Keterkaitan Faktor-Faktor Alamiah, Kultural, dan Struktural serta

146 Pertama, bahwa sebagai konsekuensi logis dari status pemanfaatan sumberdaya ikan yang umumnya telah mengalami overfishing, maka harus dilakukan pengurangan intensitas laju penangkapan ikan, sehingga jumlah kapal ikan dan nelayan yang boleh beroperasi di wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon pun harus diturunkan. Oleh karena itu, sebagian kapal ikan dan nelayan harus dipindah-usahakan ke wilayah-wilayah perairan laut lainnya yang masih underfishing , seperti zona di luar 12 mil laut dari pantai, perairan laut Selatan Jawa, wilayah laut dalam, wilayah perbatasan, dan ZEEI. Sejak program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru sampai program relokasi nelayan yang diadakan oleh pemerintahan reformasi c.q. Departemen Kelautan dan Perikanan 2001 – 2004, sangat sedikit nelayan dari Kabupaten Cirebon yang mau berhijrah dan pindah usaha ke wilayah Indonesia lainnya. Kalaupun ada sekitar 10 keluarga nelayan dari Cirebon yang mau transmigrasi ke Irian Jaya pada 1980-an dan 50 orang nelayan mau relokasi ke Tual, Maluku pada 2003, sebagian besar dari mereka kembali lagi ke Cirebon. Padahal, penghasilan mereka di daerah baru lebih baik dari pada sebagai nelayan di Cirebon. Hal ini disebabkan karena mayoritas nelayan Cirebon memiliki moto ’mangan ora mangan kumpul ning umah ’ meskipun tidak makanmiskin, yang penting asal tetap tinggal bersama keluarga di kampung halaman sendiri, Cirebon. Kedua, sebagian besar nelayan di daerah penelitian tidak mau bekerja di sektor matapencaharian lain pada saat musim paceklik atau pada kondisi sekarang, dimana sumberdaya ikan sudah overfishing dan hasil tangkapan per satuan upaya serta pendapatan mereka cenderung menurun. Ketiga, banyak keluarga nelayan yang pola hidupnya ’lebih besar pengeluaran dari pada pendapatan ’, sehingga mereka tidak mampu menabung. Pada saat musim banyak ikan panen raya, banyak nelayan di daerah penelitian mengeluarkan uangnya untuk main judi domino, gapleh, dan lainnya, mengkonsumsi miras minuman keras, bahkan beberapa sudah kecanduan narkoba. 147

8.5 Kebijakan Politik Ekonomi Yang Kondusif

Keempat pilar manajemen perikanan tangkap pada dasarnya hanya mampu menyelesaikan hal-hal variables yang bersifat teknis-internal, yang merupakan tanggung jawab dari pemerintah c.q Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan DKP di provinsi dan kabupatenkota, nelayan, dan stakeholders lain yang terlibat dalam sub-sektor perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon. Padahal, banyak variables eksternal diluar kewenangan dan tanggung jawab KKP, nelayan, dan stakeholders terkait, yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap yang dapat mensejahterakan nelayan dan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Atas dasar hasil temuan penelitian ini, variables eksternal yang harus segera diperbaiki agar kinerja perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon membaik, sehingga dapat mensejahterakan nelayan secara berkelanjutan adalah yang terkait dengan kebijakan politik-ekonomi makro pemerintah. Pertama , mengingat bahwa faktor teknis alamiah utama yang menyebabkan kemiskinan nelayan di Kabupaten Cirebon adalah overfishing, maka solusinya adalah mengurangi jumlah kapal ikan dan nelayan yang beroperasi di wilayah perairan Kabupaten Cirebon. Oleh karena itu, adalah tugas pemerintah c.q. