53
Untuk itu, harus diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhan- kebutuhannya dan dilatih untuk dapat merumuskan rencana-rencananya serta
melaksanakan pembangunan secara mandiri dan swadaya. Meskipun demikian sangat sulit bagi masyarakat nelayan untuk keluar dari kemiskinan tanpa adanya
uluran tangan dari pihak lain. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan nelayan pada bakul yang menyebabkan pendapatan nelayan tidak maksimal,
karena mereka harus menjual hasil tangkapan kepada pedagang ikan dengan harga yang ditentukan secara sepihak. Ketergantungan ini menyebabkan nelayan
terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diterobos tanpa bantuan pihak lain. Oleh karena itu Wahyono, et al. 2001, menyatakan bahwa langkah pertama
yang perlu dilakukan untuk memberdayakan nelayan adalah keberadaan suatu lembaga yang mampu menggantikan peran yang selama ini dilakukan oleh bakul,
terutama dalam pemberian pinjaman uang, baik untuk modal maupun untuk kebutuhan yang lain. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan lembaga
keuangan, sehingga nelayan dapat memenuhi kebutuhan modalnya dari lembaga keuangan tersebut.
Menurut Satria 2002, pemberdayaan masyarakat pesisir paling tidak memiliki dua dimensi pokok, yaitu dimensi kultural dan dimensi struktural.
Dimensi kultural mencakup upaya-upaya perubahan perilaku ekonomi, orientasi pendidikan, sikap terhadap perkembangan teknologi, dan kebiasaan-kebiasaan.
Pemberdayaan kultural ini diperlukan untuk mengatasi kemiskinan kultural. Dimensi struktural mencakup upaya perbaikan struktur sosial sehingga
memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Perbaikan struktural umumnya berupa penguatan partisipasi nelayan untuk selanjutnya dapat
berhimpun dalam suatu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Wahyono, et al. 2001, menyatakan bahwa penerapan
program pemberdayaan nelayan tidak dapat dilakukan secara nasional, melainkan harus bersifat regional bahkan lokal. Ini disebabkan masing-masing nelayan
memiliki permasalahan yang spesifik, yang belum tentu sama antara satu daerah dengan daerah lain. Kondisi ketidakberdayaan dan kemiskinan nelayan sangat
terkait dengan karakteristik lingkungan sumberdaya yang melingkupi mereka, dan relasi-relasi sosial ekonomi. Oleh sebab itu dalam penerapan pemberdayaan
54
nelayan perlu memperhatikan kondisi riil yang ada di masyarakat nelayan. Proses pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilakukan jika ada sikap proaktif dari
masyarakat nelayan dalam setiap kegiatan. Sikap proaktif ini meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi, serta berperan dalam
pengambilan keputusan.
2.8 Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan menekankan pada pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan terpeliharanya daya dukung ekosistem perairan dan stok sumberdaya hayati yang terdapat di dalamnya
secara seimbang. Menurut Dahuri 2000, berdasarkan visi dan misi pembangunan kawasan pesisir dan lautan, kebijakan yang diperlukan dapat
dirumuskan sebagai berikut: 1 Meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan
berdasarkan kompatabilitas ekosistem dan potensi komoditas serta permintaan pasar
2 Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir terutama kelompok masyarakat yang matapencahariannya berhubungan langsung
dengan sumberdaya alam. 3 Meningkatkan pendayagunaan sumberdaya alam yang terdiri atas barang dan
jasa-jasa lingkungan untuk kebutuhan konsumsi domestik dan ekspor serta sebagai bahan baku pengembangan industri manufaktur dalam negeri yang
berbasis sumberdaya kelautan. 4 Memberdayakan masyarakat pesisir untuk mengembangkan pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan, efisien dan berkeadilan. 5 Memperkaya dan meningkatkan mutu sumberdaya alam melalui upaya-upaya
mitigasi bencana, pengkayaan stok sumberdaya alam dan lingkungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggungjawab
serta merehabilitasi lingkungan dan sumberdaya yang rusak. Pada dasarnya kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan diarahkan
untuk mencapai dua tujuan yaitu: 1 pendayagunaan potensi pesisir dan laut
55
untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan pelaku pembangunan, dan 2 untuk tetap menjaga kelestarian
sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan hidup nelayan. Sejak 1974, pemerintah telah mengeluarkan program bantuan kredit melalui Bank Rakyat Indonesia. Pada tahun-tahun
berikutnya berbagai program kredit diberikan kepada nelayan, seperti Kredit Investasi Kecil KIK, Kredit Modal Kerja Permanen KMKP, dan Kredit
BIMAS, serta program-program kredit bergulir lainnya. Namun demikian program bantuan kredit tersebut atau program-program bantuan lainnya belum
mampu mengatasi kesulitan sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Pengembalian bantuan kredit mengalami kemacetan dan tidak bergulir. Menurut Kusnadi
2000, hambatan pengembalian bantuan kredit tersebut banyak disebabkan oleh tingkat penghasilan nelayan yang sangat kecil akibat kesulitan memperoleh hasil
tangkapan, besarnya biaya operasi, kerusakan peralatan tangkap, jaringan perdagangan ikan yang merugikan nelayan, dan persepsi yang salah terhadap
program bantuan pemerintah. Kebijakan modernisasi perikanan yang mulai dilakukan pada awal tahun 70-
an diarahkan untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Hasil dari peningkatan produktivitas tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas
kesejahteraan kehidupan nelayan. Namun sebaliknya setelah lebih dari seperempat abad kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan, tingkat kesejahteraan hidup
nelayan tidak banyak berubah secara substantif. Yang terjadi justru sebaliknya yakni melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antar kelompok sosial dalam
masyarakat nelayan dan meluasnya kemiskinan Kusnadi, 2002. Penggunaan teknologi penangkapan yang modern tidak serta merta dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat pesisir dalam jangka panjang. Pemakaian teknologi yang serba canggih hanya menguntungkan dalam jangka pendek dan
menutup peluang model pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, karena mendorong timbulnya situasi ”overfishing”. Dalam menyikapi kebijakan
modernisasi perikanan, tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang- peluang yang tersedia. Kemudahan akses terhadap sumberdaya ekonomi dan
56
politik yang tersedia hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan, sedangkan sebagian besar nelayan tetap dalam kemiskinan, khususnya nelayan tradisional
atau nelayan buruh. Studi-studi tentang kemiskinan nelayan yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung
selama ini justru meningkatkan ketimpangan pendapatan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan di kalangan nelayan Suyanto, 1993. Nelayan yang bisa bertahan
atau meningkat kesejahteraan hidupnya adalah nelayan-nelayan bermodal besar, yang kemampuan jelajah penangkapannya hingga ke lepas pantai off-shore.
Jumlah mereka relatif kecil, sebaliknya nelayan tradisional atau nelayan buruh dengan modal usaha dan kepemilikan peralatan yang terbatas, harus puas dengan
kenyataan hidup dan persaingan yang semakin keras dalam memperolah hasil tangkapan.
Melihat kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan strategis pembangunan selama ini belum mampu dilaksanakan secara efektif dan belum berhasil secara
optimal meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan, maka perlu mengkaji kembali kebijakan-kebijakan strategis tersebut. Sebaiknya kebijakan pembangunan
masyarakat nelayan harus dilihat dalam perspektif yang luas dan integratif dengan memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, struktur sosial, ekonomi dan
budaya yang berbeda. Kebijakan modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang sudah digulirkan harus disertai dengan sosialisasi
pilihan teknologi penangkapan yang adaptif serta pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan kelautan. Untuk mengatasi konflik dalam memperebutkan
sumberdaya perikanan penegakan peraturan harus dilakukan dan diiringi dengan penegakan hukum. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 607KptsUm91976,
yang menetapkan secara jelas jalur-jalur penangkapan nelayan tradisional dan nelayan modern merupakan perlindungan terhadap hak-hak nelayan tradisional
dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Begitu juga dengan Keppres No. 391980 dimaksudkan untuk menyelamatkan kerusakan sumberdaya perikanan
akibat pengoperasian pukat harimau yang tidak bersifat selektif terhadap sumberdaya hayati laut, dan dapat menyebabkan keresahan sosial nelayan-nelayan
tradisional.