterakan nelayan, 2 memproduksi ikan dan komoditas perikanan untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara optimal dan berkelanjutan, 3 memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah maupun nasional secara signifikan, dan 4 menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta ekosistem laut yang menjadi tempat hidupnya. Dengan empat tujuan utama indikator kinerja tersebut, maka diharapkan perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon dapat berlangsung secara menguntungkan efisien, optimal, dan berkelanjutan Gambar 14. Atas dasar temuan dari penelitian ini Bab 4 sampai Bab 7 dan kajian literatur tentang teori dan pengalaman pengelolaan pembangunan perikanan tangkap di berbagai negara Bab 2, maka manajemen perikanan tangkap