114
boros di Kabupaten Cirebon tersebut bisa bertahan hidup , seperti yang ditunjukkan pada Grafik sebaran kondisi pendapatan dan pengeluaran perkapita
nelayan di Kabupaten Cirebon. Tabel 21 Status Kesejahteraan Nelayan Berdasarkan Pendapatan Keluarga
Mata Pencarian Utama, dan Mata Pencaharian Tambahan
No. Pendapatan Keluarga
Rp. bulan Mata Pencaharian
Utama Perikanan
Tangkap Mata
Pencaharian Tambahan
Total Jumlah
orang Jumlah
orang Jumlah
orang 1
Rp 500.000 126
31,50 225
56,25 43
10,75 2
Rp 500.000 - 999.999 174
43,50 78
19,50 126
31,50 3
Rp 1.000.000 - 1.999.999 78
19,50 55
13,75 147
36,75 4
Rp 2.000.000 - 4.999.999 19
4,75 32
8,00 67
16,75 5
≥ Rp 5.000.000 3
0,75 10
2,50 17
4,25
Total 400
100,00 400
100,00 400
100,00
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010
Tabel 22 Status Kesejahteraan Nelayan Berdasarkan Pendapatan Perkapita Mata Pencarian Utama, dan Mata Pencaharian Tambahan
No. Pendapatan Perkapita
Rp. bulan Mata Pencaharian
Utama Mata Pencaharian
Tambahan Pendapatan
Total Jumlah
orang Jumlah
orang Jumlah
orang 1
Rp 192.354 283
70,75 292
73,00 154
38,50 2
Rp 192.354 - 499.999 93
23,25 81
20,25 166
41,50 3
Rp 500.000 - 999.999 18
4,50 20
5,00 61
15,25 4
Rp 1.000.000 - 1.499.999 6
1,50 6
1,50 5
1,25 5
≥ Rp 1.500.000 0,00
1 0,25
14 3,50
Total
400 100,00
400 100,00
400 100,00
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010
115
200,000 400,000
600,000 800,000
1,000,000 1,200,000
1,400,000 1,600,000
1,800,000
500,000 1,000,000
1,500,000 2,000,000
2,500,000
P e
ng e
lua ra
n P e
rk a
pi ta
R p.
Pendapatan Perkapita Rp.
Grafik sebaran pengeluaran dan pendapatan per kapita di wilayah penelitian
Nelayan Responden
400 orang
Gambar 12 Grafik sebaran kondisi pendapatan dan pengeluaran perkapita nelayan di Kabupaten Cirebon
Pertama , bahwa nelayan yang dijadikan responden dalam penelitian ini
sebagian besar adalah nelayan buruh ABK yang sekaligus sebagai juragan 60,75 persen dan buruh nelayan ABK sebanyak 29,25 persen, sedangkan
nelayan juragan pemilik kapal hanya 5,5 persen Tabel 23 dan gambar 13. Fakta di lapangan bahwa nelayan buruh merupakan kelompok yang paling miskin
dan termarjinalkan, karena antara lain sistem bagi hasil yang kurang adil dan lebih menguntungkan juragan dari pada nelayan buruh ABK.
Pada umumnya, pola bagi hasil antara juragan dan ABK adalah: 50 persen dari pendapatan bersih untuk juragan, dan 50 persen sisanya untuk ABK yang
jumlahnya 3 sampai 10 orang tergantung pada jenis alat tangkapnya fishing gear
. Pendapatan bersih adalah pendapatan kotor dikurangi dengan biaya untuk melaut seperti BBM, beras, lauk pauk, rokok, dan lainnya. Kerugian lain yang
menimpa ABK adalah dari selisih harga jual ikan hasil tangkapan. Pada umumnya, juragan mengambil keuntungan sekitar 10 sampai 20 persen dari harga
jual ikan, dimana harga jual yang ditetapkan oleh juragan kepada ABK lebih murah daripada harga yang berlaku di pasar lokal. Sistem bagi hasil dan pola
penjualan ikan hasil tangkap semacam ini membuat hampir semua nelayan juragan di Kabupaten Cirebon lebih kaya sejahtera dari pada nelayan buruh
ABK.
