Dinamika Kebijakan Pengelolaan Perikanan Cirebon

106 Tabel 18 Sebaran Jenis-Jenis Ikan dan Jenis Alat Tangkapnya Pada Masing- Masing Zona dan Status Pemanfaatannya di Perairan Laut Kabupaten Cirebon. Alat Tangkap Zona Status I 0 - 4 mil II 4 - 12 mil III 12 mil Pukat tarik Layur, Bloso, Kakap Merah, Blambangan Underfishing Payang Teri, Bawal Hitam, Teri Nasi Overfishing Dogol Sunglir, Gurita, Bijinangka, Kapas- kapas, Slanget, Sotong, Kurisi, Kuniran, Petek, Karau Overfishing Pukat aradapolo Peperek, Sebelah, Cumi-cumi Peperek, Sebelah, Cumi- cumi Overfishing Jaring Insang Hanyut Manyung, Tetengkek, Bawal, Talang, Kakap, Kuro, Tongkol, Tenggiri, Cucut Manyung, Tetengkek, Bawal, Talang, Kakap, Kuro, Tongkol, Tenggiri, Cucut Overfishing Jaring Insang Lingkar Japuh, Tembang, Julung- Julung, Siro, Bilis Overfishing Jaring Insang Tetap Golok-golok, Belanak, Tigawaja, Kembung, Bentong, Banyar, Selar, Bawal Putih, Bandeng, Ekor Kuning Underfishing Trammel Net Lidah, Udang Putih, Udang Dogol, Udang Krosok, Rajungan, udang Lain, Kakap Putih, Udang Windu Lidah, Udang Putih, Udang Dogol, Udang Krosok, Rajungan, udang Lain, Kakap Putih, Udang Windu Underfishing Bagan Tancap Teri Besar Overfishing Anco Rebon, Ikan Lainnya Underfishing Rawai Tetap Pari, Alu-alu, Remang Overfishing Perangkap Kerang Kerang Dara Underfishing Perangkap Lainnya Kerang Hijau, Binatang Air Lainnya Underfishing Sumber : Data Primer Hasil Penelitian 2010 Dari Tabel 18 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan jenis-jenis ikan, sebagian besar sudah mengalami overfishing. Beberapa jenis ikan yang belum mengalami overfishing adalah jenis-jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap 107 sederhana seperti pukat tarik, jaring insang tetap dan trammel net. Selain itu, jenis-jenis ikan tersebut merupakan jenis-jenis ikan yang mempunyai habitat di perairan pasang surut atau perairan pantai yang cukup subur, sehubungan dengan Perairan Pesisir Cirebon yang merupakan muara dari 30 sungai. Akan tetapi jenis- jenis ikan yang ditangkap menggunakan alat tangkap yang cukup modern seperti payang, dogol, pukat aradapolo, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar dan bagan tancap sudah mengalami tangkap lebih overfishing. Metoda SPM Schaefer, 1954; 1957 mempunyai beberapa kelemahan sebagaimana yang diungkapkan oleh Conrad dan Clark 1987 antara lain adalah: sifatnya tidak stabil, hanya berlaku pada kondisi steady state keseimbangan, tidak memperhitungkan nilai ekonomi jika stok ikan tidak dipanen, dan mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya ikan. Namun demikian, sampai sekarang di seluruh belahan dunia penentuan MSY masih menggunakan model Schaefer dengan asumsi bahwa: penyebaran ikan setiap periode dalam wilayah perairan dianggap merata, masing-masing unit penangkapan ikan memiliki kemampuan yang sama, dan data volume ikan hasil tangkapan catch dan upaya tangkap effort cukup akurat dan absah Azis, 1989. Kelebihan dari metoda SPM adalah pada tekniknya relatif mudah dan murah untuk dikerjakan, karena hanya memerlukan data tentang volume ikan hasil tangkapan dan upaya tangkap dalam jangka waktu minimal sepuluh tahun secara berurutan time series . 108 Gambar 9 Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berdasarkan Zonasi dan Jenis Alat Tangkap Gambar 9. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berdasarkan Zonasi dan Jenis Alat Tangkap 7 FAKTOR-FAKTOR ALAMIAH, KULTURAL, DAN STRUKTURAL YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN NELAYAN Sejak dua dekade terakhir, sub-sektor perikanan tangkap secara global sedang menghadapi masalah sangat serius. Pada awal tahun 2000-an populasi ikan di laut semakin menipis, total ikan hasil tangkapan dunia dari tahun ke tahun terus menurun, dan 75 persen dari seluruh jenis stok ikan laut di dunia telah mencapai status pemanfaatan yang sudah jenuh fully to heavily exploited, tangkap lebih overfishing, atau terkuras depleted FAO, 2004. Kemudian, pada 2008 persentase stok ikan laut dunia yang status pemanfaatannya telah jenuh, tangkap lebih, dan terkuras meningkat menjadi 84 persen. Dengan perincian, yang statusnya sudah jenuh sebesar 53 persen, tangkap lebih 28 persen, dan terkuras tiga persen, dan yang baru pulih dari kondisi terkuras sebesar satu persen FAO, 2010. Permasalahan tersebut terjadi bukan hanya di wilayah perairan pesisir, tetapi juga di perairan lepas pantai offshore, dan hampir di seluruh wilayah perairan laut dunia. Permasalahan perikanan tangkap pada tataran global itu juga dalam banyak hal sedang berlangsung di Indonesia Komnas Kajiskan, 2010. Apabila permasalahan semakin menipisnya stok sumber daya ikan laut dan overfishing tidak segera diatasi, maka selain akan menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap Catch Per Unit of Effort dan penurunan pendapatan nelayan, juga pada gilirannya dapat mengakibatkan ambruknya ekonomi