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta Pemerintah Kabupaten Cirebon untuk membantu sebagian nelayan dari Kabupaten Cirebon berhijrah ke daerah lain yang potensi sumberdaya ikannya belum dimanfaatkan secara optimal underfishing. Dalam pelaksanaannya pemerintah bisa bekerjasama dengan perguruan tinggi, swasta, atau LSM untuk memastikan program relokasi nelayan ini berhasil. Sejumlah faktor yang mengakibatkan kegagalan program transmigrasi di masa lalu harus dicermati dengan seksama, agar kegagalan tersebut tidak terulang untuk program relokasi nelayan dari Kabupaten Cirebon. Supaya program relakosi nelayan berhasil, maka pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan nelayan dari Kabupaten Cirebon ini, baik secara teknis, fisik maupun mental untuk mau berhijrah ke dan tinggal di daerah yang secara ekonomi lebih baik. Pada saat yang sama, pemerintah harus menyiapkan masyarakat di daerah penerima agar senang dan ikhlas untuk menerima kehadiran 148 nelayan dari Kabupaten Cirebon sebagai saudara barunya, seperti yang diteladankan oleh kaum anshar di Madinah ketika menerima saudaranya kaum muhajirin dari Mekah. Selanjutnya, semua prasarana dan sarana perikanan tangkap di daerah penerima harus disiapkan dengan matang. Demikian juga halnya dengan prasarana dan sarana pemukiman, pasar, bank, sekolah, rumah sakit puskesmas, dan lainnya agar nelayan pendatang dari Kabupaten Cirebon bisa betah di daerah baru dan mampu menjalankan aktivitas ekonomi perikanan tangkap secara lebih produktif, efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Sebagian lain dari nelayan yang tidak mau hijrah harus dibantu pemerintah untuk mampu menangkap ikan lebih jauh di luar zona-III ke arah Kalimantan atau daerah lain yang potensi sumberdaya ikannya masih besar. Hal ini berarti merubah kebiasan nelayan Kabupaten Cirebon yang pada umumnya menangkap ikan di laut hanya dalam waktu sehari one day fishing menjadi lebih dari sehari atau bisa lebih dari satu bulan di laut, seperti yang telah dilakukan oleh sebagian nelayan Indramayu. Pada umumnya nelayan Indramayu yang melaut lebih dari satu hari mendapatkan volume ikan hasil tangkapan yang lebih besar dan lebih sejahtera dari pada nelayan yang ’one day fishing’. Bantuan yang dimaksud adalah peningkatan kapasitas nelayan agar mampu dan senang melaut lebih dari sehari dengan menggunakan kapal ikan berukuran lebih besar dari 30 GT dengan alat tangkap yang lebih efisien canggih dan ramah lingkungan. Kedua , pemerintah juga harus mengembangkan matapencaharian alternatif di dalam wilayah Kabupaten Cirebon bagi nelayan yang tidak mau berhijrah ke daerah lain. Matapencaharian alternatif ini juga disediakan untuk nelayan pada saat mereka tidak melaut, karena cuaca buruk musim barat, badai, atau gelombang besar atau musim paceklik ikan. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan nelayan secara teknis maupun mental agar mampu menjalankan usaha matapencaharian alternatif tersebut. Matapencaharian alternatif yang dikembangkan sebaiknya yang sesuai dengan potensi sumberdaya setempat, memiliki pasar yang bagus, dan yang relatif mudah dikerjakan oleh nelayan. Ketiga , pemerintah harus menyediakan pinjaman kredit dengan suku bunga yang relatif murah dan persyaratan relatif lunak kepada nelayan untuk membeli kapal ikan beserta alat tangkapnya yang lebih efisien dan ramah lingkungan untuk 149 dioperasikan di daerah baru yang potensi sumberdaya ikannya masih besar. Pinjaman kredit ini juga harus dapat digunakan nelayan untuk berusaha di sektor matapencaharian lain pada saat nelayan tidak melaut, karena musim paceklik atau cuaca buruk. Keempat , untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan laut di daerah Kabupaten Cirebon perlu dilakukan penanaman kembali hutan mangrove berupa jalur hijau greenbelt atau sempadan pantai selebar minimal 400 meter dari garis pantai ke arah darat. Selain turut melestarikan sumberdaya ikan laut, hutan mangrove ini juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak dan arus laut yang seringkali mengakibatkan abrasi pantai. Selain itu, pencemaran laut baik yang berasal dari berbagai kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian, pemukiman, dan perkotaan maupun dari kegiatan-kegiatan manusia di laut kapal, anjungan minyak, dan marine-based activities lainnya harus dikurangi dan dikendalikan. Pengendalian pencemaran dan reboisasi hutan mangrove adalah bukan mandat utama dari KKP kabupaten maupun provinsi, tetapi merupakan kewenangan dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan dinas terkait baik di tingkat Kabupaten Cirebon maupun Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian, mengelola pembangunan perikanan tangkap yang mampu mensejahterakan nelayan dan pelaku usaha perikanan lainnya serta memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah dan nasional secara ramah lingkungan dan berkelanjutan tidak bisa dilakukan secara sektoral, tetapi harus didekati melalui pembangunan wilayah secara terpadu integrated regional development yang melibatkan berbagai sektor, tingkat pemerintahan, stakeholders , dan disiplin ilmu yang terkait. 9 KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan

1 Status pemanfaatan sumber daya ikan baik di Zona-I, Zona-II maupun Zona- III wilayah perairan Laut Kabupaten Cirebon pada umumnya telah mengalami tangkap lebih overfishing. Dari tiga belas jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di daerah penelitian, tujuh diantaranya statusnya sudah berlebih yakni: payang, dogol, pukat arad, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, bagan tancap, dan rawai tetap. Sedangkan, enam jenis alat tangkap lainnya, yaitu pukat tarik, jaring insang tetap, trammel net, anco, perangkap kerang, dan perangkap lainnya statusnya masih kurang. Jenis-jenis ikan yang telah mengalami tangkap lebih overfishing adalah: teri, teri nasi, bawal hitam, sunglir, gurita, biji nangka, kapas-kapas, slanget, sotong, kurisi, kuniran, peperek, kurau, ikan sebelah, cumi-cumi, manyung, tetengkek, bawal putih, talang, kakap, tongkol, tenggiri, cucut, japuh, tembang, julung-julung, siro, bilis, pari, alu-alu, dan remang. 2 Faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan di Kabupaten Cirebon di kelompokkan menjadi: a. Faktor-faktor alamiah, meliputi semakin meningkatnya pencemaran lingkungan laut dan perusakan ekosistem pesisir mangrove dan estuaria, kondisi overfishing telah menyebabkan volume tangkapan ikan semakin sedikit, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil dan fishing grounds semakin menjauh dari pantai sehingga waktu yang diperlukan untuk mendapatkan ikan semakin lama, hal ini mengakibatkan biaya melaut semakin meningkat dan pada saat bersamaan pendapatan nelayan cenderung menurun; b. Faktor-faktor kultural yang meliputi tingkat pendidikan, etos kerja dan gaya hidup nelayan tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan atau pendapatan nelayan di Kabupaten Cirebon. Persentase nelayan miskin tertinggi adalah pada tingkat pendidikan SMA dan terendah tidak tamat SD. Pendapatan rata-rata perbulan nelayan tertinggi adalah pada nelayan yang tingkat pendidikannya SMP dan pendapatan rata-rata terendah adalah pada tingkat pendidikan Diploma; c. Faktor-faktor struktural yang berperan terhadap kemiskinan nelayan adalah rendahnya atau bahkan tidak 152 adanya akses bagi nelayan untuk mendapatkan pinjaman modal kredit dari perbankan dengan suku bunga yang relatif rendah dan persyaratan kredit yang relatif lunak. Ketersediaan sarana produksi perikanan tangkap dengan harga yang relatif murah masih sangat terbatas; infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum di kawasan pelabuhan perikanan atau di pemukiman nelayan masih buruk. 3 Kondisi kesejahteraan nelayan di Kabupaten Cirebon berdasarkan pengeluaran perkapitabulan, dari 400 responden ada 21 orang nelayan yang berstatus miskin 5,25. Nelayan miskin tersebut sebagian besar menangkap ikan di Zona I dan Zona II dimana status pemanfaatan sumberdaya ikannya sudah mengalami tangkap lebih overfishing . Alat tangkap yang digunakan para nelayan tersebut berupa trammel net; pukat arad; payang; dogol; perangkap kerang; dan perangkap lainnya. Namun jika dilihat dari pendapatan total pendapatan utama dan tambahan nelayan per bulan dibandingkan dengan Upah Minimum Regional Kabupaten Cirebon maka nelayan di Kabupaten Cirebon ada sekitar 146 orang nelayan miskin 36,50 dari 400 responden dimana pendapatan setiap bulannya lebih kecil dari Rp.825.000bulan.