116
Sementara itu, nelayan dengan kategori juragan merangkap sebagai ABK juga umumnya sebagai juragan pemula, dan uang untuk membeli kapal ikan
beserta alat tangkapnya sebagian besar berasal dari hutang, baik dari para juragan yang sudah mapan dan kaya, rentenir pengijon, maupun sebagian kecil dari bank
dan lembaga keuangan non-bank Tabel 24. Tabel 23 Status Nelayan Menurut Kepemilikan Kapal Ikan
No Kepemilikan Kapal Ikan
Jumlah orang
1 Juragan Pemilik Kapal
40 10,00
2 Juragan dan ABK
243 60,75
3 ABK Buruh Nelayan
117 29,25
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010
40 243
117
50 100
150 200
250
R E
SPO N
D EN
JuraganPemilik Kapal
Juragan ABK ABK
KEPEMILIKAN Diagram Jumlah Kepemilikan Kapal Ikan
Gambar 13 Status Kesejahteraan Nelayan Menurut Kepemilikan Kapal Ikan
Tabel 24 Sumber Modal Nelayan dalam Memulai Usahanya
No. Sumber Modal
Jumlah orang Persen
1 Modal Sendiri
158 39.50
2 Modal Hutang
242 60.50
Jumlah 400
100.00
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010
117
Kedua
, nelayan yang pola hidupnya pendapatan lebih kecil dari pada pengeluaran itu pada umumnya menutup kekurangan biaya hidup pengeluaran
kesehariannya dari utang, bantuan pemerintah seperti PEMP, Raskin, dan BLT, bantuan sanak-saudara, atau kiriman uang dari anggota keluarganya yang bekerja
sebagai TKI Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri Tabel 24. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari segi daya beli purchasing power yang
berasal dari matapencaharian utama nelayan, sebagian besar nelayan sesungguhnya masih tergolong miskin .
Jika dilihat dari pendapatan nelayan utama dan tambahan dibandingkan dengan Upah Minimum Regional UMR Kabupaten Cirebon 2010, jumlah
nelayan yang berstatus miskin ada sebanyak 36,50 Tabel 25. Besarnya UMR di suatu daerah kabupatenkota atau provinsi dihitung berdasarkan pada kebutuhan
fisik minimum pangan, sandang, dan perumahan untuk sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak di daerah tersebut BPS,
2010. Dengan demikian, UMR Kabupaten Cirebon sebesar Rp 825.000bulan merupakan pendapatan minimum bagi seorang kepala keluarga lazimnya ayah
untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum bagi diri dan tiga orang anggota keluarga nya.
Tabel 25 Status Kesejahteraan Nelayan Berdasarkan UMR Kabupaten Cirebon
No Pengeluaran
Perkapita Rp Status
Nelayan Pendapatan
Utama Pendapatan
Tambahan Pendapatan
Total Jumlah
orang Jumlah
orang Jumlah
orang 1
825.000bulan Miskin
276 69,00
289 72,25
146 36,50
2 ≥ 825.000bulan
Tidak miskin
124 31,00
111 27,75
254 63,50
Sub Total 400
100,00 400
100,00 400
100,00
Sumber : Data UMR Kab. Cirebon Bappeda Kab. Cirebon, 2010 dan Data Primer Hasil Penelitian 2010
Berikut ini adalah analisis dan uraian tentang faktor-faktor alamiah, kultural, dan struktural yang menyebabkan kemiskinan nelayan di daerah penelitin,
Kabupaten Cirebon. Selain analisis secara terpisah tentang bagaimana masing- masing faktor alamiah ekologis, kultural sosial-budaya, dan kultural ekonomi-
kelembagaan mempengaruhi kemiskinan nelayan, analisis keterkaitan kombinasi
118
antar ketiga kelompok faktor tersebut secara bersama berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan juga disajikan dalam uraian berikut.
7.2 Kemiskinan Alamiah
Faktor-faktor alamiah yang berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan, khususnya ketersediaan dan besaran sumberdaya ikan, sangat terkait dengan
teknologi penangkapan ikan dan ikan hasil tangkapnya yang menentukan pendapatan nelayan. Oleh karena itu, aspek alamiah dapat juga dinamakan
sebagai aspek teknis. Dalam tataran praksis, nelayan miskin karena pendapatan income nya
lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu. Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya
nelayan tradisional dan nelayan ABK nelayan buruh dari kapal ikan komersialmodern diatas 30 GT, pada umumnya kecil kurang dari Rp 1
jutabulan dan sangat fluktuatif. Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil
tangkap dan biaya melaut. Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh besarnya hasil tangkapan dikalikan dengan harga jual ikan hasil hasil
tangkapan tersebut. Sementara itu, besarnya berat atau jumlah ekor ikan hasil tangkapan bergantung pada ketersediaan stok ikan di laut dan produktivitas serta
efisiensi tekonologi penangkapan ikan. Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM, bahan perbekalan serta logistik yang dibutuhkan
untuk melaut yang bergantung pula pada ukuran berat kapal dan jumlah awak kapal ikan. Selain itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan
pendukungnya sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut. Berdasarkan pada sejumlah faktor variables yang mempengaruhi
pendapatan nelayan tersebut, sedikitnya ada tiga faktor alamiah ekologis yang membuat mayoritas nelayan di Kabupaten Cirebon masih miskin.