perikanan tangkap itu sendiri Standal, 2005. Lebih dari itu, penurunan pendapatan nelayan tentu akan membuat nelayan semakin miskin. Sudah menjadi kesepakatan para ilmuwan dan praktisi perikanan di dunia, bahwa penyebab utama dari permasalahan tersebut adalah karena selama ini manajemen perikanan tangkap hanya terfokus pada aspek sumber daya ikan dan aspek biofisik dari ekosistem laut, tetapi kurang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik dari nelayan, pedagang ikan, dan pemangku kepentingan stakeholders lain yang terlibat dalam pengelolaan perikanan tangkap Defeo, et al., 2007. Oleh sebab itu, analisis tentang kombinasi dari 110 berbagai aspek biologi, ekologi, ekonomi, sosial, budaya, dan politik dari manajemen perikanan tangkap sebagai sebuah sistem menjadi sangat penting. Banyak faktor yang menyebabkan nelayan miskin. Faktor-faktor tersebut, ada yang sifatnya internal, dan ada yang bersifat eksternal. Faktor-faktor yang bersifat internal adalah yang berkaitan dengan aspek kultural budaya yang melekat pada diri nelayan itu sendiri, baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, faktor-faktor eksternal terdiri dari hal- hal yang terkait dengan kondisi alam dan yang terkait dengan aspek struktural. Faktor-faktor alam yang berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan antara lain adalah ketersediaan dan besarnya sumberdaya ikan; kualitas perairan laut; luasan dan kualitas ekosistem pesisir seperti mangrove, estuari, terumbu karang, dan padang lamun; kebersihan dan kenyamanan lingkungan tempat tinggal pemukiman; dan bencana alam seperti banjir, badai, tsunami, dan perubahan iklim global global climate change beserta segenap dampak negatif nya. Aspek struktural yang berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan adalah yang terkait dengan kebijakan pemerintah berupa akses nelayan kepada permodalan; sarana produksi kapal ikan, alat tangkap, BBM, beras, dan bahan perbekalan melaut lainnya; infrastruktur; pelayanan kesehatan; pelayanan pendidikan; pasar; dan informasi.

7.1 Tingkat Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan seseorang atau keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya BPS, 2002 dalam Muflikhati, 2010 . Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kebutuhan dasar manusia mencakup pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Sebaliknya, kesejahteraan diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual seseorang atau unit keluarga secara layak UU No.101992. Selanjutnya, BPS 2011 mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata- rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan GK. Secara garis besar, GK terdiri dari komponen Garis Kemiskinan Makanan GKM dan komponen Garis Kemiskinan Bukan Makanan GKBM. Sejauh ini, kontribusi komponen makanan terhadap GK jauh lebih besar dari pada komponen bukan 111 makanan yang terdiri atas sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Data Susenas pada Maret 2010 dan Maret 2011 menunjukkan, bahwa sumbangan GKM terhadap GK sangat dominan, yakni 73,52 persen. Pada 2010 BPS menetapkan GK sebesar Rp 232.989kapitabulan untuk daerah perkotaan, Rp 192.354kapitabulan untuk daerah perdesaan, dan Rp 211.726kapitabulan untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Mengingat semua nelayan di Kabupaten Cirebon bermukim di daerah perdesaan, maka GK yang dijadikan acuan dalam penelitian yang dilakukan pada 2010 ini adalah GK untuk daerah perdesaan, yaitu Rp 192.354kapitabulan. Rata-rata pengeluaran keluarga per bulan dari nelayan contoh berdasarkan hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 19 dan Gambar 10. Sedangkan, pengeluaran perkapita per bulan disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 11. Tabel 19 Status Kesejahteraan Nelayan Berdasarkan Pengeluaran Keluarga No. Pengeluaran Keluarga Rp. bulan Pengeluaran Pangan Pengeluaran Bukan Pangan Pengeluaran Total Jumlah orang Jumlah orang Jumlah orang 1 Rp 500.000 0,00 265 66,25 0,00 2 Rp 500.000 - 999.999 58 14,50 117 29,25 18 4,50 3 Rp 1.000.000 - 1.999.999 284 71,00 17 4,25 217 54,25 4 Rp 2.000.000 - 4.999.999 58 14,50 1 0,25 165 41,25 5 ≥ Rp 5.000.000 0,00 0,00 0,00 Total 400 100,00 400 100,00 400 100,00 Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010 Data pada Tabel 19 dan Gambar 10 menunjukkan, bahwa nelayan di Kabupaten Cirebon pada umumnya membelanjakan uangnya sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini tercermin dari fakta, bahwa sebanyak 71 persen dari keluarga nelayan contoh mengeluarkan uang antara Rp 1.000.000,- dan Rp 1.999.999,-untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam setiap bulannya. Sementara itu, jumlah keluarga yang membelanjakan uangnya setiap bulan untuk kebutuhan non pangan pada kisaran tersebut hanya sebesar 4,25 persen. Hasil temuan ini sesuai dengan data Susenas pada Maret 2010 dan Maret 2011 seperti telah disebutkan diatas.