87
overfishing. Yang mengkhawatirkan adalah jumlah manusia dalam dasawarsa
terakhir lebih besar dari total produksi ikan dunia. Pasokan ikan per kapita secara global menurun dari 14,6 kg pada 1987 menjadi 13,1 pada 2000 FAO, 2002.
5.1.3 Periode Krisis
Sejak 1995 sebenarnya perikanan dunia sudah memasuki periode ketiga, yakni periode krisis. Apabila cara-cara pengelolaan usaha perikanan tangkap tidak
segera diperbaiki, maka dikhawatirkan usaha perikanan tangkap dunia akan bangkrut collapse. Lamanya setiap periode sejarah perikanan tersebut bervariasi
di setiap kawasan. Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara misalnya, periode ke-2 perikanan industri itu berakhir pada awal 1980-an. Boleh jadi periode
perikanan industri di Nusantara kita baru mulai sejak diintroduksikannya penggunaan pukat harimau trawlers dan pukat cincin purse seines, sekitar awal
1970-an Soewito dkk, 2000.
5.2 Dinamika Kebijakan Pembangunan Perikanan Indonesia
Sejarah pembangunan perikanan di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi empat periode: 1 masa kolonial, 2 masa kemerdekaan sampai 1967,
3 masa pembangunan 1968 – 1999, dan 4 sejak berdirinya DKPKKP Soewito, 2000.
5.2.1. Masa Kolonial
Di masa penjajahan kolonial, sektor perikanan dikelompokkan menjadi dua: 1 perikanan laut yang mengurusi tentang usaha perikanan tangkap dan
segenap aspek yang terkait, dan 2 perikanan darat yang mengurusi segala aspek mengenai perikanan budidaya.
Hampir seluruh kebijakan perikanan di zaman kolonial ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya ikan untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia dan
mendatangkan manfaat ekonomi, terutama bagi penjajah Belanda dan Jepang. Kebijakan utama pada saat itu meliputi: 1 penelitian potensi perikanan laut dan
perikanan darat, 2 pengembangan usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya, 3 penelitian dan pengembangan R D untuk menghasilkan
teknologi yang dapat disebarluaskan kepada nelayan dan petani ikan, 4
88
penyuluhan, 5 membentuk kelompok usaha perikanan seperti paguyuban nelayan dan koperasi perikanan, 6 perlindungan sumberdaya ikan laut, dan 7
pembentukan dan penyesuaian kelembagaan perikanan baik di tingkat pusat Jakarta maupun di daerah-daerah.
Meskipun di masa kolonial, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut masih sangat rendah, kualitas perairan laut masih bersih belum tercemar, dan
perusakan terhadap ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari sangat terbatas dan tidak signifikan; tetapi Pemerintah
Hindia Belanda saat itu telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan peraturan- perundangan tentang perlindungan sumberdaya ikan dan lingkungan laut.
Beberapa peraturan yang penting adalah Staatsblad 1916 No.157 tentang kerang mutiara, teripang, dan bunga karang dalam batas alur laut tidak lebih dari 3
mil laut. Staatsblad 1920 No. 396 tentang perlindungan sumberdaya ikan yang melarang penangkapan ikan dengan menggunakan obat bius, bahan beracun, atau
bahan peledak, kecuali untuk kepentingan penelitianilmu pengetahuan dalam jangka waktu tertentu. Staatsblad 1927 No. 145 tentang peraturan mengenai
perburuan ikan paus dalam batas alur laut 3 mil laut dari pantai seluruh Indonesia. Dan, penangkapan paus oleh nelayan Indonesia yang telah melakukannya secara
turun-temurun dibolehkan, sebagai pengecualian. Selain itu, ada dua peraturan yang sifatnya lebih umum mengenai perikanan
dan kelautan, yaitu Staatsblad 1927 No. 144 tentang Ordonansi Perikanan Pantai, dan Staatsblad 1939 No. 442 tentang Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan
Maritim yang di dalamnya tercantum ketentuan perihal perikanan yang mengizinkan penangkapan ikan, selama tidak bertentangan dengan kepentingan
maritim. Selama Perang Dunia II 1941 – 1945 praktis tidak ada kebijakan dan
peraturan baru yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan secara keseluruhan. Hampir semua aktivitas perikanan ditujukan untuk
pengumpulan hasil perikanan sebagai bahan makanan bagi tetara Jepang.
89
5.2.2. Masa Kemerdekaan – 1967
Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai 1967, sebagian besar peraturan dan perundangan tentang perikanan dan kelautan di zaman
penjajahan masih diberlakukan. Pada 1960, Pemerintah RI menerbitkan UU No. 41960 tentang Perairan Indonesia, yang menyatakan bahwa wilayah Perairan
Indonesia selebar 12 mil laut dari pantai. Kemudian, dengan diberlakukannya Keppres No. 1031963, maka wilayah Perairan Indonesia sebagai lingkungan
maritim tahun 1939 tidak berlaku lagi. Dengan demikian, sejak merdeka 1945 sampai 1967 pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan pembangunan yang
berarti, termasuk di sektor perikanan, karena hampir seluruh energi dan kapasitasnya terpakai untuk meredam berbagai gejolak politik, pergantian sistem
pemerintahaan, dan pembenahan organisasi pemerintahan.
5.2.3. Masa Pembangunan 1968 – 1999
Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut di masa kolonial hingga sebelum masa pembangunan 1968 masih sangat rendah. Lebih dari 95 persen kegiatan
perikanan tangkap masih bersifat subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan sendiri Soewito, et al., 2000. Kemampuan nelayan beroperasi
dengan perahu layarnya hanya terbatas pada perairan laut yang dekat pantai nearshore fisheries. Sementara itu, kondisi lingkungan laut belum terpengaruh
oleh pencemaran dan perusakan lingkungan lainnya. Atas dasar kondisi nyata tersebut, sampai akhir 1973 Pemerintah RI c.q. Ditjen. Perikanan belum
menganggap perlu melakukan penelitian tentang besarnya potensi sumberdaya ikan laut. Status pemanfaatan sumberdaya ikan laut saat itu dapat dikatakan
masih underfishing kurang diusahakan, sehingga belum ada kebijakan dan peraturan yang secara khusus membatasi intensitas tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan laut. Sebaliknya, sebagian besar kebijakan justru diorientasikan untuk meningkatkan produksi perikanan, terutama dari perikanan tangkap di laut.
Kondisi kebijakan semacam ini berlangsung hingga akhir 1980-an. Pada tahun 1973 dan 1974 dilakukan pendugaan stok stock assessment
ikan secara terbatas di wilayah Laut Indonesia, dan hasilnya mengungkapkan
bahwa potensi produksi lestari Maximum Sustainable Yield, MSY sumberdaya