Pertama
, sumberdaya ikan di wilayah perairan yang menjadi target usaha perikanan tangkap sudah dalam keadaan overfishing tangkap lebih, yakni suatu
kondisi dimana tingkat penangkapan exploitation rate lebih besar dari pada potensi produksi lestari Maximum Sustainable Yield, MSY dari sumberdaya ikan
119
tersebut. Indikator kondisi overfishing adalah: 1 total volume ikan hasil tangkapan produksi lebih besar dari pada nilai MSY ; 2 hasil tangkapan ikan
per satuan upaya Catch per unit of effort cenderung menurun; 3 rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil; dan 4 fishing ground daerah
penangkapan ikan semakin menjauh dari daratan, atau untuk ikan pelagis bisa semakin dalam ke dasar laut Gulland, 1983; Defeo, et al., 2007; Widodo dan
Suadi, 2008. Dengan demikian, overfishing jelas mengakibatkan volume ikan hasil
tangkapan dan pendapatan nelayan semakin menurun. Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari pada MSY dibiarkan terus,
maka bukan hanya pendapatan nelayan yang akan menurun, tetapi stok ikan pun bisa punah seperti yang terjadi pada ikan terubuk di Perairan Selat Malaka, ikan
terbang di Perairan Laut Selatan Sulawesi, dan lainnya. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab 6, bahwa status pemanfaatan sumber
daya ikan di wilayah Perairan Kabupaten Cirebon, baik berdasarkan pada jenis alat tangkap, zona penangkapan ikan, maupun jenis stok ikan, pada umumnya
telah mencapai tingkat yang berlebihan atau overfishing Tabel 10 dan 12. Oleh karena itu, faktor utama dominan yang diduga menyebabkan nelayan miskin dan
pendapatan utama mayoritas nelayan di Kabupaten Cirebon rendah adalah status pemanfaatan sumber daya ikan yang telah mengalami overfishing ini.
Pada Tabel 26, jumlah nelayan miskin di Kabupaten Cirebon berdasarkan pengeluaran perkapitabulan dari 400 responden berjumlah 21 orang. Nelayan
miskin tersebut sebagian besar 57 menangkap ikan di Zona I dan Zona II dimana status pemanfaatan sumberdaya ikannya sudah mengalami tangkap lebih
overfishing . Alat tangkap yang digunakan para nelayan tersebut berupa
Trammel Net 7 orang 33,33; Pukat arad 5 orang 23,81; Payang 3 orang; Dogol 2 orang; dan Perangkap lainnya 3 orang Tabel 27. Kalau dilihat dari
status pemanfaatan sumberdaya ikan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan nelayan miskin tersebut statusnya sudah berlebih Tabel 12, dan alat-
alat tangkap tersebut terutama Pukat arad dan Dogol adalah jenis alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, karena dapat menangkap seluruh jenis dan ukuran
120
biota laut yang ada. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan perairan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan.
Tabel 26 Sebaran Zona Penangkapan dan Alat Tangkap Nelayan Miskin Berdasarkan Pengeluaran Perkapita di Kabupaten Cirebon
No. Nama Nelayan
Miskin Kecamatan
Zona Penangkapan
Alat Tangkap
1. Tarmak
Gebang I
Dogol 2.
Rudin Gebang
I Dogol
3. Ronani
Gunung Jati I
Perangkap kerang 4.
Sobirin Losari
I Perangkap
lainnya 5.
Darsono Losari
I Perangkap
lainnya 6.
Damsori Kapetakan
I Perangkap
lainnya 7.
Damar Suranenggala
I II Arad
8. Karnita
Suranenggala I II
Arad 9.
Rasja Pangenan
I II Arad
10. Casminah
Suranenggala I II
Arad 11.
Tajudin Suranenggala
I II Arad
12. Joni
Gebang I II
TrammelNet 13.
Darito Gunung Jati
I II TrammelNet
14. Ujang
Lemah Wungkuk I II
TrammelNet 15.
Radam Lemah Wungkuk
I II TrammelNet
16. Kamsari
Gunung Jati I II
TrammelNet 17.
Maad Kapetakan
I II TrammelNet
18. Suwarno
Gebang I II
TrammelNet 19.
Duliman Gebang
II Payang
20. Durman
Mundu II
Payang 21.