9.2 Saran

1 Laju penangkapan upaya tangkap untuk jenis alat tangkap dan jenis ikan yang sudah berlebih atau sudah mengalami overfishing di Zona-I, Zona-II dan Zona-III perlu diturunkan sampai dibawah jumlah optimum pada tingkat yang sesuai dengan potensi produksi lestari sumberdaya ikan. 2 Pencemaran lingkungan laut Cirebon, baik yang berasal dari sumber-sumber pencemar di darat land-base pollution sources maupun dari laut marine- based pollution sources seperti ceceran minyak dan limbah dari kapal ikan dan kapal niaga harus dikendalikan melalui teknologi 3 R Reduce, Reuse, dan Recycle dalam mengolah limbah rumah tanggaperkotaan, industri, dan pertanian. 3 Ekosistem mangrove yang rusak harus segera direhabilitasi, dan jalur hijau green belt mangrove harus dibangun sesuai dengan tata ruang wilayah Kabupaten Cirebon yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. 153 4 Data tentang hasil tangkapan catch dan upaya tangkap effort harus disempurnakan agar lebih akurat dan absah valid, sehingga penentuan nilai MSY dan status pemanfaatan sumberdaya ikan pun akan lebih akurat dan absah pula. 5 Guna meningkatkan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Cirebon, bantuan pemerintah seharusnya berupa alat tangkap yang dapat beroperasi pada zona di atas 12 mil open ocean dan harus diiringi dengan sosialisasi dan peningkatan kapasitas nelayan dibidang penggunaan teknologi. Sedangkan untuk alat tangkap aktif sebaiknya tidak boleh ada di zona-I dan zona-II. DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. 2007. Pendekatan dan Metodologi Evaluasi Program Marginal Fisheries Community Development 2004-2006. Paper untuk BAPPENAS. P. 28. Azis, K.A. 1989. Pendugaan Stok Ikan Tropis. Departemen Pendidikan dan ` Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Babbie E. 2004. The practice of social research. 10 th edition. Belmont, USA: WadsworthThomson Learning Inc. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon 2009. Kabupaten Cirebon dalam Angka. hal 192. Cirebon Badan Pusat Statistik Kota Cirebon. 2009. Statistik Kota Cirebon Tahun 2009. hal 206 Cirebon Badan Pusat Statistik. 2010. dalam Berita Resmi Statistik http:www.bps.go.id diakses pada 28 September 2011pukul 10.10 WIB. Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2010. dalam http:www.bappeda. jabarprov. go.id docs publikasi_data Bappenas. 2004. Penyusunan Strategi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan . Laporan Akhir. Jakarta. diakses pada 17 Februari 2010 pukul 13.55 WIB. Berkes, F., R. Mahon, P. McConney, R. Pollnac, and R. Pomeroy. 2001. Managing Small-scale Fisheries Alternative Direction and Methods . International Development Research Centre. Ottawa, Canada. Berwick, N.L. 1983. Guidelines for the Analysis of Biophysical Impacts to Tropical Marine Resources. The Bombay Natural History Society Centenary Seminar, Conservation in Developing Countries Problems and Prospects. December 6 – 10, 1983. Bombay, India. Boedhisantoso, S. 1999. Komuniti Lokal di Kawasan Pesisir dan Pemberdayaannya . Makalah Lokakarya Pembangunan Pranata Sosial Komunitas Pesisir. Depok, 30 Mei – 1 Juni 1999. Boer, M. dan K. A. Aziz. 1995. “Prinsip-prinsip dasar Pengelolaan Sumberdaya Perikanan melalui Pendekatan Bio-Ekonomi”. Jurnal ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia III 2 : 109 – 119 . Boer, M. dan K. A. Aziz. 2007. “Rancangan Pengambilan Contoh Upaya Tangkap dan Hasil Tangkap untuk Pengkajian Stok Ikan”. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Jilid 14, Nomor I: 67-71 . 156 BPLHD Provinsi Jawa Barat dan PKSPL-IPB. 2006. Laporan Akhir Monitoring Kualitas Air Laut di Pesisir Utara Jawa Barat. Bogor. BPS; BAPPENAS dan UNDP. 2004. Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2004 . Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science, Osney Mead, Oxford, UK. Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press. Washington, DC 20009. Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO. Rome. Clark, R.B. 2002. Marine Pollution. Fifth edition. Oxford University Press. New York. 237 p. Conrad, J. M. and C. W. Clark. 1987. Natural Resource Economics: Notes and Problems , Cambridge University Press, New York. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat . Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia LISPI. Jakarta. Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. LISPI. Jakarta. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Dahuri, R. 2003a. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Dahuri, R. 2003b. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia . PT Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. Dahuri, R. 2004. Gagasan Penyewaan Pulau Kecil Harus Disegerakan. Republika, 28 Desember 2004. Dahuri, R. 2005a. Revitalisasi Koperasi Perikanan. Majalah INFOKOP, XX 26: 41-50. Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta. Dahuri, R. 2005b. Road Map Pembangunan Kelautan Nasional Menuju Indonesia yang Maju, Adil-Makmur dan Bermartabat . Membangun Indonesia: Kumpulan Pemikiran-Pemikiran Penting untuk Kemajuan Pertanian. Kabinet Pengabdian BEM KM - IPB dan IPB Press. Bogor.