Salim Gebang
II Payang
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010
121
Tabel 27 Jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan miskin Berdasarkan Pengeluaran Perkapita di Kabupaten Cirebon
No Alat Tangkap
Jumlah
1. Pukat arad
5 23.81
2. Dogol
2 9.52
3. Payang
3 14.29
4. Perangkap Kerang
1 4.76
5. Perangkap Lainnya
3 14.29
6. TrammelNet
7 33.33
Jumlah 21
100.00
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2010
Kedua
, selain aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan destructive fishing seperti garok dan arad, tekanan terhadap
kelimpahan dan kelestarian sumber daya ikan juga bisa diperparah oleh pencemaran lingkungan laut, dan degradasi fisik eksosistem pesisir.
Kualitas Perairan Laut Kabupaten Cirebon mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan untuk beberapa parameter kualitas air, yakni ammonia NH
3
- N, nitrat NO
3
-N, kadmium Cd, timah hitam Pb, seng Zn, surfaktan, dan oksigen terlaut, nilai konsentrasinya telah melampaui ambang batas dari baku
mutu lingkungan perairan untuk perikanan Lampiran 3.
Konsentrasi senyawa ammonia, nitrat, dan sulfida yang lebih tinggi dari pada ambang batas baku mutu lingkungan perairan laut bagi peruntukan perikanan
tersebut mengindikasikan, bahwa wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon menerima bahan pencemar pollutants organik yang berasal dari limbah rumah
tangga dan perkotaan sewage dan sisa pupuk dari lahan pertanian yang terbawa oleh aliran air sungai maupun aliran air permukaan runoff, yang melampaui
kapasitas asimilasi assimilative capacity perairan laut untuk menetralisirnya Krom, 1986.
Sebenarnya, bila volume buangan berupa beban pencemaran pollution load
limbah organik yang dibuang ke ekosistem laut tidak terlalu besar atau tidak melebihi kapasitas asimilasinya, maka akan meningkatkan kesuburan,
produktivitas primer, dan akhirnya produksi perikanan dari perairan laut tersebut. Hal ini disebabkan karena bahan organik, nitrat, dan fosfat dalam limbah rumah
122
tangga, perkotaan maupun pertanian yang masuk ke dalam lingkungan perairan laut mengalami penguraian menjadi unsur-unsur hara nutrients yang dapat
meningkatkan pertumbuhan algae dan produser primer lainnya yang hidup di dalam perairan laut tersebut. Dengan perkataan lain, masukan limbah organik
dalam volume yang terbatas ke lingkungan laut berdampak positip, mirip seperti pemupukan terhadap kebun atau lahan pertanian di daratan. Di beberapa
ekosistem laut dunia, masukan limbah organik yang mengandung nutrients dapat meningkatkan hasil tangkapan produksi ikan, seperti Teluk Naranganset,
Amerika Serikat Kremer and Nixon, 1978 dan Laut Seto, Jepang Clark, 2002. Akan tetapi, bila beban pencemaran dari buangan limbah rumah tangga dan
perkotaan serta pertanian itu melampaui kapasitas asimilasi suatu ekosistem laut, maka akan berdampak negatif bagi ekosistem laut tersebut dan dapat
membahayakan kehidupan ikan serta biota laut lainnya. Karena, limbah organik yang masuk ke dalam lingkungan laut akan mengalami penguraian oleh bakteri
mikroorganisme menjadi senyawa anorganik yang stabil. Proses penguraian ini memerlukan oksigen yang diambil dari kolom air, sehingga kandungan oksigen
yang terlarut dalam perairan laut pun semakin menurun. Selanjutnya, ketika konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan laut turun sampai di bawah 1,5
mgliter ppm, maka proses penguraian bahan organik oleh bakteri berubah dari proses aerobik menjadi proses anaerobik. Bakteri anaerobik memang dapat
mengoksidasi menguraikan senyawa organik tanpa oksigen, tetapi hasil akhir end products dari proses penguraian itu adalah berupa senyawa-senyawa seperti
hidrogen sulfida H2S, NH4, dan metana CH4 yang dapat meracuni toxic terhadap kebanyakan biota laut, termasuk ikan. Lebih dari itu, laju penguraian
decomposition limbah organik melalui proses anaerobik jauh lebih lambat dari pada melalui proses aerobik, sehingga dapat mengakibatkan akumulasi bahan
pencemar dalam ekosistem laut Clark, 2002. Kondisi inilah yang terjadi di perairan laut Kabupaten Cirebon, yang tercermin dari lebih tingginya konsenrtasi
NH
3
-N, NO
3
-N, dan sulfida dari pada ambang batas Baku Mutu kualitas air yang berlaku.
Bahaya lain dari terlampau besarnya volume beban bahan pencemar organik yang masuk ke lingkungan laut adalah fenomena eutrofikasi atau